Epilog 2

3K 268 58
                                    

A/N : Kembali pada sudut pandang orang ke-tiga (Author) dan untuk epilog terakhir ini dialognya sedikit, lebih banyak menjelaskan (Bagaimana, kapan, dimana, mengapa, dan siapa). Jangan bosan untuk membacanya, dan memberikan vote (Terakhir kali).

----------

Suasana kota yang tenang nan lembab menjadi salah satu alasan seorang pemuda berusia 22 tahun untuk keluar rumah. Gerimis hujan begitu menenangkan baginya, tak ada kebisingan kendaraan karena orang-orang akan lebih memilih untuk berada di rumah, sangat menguntungkan untuk dirinya.

Kemeja kelabu dipadukan dengan mantel tebal berwarna hitam, tak lupa celana panjang senada. Rambut yang ditata seperti seorang badboy.

Sekitar 5 menit setelah dirinya keluar dari cafe dengan segelas kopi cappucino, sekedar peneman selama perjalanan menuju sebuah tempat. Pikirannya melayang pada masalalunya, setiap kali menatap kopi yang dipegang seolah mengingatkannya pada sebuah kejadian masalalu kelam.

Langkahnya terhenti saat dirinya sampai pada tujuannya, cukup lama memandangnya. Syal berwarna hitam yang melingkar pada lehernya digenggam erat setelah memasukinya. Memilih untuk duduk di sebuah bangku yang tersedia, tak perlu khawatir soal bangku basah karena hujan, celana hitamnya waterproof.

Kopi panas diteguk, memandang lurus pada ayunan berjarak 5 meter darinya. Lengkungan bibir terbentuk, membuat sebuah senyuman samar.

Tak beralih walau sekejap saja, larut dalam euforia semu setelah mengingat suatu kenangan masa lalu. Bayangan seorang anak duduk di atas ayunan, kemudian ayunan bergerak oleh angin santai, menutupi sebuah luka yang baru saja diperoleh dalam sebuah tundukan. Kemudian bayangan anak bernetra biru mendekat, memberikan payung. Netra keduanya saling memandang, tidak butuh waktu lama bagi seorang anak bernetra biru tersenyum tulus, menarik seseorang di depannya. Hujan membasahi keduanya, payung yang dibawa pergi begitu saja meninggalkan mereka berdua. Salah satu berdecak, memandang seorang manusia di depannya yang sibuk menggerutu karena payungnya terbang. "Hahahah..." Gelak tawa dari si tokoh utama, anak yang sama sekali tidak tertawa dalam hidupnya, dan tertawa dengan mudahnya menyaksikan kejadian yang baru saja dialami. Kisah ini ditutup dengan tawa keduanya, sembari berjalan pulang. Sebelum sebuah kejadian menimpa mereka, tapi tak apa lebih baik tertawa sekarang daripada tidak sama sekali.

"Hei! Kau tidak merasakan dirimu basah, Hali?! Sedang hujan begini malah melamun!" Pemuda yang tadinya memperhatikan bayangan halusinasi tersentak saat mendengarkan sebuah suara.

Merasakan dirinya sudah sadar sepenuhnya, Hali mendongak menatap temannya. Sebuah payung membuat mereka selamat dari basahnya air hujan, sampingkan dulu Hali yang sudah basah hampir seluruh badan. "Iya juga, kita dulu pertama kali bertemu disini 'kan? Kau dalam keadaan babak belur setelah di pukul temanmu, kemudian kita pulang dikejar anjing."

Sang teman dengan sengaja melepaskan payung yang digunakan sebagai tempat meneduh. Tanpa aba-aba menarik Halilintar melewati jalan dimana mereka pertama kali berlari bersama, dalam diam teman Halilintar berharap seorang anjing mengejar mereka saat i-

Guk! Guk!

"Taufan!!" Disela-sela kepanikan takut digigit ada gelak tawa dalam setiap detiknya.

Setidaknya dalam satu kehidupan ini, ada tawa yang terdengar bersuara. Sekalipun tawa hanyalah penutup luka.
_Taufan_

---------


Ting!

Bel berbunyi, menandakan seseorang masuk kedalam ruangan. Musik santai mengalun lembut, bersamaan dengan suguhan senyum yang diberikan barista cafe.

•Maaf! Merepotkanmu• Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang