Jangan lupa tekan 🌟
Tidak menerima pembaca gelap!#KilasBalik
Petir bergemuruh hendak menujukkan bahwa sebentar lagi akan terjadi hujan badai. Seseorang berlari begitu cepat menuju rumahnya dengan earphone ditelinga yang menjadi alat komunikasi antara dirinya dengan orang rumah.
"Kak Taufan!!" sang empu yang berlari hanya bisa tersenyum miris, semua rasa seolah diaduk menjadi satu kesatuan yang menyakitkan.
"Kak Hali! Tolong!" Halilintar tak menjawab di masih sibuk dengan pengaturan nafasnya.
Krek!
"Agh!!" Dirinya terduduk lemas saat suara itu terdengar. Tak ada yang bisa dimintai pertolongan, lagipula dia juga gengsi untuk meminta tolong.
Berusaha berdiri sendiri adalah kewajibannya. Kalaupun tak bisa berdiri paling tidak merangkak itu sudah cukup. Jarak antara rumahnya dengan dirinya berada sekarang cukup dekat. Suara sirene polisi sudah memekakkan telinganya.
"Dimana?"
"Bawah tanah," jawab Blaze yang ada di belakang. Sama-sama diam setelahnya, entah Blaze tidak peka atau ada hal lain.
"Bantu Aku,"
"Katanya bisa berdiri sendiri, katanya bisa mandiri, apa masih perlu Aku membantumu? Tunggu, kau siapa?" kalimat ngalantur Blaze diucapkan dengan keadaan sadar, kedua bahu yang diangkat dan seringai memperjelas bahwa Blaze tidak bercanda.
"Terserah," Halilintar berkata sebelum dirinya berkeinginan untuk membuka celananya disana. Blaze terbelak melihat kelakuan Kakaknya, "Baiklah.. Baiklah.. Aku hanya bercanda!" Halilintar dibantu berjalan ke belakang rumah. Lewat depan bukan hal yang normal sekarang, kecuali kau ingin mati tertembak begitu saja.
Sebuah pintu bawah tanah yang tertutup ilalang yang sengaja dibuat seperti itu. "Kau bau alkohol," Kalimat itu Halilintar lontarkan sebelum mereka masuk kedalam sana.
"Taufan?" sebuah deheman sebagai jawabannya. "Suara..?"
"Tadi Kak Taufan terbentur sesuatu saat mengevakuasi kami- eh, iya 'kan? " ujar Gempa yang ragu dengan jawabannya. Halilintar hanya 'meng-iya kan' apa yang di katakan.
"Thorn bisa tolong perbaiki 'ini'?" Thorn yang merasa dirinya terpanggil mendekat ke arah Halilintar. Kemudian berjongkok memperhatikan apa yang dimaksud kakaknya.
"Duh.. Gak bisa, Kak! Ini sih.. Bagian Solar, ya 'kan Sol?" Solar mengangguk antusias didepan Thorn, entah sejak kapan Dia berada disana.
Sedangkan sisinya, "Tu-tunggu jangan bilang Kak Hali kehilangan itu saat-"
"Ya.. Diamlah," Halilintar memotong perkataan Blaze, sebelum memori kelam itu kembali menghantui pikiran mereka.
Taufan menarik lengan Blaze dan Gempa untuk duduk di lantai membelakangi, "Kak Tauf-" Pemotongan kata kembali terjadi dikarenakan sebuah kegiatan tak tertuga. Tengku keduanya dibuku keras membuat keduanya pingsan saat itu juga.
"Kau berlebihan, Kak." komentar Thorn.
Solar hanya diam, dia sibuk melanjutkan kegiatannya memperbaiki sepasang alat bantu berjalan milik kakaknya. (Sudah tau 'kan sekarang? Halilintar itu- (TдT))
Ice? Dia hanya memandangi Halilintar dan Taufan bergantian. "Kalian berbeda.."
"Ha..?"
KAMU SEDANG MEMBACA
•Maaf! Merepotkanmu•
Fanfiction[TAHAP REVISI (?)] TAMAT || REVISI Halilintar : Menjadi kakak tertua itu berat. Taufan : ... Maaf kak Gempa : Maaf, Kak Hali aku tidak bisa membantumu. Blaze : A-aku paling banyak merepotkanmu kak. Ice : Maaf. Thorn : Th-Thorn hiks.. minta maaf...