Bab 32 Mama Papa

34.7K 2.6K 9
                                    

Inka mengikuti langkah kaki Hana, wanita itu masih belum percaya bahwa Ia tidak dibuang tapi Ia adalah salah satu korban penculikan 30 tahun lalu dan sampai sekarang pelaku belum ditemukan.

Inka membawa kotak pemberian Arthur kepada Hana. "Ini apa?" tanya Hana

Wanita itu membuka kotak kayu itu. Mata Hana berkaca kaca saat melihat baju milik putri kecilnya. "Benar sayang kamu anak mama, Kamu anak mama. Kamu Danisa anak mama," ujar Hana.

Jadi nama aslinya Danisa. "Jadi benar anda mama saya?" tanya Inka ragu. Rasanya aneh.

"Mama," gumam Inka sulit. Rasanya kelu. Tangan Inka berkeringat, sesuatu yang tak pernah Ia bayangkan sebelumnya. Mempunyai Ibu dan Ayah. Inka tak pernah memimpikan hal tersebut sebelumnya.

Hana tersenyum haru mendengar putri kecilnya sudah tumbuh dan bahkan sudah menikah. "Iya sayang, ini Mama," ujar Hana.

Wanita itu memeluk Inka erat, masih ada rasa tak percaya dalam dirinya. Ada banyak sekali foto dirinya dalam album itu. Air mata Inka mengalir, selama 30 tahun Ia mengutuk kedua orang tuanya karena yang Inka tahu Ia adalah anak yang dibuang.

"Maaf," ujar Inka

Hana menoleh mengerutkan kening, mengapa putrinya minta maaf. "Maaf karena selama ini Inka berfikir negatif tentang kalian. Inka pikir kalian buang Inka," Inka tak bisa menyembunyikan tangisanya begitu pula Hana. Wanita itu memeluk erat putrinya.

"It's ok sayang, Kita akan isi seberapa banyak waktu yang terbuang diantara kita," ujar wanita itu.

Derin menatap dua wanita kesayangannya haru, lelaki itu ikut bergabung. "Papa sayang kalian," ujar lelaki itu pelan.

Inka merasa terharu, setelah 30 tahun akhirnya Inka merasakan pelukan dari kedua orang tuanya.

"Kamu hari ini nginep dirumah mama dan papa ya nak" pinta Ana.

Inka terkekeh menggeng. "Ngak bisa ma, suami aku bisa ngamuk pulang - pulang gak ada aku," kekeh Inka mengingat tingkah Sadam yang entah kenapa membuat dadanya menghangat.

"Suami kamu suka ngamuk?" tanya Hana waspada. Wanita paruh baya itu menyalah artikan konotasi "ngamuk" yang Inka sampaikan.

"Enggak pernah malahan," ujar Inka membuat Hana tersenyum lega.

***

Sadam memandang bangunan nan megah didepannya. Menurut info dari Dimas, Inka disini. Ia memasuki rumah besar yang katanya milik kedua orang tua Inka.

Seharian Sadam memang sengaja hanya me-read laporan Inka, Ia sedang ngambek dan kecewa. Rekor terlama mereka marahan. Terakhir laporan Inka menghadiri wisuda Dimas dan setelah itu tak ada pesan lagi dari Inka.

Perasaan Sadam tak enak hingga Ia menghubungi Dimas. Untung saja Sadam menuruti hatinya jika tidak Ia pasti tak tahu apa -apa pasal ini.

"Silahkan duduk den, Nona Inka lagi berada di kamarnya bersama Tuan dan Nyonya," ujar asisten paruh baya itu mengangguk.

Ia menatap design rumah ini, sangat nyaman. Matanya tak sengaja melihat figuran foto besar, seorang anak perempuan yang hanya memakai diapers. Ia bangun dan mendekati foto itu. Itu Inka istrinya, lelaki itu yakin 100% bahwa itu Inka.

Inka menatap punggung Sadam, ingin rasanya Ia memeluk lelaki itu namun Ia ingat Sadam sedang marah kepadanya. Ia tak ingin pertengkaran mereka terlihat didepan kedua orang tua kandung Inka.

"Kamu suami Inka?" tanya Derin kemudian mempersilahkan Sadam duduk.

Inka duduk diapit oleh kedua orang tuanya sedangkan Sadam berada diseberang menghadap mereka. Kenapa suasananya seperti lamaran.

"Perkenalkan saya Sadam Gunawan, Suami dari Inka Gunawan," ujar Sadam tegas. Ia masih menatap sangsi kedua orang ini, Sadam harus menyelidiki terlebih dahulu pasal kebenaran tentang orang tua kandung Inka. Ia tak ingin Inka terluka.

Derin menilai Sadam, lelaki ini tampan ditambah wajah tegas dan badannya yang tinggi kekar. Bahkan Derin rasa, Sadam lebih tinggi daripada Darian putranya yang tak lain adalah atlet basket.

Suasana tampak tegang, Sadam dan Derin menilai satu sama lain. Inka merasakan tatapan penuh penilaian Sadam pada orang tuanya begitu pula Hana merasakan tatapan penilaian Suaminya pada menantu mereka.

"Saya Derin Arthalas, Ayah dari Inka Arthalas." ujar Derin menjabat tangan Sadam balik.

Hna berdehem pelan, "Ini sudah waktunya menikmati kudapan, bagaimana kita ngobrol santai di taman belakang," ajak Hana.

Wanita paruh baya itu memberi kode pada Inka untuk membawa Sadam bersamanya. Inka dengan cepat bangun dan mengamit tangan suaminya.

"Sadam, aku mau puding buatan kamu dulu," ujar Inka manja membuat wajah Sadam melunak.

"Dimana dapurnya?" tanya Sadam.

Inka berjalan mengamit lengan suaminya membawa Sadam ke dapur. Lelaki itu menanggalkan jasnya dan Inka dengan sigap Inka mengambil dan merapaikannya.

"Kamu mau puding apa?" tanya Sadam.

"Apapun asal buatan kamu,"

Sadam membuka kulkas besar itu dan mulai memotong buah untuk membuat puding. Inka merasa terpesona dengan Sadam. Ia baru tahu bahwa suaminya cukup lihai dalam memasak.

"Aku gak tahu kamu bisa masak," ujar Inka.

"Saya cukup suka memasak membantu Oma atau nenek dulu tapi setelah menikah kemalasan saya meningkat drastis,"kekeh Sadam.

Inka merindukan Sadam berbicara sesantai ini dengannya. "Maaf," ujar Inka.

Sadam menatap Inka mengerutkan kening. "Maaf atas kata - kataku waktu itu pasti kamu kecewa," ujar Inka.

Sadam masih diam, "Aku mau bersikap egois, Aku gak akan lepasin kamu Sadam kecuali kamu yang minta," tekan Inka tegas dan penuh keyakinan membuat senyum Sadam mengembang.

"That my wife," ujar Sadam.

"Sebentar Inka tangan saya masih sedikit basah karena masak, nanti saya mau peluk kamu,"ujar Sadam membuat pipi Inka memerah.

"Aku tunggu," kekehnya.

Sadam memasukan puding kedalam lemari pendingin. Ia mencuci tangan dan merealisasikan ucapannya.

"Happ," ujar Sadam saat berhasil memeluk Inka.  Ia  kemudian mengelus perut Inka. "Anak papa, apa kabar hmm?" tanya Sadam.

Seperti biasa jika berhadapan dengan Sadam, bayi dalam perutnya akan heboh menendang sana dan sini.

"Seperti biasa Sadam, kalau sama kamu dia selalu heboh," ujar Inka meletakan tangan Sadam pada perutnya.

Sadam merasakan pergerakan bayinya membuat perut Inka bergerak kesana kemari. "Putri papa, gak sabar kita akan ketemu sebentar lagi,"

Suara deheman membuat pelukan mereka terurai. Sadam menatap Derin tajam begitu pula sebaliknya. "Kenapa kalian tampak membenci sejak awal?" tanya Inka akhirnya mengungkapkan isi hatinya.

"Tak ada sayang," ujar Sadam.

Sadam dan Derin memang pernah bertemu di pertemuan bisnis. mereka terkenal siangan berat. Beberapa proyek bahkan mereka perebutkan. Derin tak menyangka anak muda sombong ini adalah suami dari putri tercintanya.

"Beneran?" tanya Inka.

Jika Sadam lihat, wajah Inka memang 100 % mirip Derin, sial! Sepertinya Ia termakan ucapannya sendiri. Ia malah jatuh cinta setengah mati pada fotocopy-an lelaki paruh baya menyebalkan ini.

Fated to LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang