Bab 30 Badai

30.5K 2.3K 3
                                    

Hidup Sadam terasa sempurna, Ia tak pernah menyangka bahwa dirinya akan mempunyai istri dan sekarang anak.

Lelaki itu tersenyum mengelus perut Inka, sedangkan Inka hanya terbengong. Pikirannya melayang dengan pertemuan tak sengaja Inka dengan Sonya. Wanita paruh baya itu ternyata tahu bahwa anak dikandungannya adalah anak Arthur.

Kata -kata Sonya terngiang di otaknya

flashback sore tadi

"Bagaimana kabar kamu Inka?" tanya Sonya.

Inka terkejut melihat Ibu Arthur tersebut, "Baik tante," ujar Inka.

Sonya tersenyum namun Inka tahu ada hal lain di senyuman itu. "Kamu senang Inka? Kamu bahagia?" kekeh Sonya.

Inka diam, "Kamu senang diatas penderitaan orang lain?" kekeh Sonya.

Inka diam namun Ia tak boleh lagi lemah, dirinya dan Sonya sudah tak ada urusan apapun sekarang. "Cukup tante, cukup!!" ujar Inka

Sonya terkejut melihat keberanian Inka, "Sudah berani kau rupanya!!," ujar Sonya menaikan alisnya.

"Apa salah aku sama tante? Aku sudah melepas Arthur, aku sudah tak menganggu putra tante tapi kenapa tante masih saja mengangguku," tanya Inka

Sonya tertawa hingga air matanya menetes, "Kamu tanya kenapa?, hahaha. Kamu tahu!! Kehadiranmu menghancurkan hidupku," ujar Sonya menatap marah Inka.

"Lalu bagaimana rasanya, hamil dan dibuang?" tanya Sonya pada Inka.

"Tante tahu ini anak Arthur cucu tante?" air mata Inka mengalir melihat Sonya mengangguk.

"Tentu Saja,"  kekeh Sonya

"Aku merasa kasian pada Sadam, lelaki malang itu harus bertanggung jawab dengan hal yang tak Ia lakukan. Padahal aku yakin dia bisa mendapatkan lebih dari bekas orang ini," gumam Sonya membuat hati Inka sakit.

Mengapa kata-kata Sonya terasa benar? Inka egois, Ia membuat Sadam bertanggung jawab pada anak dalam kandungannya.

Melihat wajah pias Inka, Sonya tersenyum, rencananya berhasil. "Jika aku tak bahagia maka orang lain tak boleh bahagia" ujar Sonya dalam hati. Wanita itu melangkah angkuh meninggalkan Inka yang termenung
flashback end

Sadam bingung melihat ekpresi Inka yang seakan tak senang, padahal seharusnya Inka berbahagia sekarang karena masalah Gagita sudah beres, begitu pula dengan Arthur dan masa lalu Inka.

"Kamu terlihat gelisah?" tanya Sadam.

Inka menggeng, "Inka? Saya bukan cenayan yang tahu isi hati kamu. Jika kamu suka katakan dan jika tak suka bisa sampaikan kepada saya," ujar Sadam tegas. Ia tahu sangat bahwa Inka memang suka memendam perasaannya sendiri.

Wanita itu selalu seperti itu, komunikasi sangat penting dalam hubungan.

Inka menatap Sadam tajam, mendengar kata - kata Sadam membuatnya sedikit kesal. "Maafkan aku yang tak seperti orang lain, jika kamu mau kamu bisa cari orang lain yang lebih berbicara terbuka," ujar Inka kemudian bangkit.

Sadam terbengong, kenapa Inka sensitif sekali, padahal Sadam hanya ingin mereka lebih terbuka. "Inka, tunggu saya," teriak Sadam.

Inka berhenti, "Kenapa?"

"Kamu yang kenapa?" tanya Sadam. "Kamu selalu seperti itu. Kalau saya salah bilang Inka," Ujar Sadam menaikan satu oktaf suaranya.

"Kenapa menyesal menikahi saya yang seperti ini? seharusnya sejak awal saya tidak menerima pernikahan ini," ujar Inka berteriak. Entah kenapa kata - kata Sonya bahwa Sadam berhak mendapatkan yang lebih baik darinya terngiang.

"Kamu menyesal menikah dengan saya?" tanya Sadam dengan suara lemah.

Inka kehilangan kata- katanya, Ia memilih menjauh dari Sadam. Ia butuh ruang untuk menengkan pikirannya. "Apa aku pantas untuk kamu Sadam?" kata kata itu selalu terngiang dikepalanya.

Inka menundukan kepalanya, hatinya sakit sekali. Ia tak bisa melepas Sadam karena  hatinya sudah terlanjur dimiliki Sadam.

Tapi, Ia sadar bahwa dirinya tak pantas untuk lelaki itu. Harusnya Inka sadar diri. Ia hanya anak yatim piatu yang dibuang oleh kedua orang tuanya. Ia juga membawa aib karena hamil diluar nikah.

Air mata Inka mengalir, bahunya bergetar hebat. Apa yang harus Inka lakukan? Ia mengelus perutnya yang sudah membesar . "Maafin Mama nak," ujar Inka.

***
Inka terbangun dengan kepala berat, seharian Ia menangis. Wanita itu tak menemukan Sadam, lelaki itu sepertinya tak pulang kerumah.

Hati Inka khawatir, Ia berusaha menghubungi sekretaris Sadam. "Bapak di kantor?" tanya Inka.

Sang sekretaris mengatakan bahwa Sadam lembur sejak semalam. "Makasih ya, saya bisa minta tolong pesankan soup ayam di resto Rasa, nanti billnya kirim ke saya," pinta Inka.

Inka mengakhiri panggilannya. Ia merasa perlu suasana baru. Sudah lama Ia tak mengunjungi ruko yang berada didepannya. "Selamat Pagi Dimas," sapa Inka.

"Pagi Mbak, Mbak sehat? matanya sembab," ujar Dimas.

Inka, "Kepala mbak sakit sejak semalam," ujar Inka.

Dimas menawarkan bantuan untuk mengantar Inka ke dokter namun Inka menolah. "Gimana penjualan Dim?" Inka memeriksa laporan keuangan ruko miliknya.

"Aman mbak," jelas Dimas. Dimas sudah pindak ke rumah kontrakan Inka sekarang, lelaki itu juga sudah akan lulus.

"Mbak besok aku wisuda, datang ya,"pinta Dimas membuat Inka menganguk.

"Selamat ya, Dimas akhirnya wisuda," ujar Inka.

"Makasih ya mbak, Kalau bukan karena kebaikan mbak ngasih aku kerjaan mungkin aku gak bisa wisuda hari ini," ujar Dimas.

Dimas memang penerima beasiswa , namun karena lewat semester Dimas harus membayar biaya sendiri. "Semangat , kejar mimpi kamu,"ujar Inka.

"Pasti mbak,"Inka menepuk pundak Dimas.

Ia sudah menganggap Dimas adiknya, mereka berbagi duka yang sama. Sejak kecil dirinya dan Dimas tak merasakan kasih sayang ayah Ibu. Bedanya Dimas tahu orang tua kandungnya sedangkan Inka tidak.

"Kamu udah beli jas?" tanya Inka, lelaki ini tak ada persiapan apapun untuk acara wisuda.

"Sudah ada mbak, gak ada yang perlu disiapin juga. Ini kartunya mbak. Besok mbak jadi pendamping aku ya,"pinta Dimas.

Ada kesedihan di mata anak lelaki itu. Wisudah menjadi momen berharga untuk seseorang seperti mereka namun ketidakhadiran kedua orang tua membuat ada ganjalan disana.

Inka masih ingat bagaimana Ia harus mengambil rapornya seorang diri saat SMA karena Ibu Rima sibuk bekerja.

Inka duduk, sedangkan Dimas mengantar pesanan milik pelanggan. Wanita itu termenung, matanya menatap punggung Dimas menjauh.

Inka menghela nafas panjang. Beberapa pelanggan datang untuk berbelanja, Ia bingung bagaiman cara Dimas meladeni pelanggan sedangkan lelaki itu sibuk mengirim barang.

"Eh Inka, Dimasnya kemana?" tanya salah satu ibu yang Inka ingat namanya nunung.

"Dimas lagi ngirim pesanan buk," ujar Inka.

Ibu Nunung mengambil semua keperluannya secara lues, kemudian Ia menghitungnya melalui mesin sendiri. Sejak kapan rukonya punya mesin scan seperti ini? pikir Inka. "Inka, ini,"Bu Nunung menyerahkan uang seratus ribuan. Inka langsung mengambil dan memberikan kembaliannya.

Dimas memang anak cerdas, "Dim, kapan kamu beli mesin gini?" tanya Inka

Dimas menggaruk tekuknya, "Saya merakitnya mbak," aku Dimas.

Inka menaikan alisnya tak menyangka. "Hebat,"

Fated to LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang