Happy reading, cerita ini bisa kalian baca gratis sampai dengan tamat. Untuk extra part nya saja yang bisa dibaca di Karyakarsa. Jangan lupa follow, vote, dan comment nya. Terima kasih
***
Terra memijat kecil kepalanya sambil menatap tumpukkan kertas diatas meja makan. Tagihan listrik, tagihan air, tagihan maintenance apartemen, dan beberapa surat pemberitahuan dari pengelola yang malas dia baca. Paling-paling isinya pemberitahuan ini dan itu yang tidak begitu penting.
Oh, jangan lupakan tagihan yang bentuknya digital, tagihan kartu kredit, dan juga tagihan internet dan tv kabel. Setiap akhir bulan, tagihan-tagihan tersebut selalu menjerit-jerit untuk menguras isi rekening Terra.
"Ternyata belum siap akuuuuuuu,.... kehilangan dirimuuuuuu....."
"Heh! Pagi-pagi udah jerit-jerit aja. Malu sama tetangga itu." Terra melirik kesal pada ibu suri yang baru saja keluar dari kamarnya. Siapa lagi yang berani menghentikan nyanyian indahnya kalau bukan ibu suri.
"Mereka nggak dengerin juga, lagian gak papa lah sekali-sekali kita yang berisik, jangan mereka aja. Egois amat."
"Ini masih jam tujuh pagi Ter, yang benar aja kamu. Ini kalau ada tetangga yang punya bayi bisa kejang-kejang kaget tau,"
Terra manyun, siapa juga yang perduli ada bayi atau tidak di sekitar sini. Lagipula ini kan apartemen, bukannya rumah petakkan yang suaranya tembus kemana-mana.
"Terus kamu kenapa belum jalan kerja jam segini?" Tanya Lydia dengan menahan emosi. Terra menyerahkan tumpukkan kertas yang sudah dirapihkannya pada Lydia.
"Nih yang bikin aku gak siap kehilangan isi rekening aku." Terra bangkit berdiri, meminum susu di gelasnya dengan sekali tarikan napas, kemudian beranjak pergi sebelum Lydia kembali berkicau.
"Pergi dulu ma! Bye!" Setengah berlari Terra langsung menuju lift. Dia yakin kalau bibir mamanya sudah setengah terbuka tadi. Kalau saja dia terlambat sedetik, maka mengalirlah alunan merdu dari bibir indah si ibu suri. Ini masih pagi, dan Terra tidak ingin mood-nya hancur di pagi hari ini.
Keluar dari apartemennya ada halte transjakarta yang bertengger manis pas di samping pintu gerbang. Ini yang membuat Terra betah tinggal di apartemen ketimbang harus beli rumah jauh-jauh di pinggiran kota. Pertama, dia belum mau kredit mobil karena dia juga tidak terlalu suka membawa kendaraan. Jakarta macet, butuh biaya ekstra kalau berkendara sendiri. Transjakarta jauh lebih murah. Kedua, jaraknya yang benar-benar aduhai. Ditambah macet bisa jadi Terra keburu tua di jalan. Jadi kalau harus pindah ke rumah tanah, dia jelas akan berpikir ribuan kali.
Lalu kenapa tidak beli rumah di Jakarta saja? Jawabannya adalah karena Terra hanyalah sebutir rinso dilautan mesin cuci yang luas, alias dia tidak mampu membeli rumah di jakarta yang harganya milyaran. Pengasilannya satu tahun saja tidak ada satu milyar, mau dicicil dua puluh tahun juga dia tidak yakin bisa membayarnya.
Lagipula jarak dari apartemen ke kantornya tidak terlalu jauh, hanya butuh waktu kurang lebih setengah jam menggunakan Transjakarta. Kalau menggunakan mobil hanya 10 menit kalau tidak macet, kalau macet ya jadi 20 menit.
Satu-satunya hal yang tidak Terra suka dari Transjakarta di pagi hari adalah padatnya orang-orang yang ada di dalam bis. Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga kendaraan umum. Untuk seharaga Rp. 3.500 tidak bisa dibilang buruk juga. Mana ada lagi angkutan umum semurah itu, di Ibukota tercinta pula yang terkenal dengan apa-apa yang serba mahal.
***
Pukul setengah delapan lewat sepuluh menit Terra sudah sampai di kantornya. Gedung pencakar langit di daerah Jakarta Selatan yang selama lima tahun terakhir ini menjadi saksi bisu betapa gencarnya Terra mengisi pundi-pundi rupiahnya.
Pergi pagi pulang malam bukan hal yang aneh lagi bagi Terra. Masuk pertama kali sebagai Supervisor, dan bertahan hingga sekarang menjadi seorang Manajer bukanlah hal yang mudah. Kalau tidak tahan banting, sudah pasti dirinya lengser dari kemarin-kemarin.
"Pagi bu." Sapa Bagas, salah satu divisi keuangan yang juga sudah datang pagi-pagi begini.
"Pagi juga, udah sarapan Gas?" Tanya Terra manis.
"Ini lagi mau cari sarapan bu. Kenapa? Ibu mau sekalian sarapan bareng? Siapa tau mau bayarin sarapan saya kan." Jawab Bagas bercanda.
"Yah, saya udah sarapan sih dirumah. Kamu sarapan dulu sana. Jam sembilan nanti kita meeting ya, siapin semua laporannya."
Bagas langsung tertunduk lesu. Terra sengaja menyuruh Bagas untuk sarapan sebelum dia menyiksa mereka dengan laporan yang perlu dianalisis lebih lagi. Perusahaan sedang tidak baik-baik saja, begitu juga dengan keuangan perusahaan yang sedang disorot oleh Direksi dan Komisaris. Terra juga sedang gencar-gencarnya memeriksa semua transaksi perusahaan.
Pak Suryo, Direktur Keuangan sekaligus atasannya langsung sedang dibekukan untuk sementara terkait kasus penyalahgunaan uang perusahaan untuk kepentingan pribadi. Otomatis Terra tidak memiliki atasan untuk saat ini.
Belum lagi Mawar, sekertaris Pak Suryo juga ikut-ikutan terseret. Dua manusia kurang ajar yang membuat Terra dan tim nya harus bekerja ekstra selama tiga minggu belakangan. Terra langsung melacak semua bukti pembayaran kartu kredit Pak Suryo yang diberikan sebagai fasilitas dari perusahaan. Kemarin laporannya sudah keluar, dan dia jelas penasaran kemana larinya semua uang tersebut.
Ruang kerja terra ada di paling belakang. Ruangan kaca dengan ukuran 16 meter persegi yang sudah bersih dan rapih. Air minum sudah siap diatas meja kerjanya. Beberapa karyawan dari berbagai divisi juga sudah mulai berdatangan. Terra menyambar telepon yang ada di hadapannya dan menekan beberapa tombol agar tersambung ke telepon karyawan lainnya.
"Kinan, siapkan ruang meeting untuk divisi keuangan. Jam sembilan on time semua sudah harus ada disana. Bawa semua laporan, data, dan semua yang dibutuhkan. Ruang meeting saya pakai sampai dengan jam yang belum bisa ditentukan."
Terra menutup sambungannya tanpa mau repot mendengar jawaban Kinan. Masih ada waktu kurang lebih satu jam lagi, dia masih bisa menyelipkan sedikit pekerjaan untuk diselesaikan. Begitulah Terra, selalu totalitas dalam pekerjaannya. Di perusahaan ini tidak ada yang tidak mengakui kinerja Terra, sang Manajer termuda yang ada di perusahaan otomotif terbesar di Indonesia.
Sebagai atasan, Terra bukan orang yang sulit dijangkau oleh karyawan-karyawan dibawahnya. Terra jarang menunjukkan sisi superioritasnya, tapi kalau sudah masalah pekerjaan, apalagi kalau sampai melanggar kode etik dalam bekerja, Terra bisa lebih menyeramkan dari pada hantu sekalipun.
Contohnya saja sekarang, Terra sedang tidak bisa dibantah. Dia sedang menunjukkan sisi mengerikannya pada semua orang di kantor. Teritorialnya sedang dalam bahaya karena ulah atasannya sendiri. Tidak terhitung lagi berapa banyak Terra mengutuk Pak Suryo selama tiga minggu terakhir ini. Mungkin sudah ratusan, mungkin Tuhan juga sudah bosan mendengar umpatannya pada atasannya.
Terra membuka laptopnya, melupakan sejenak perasaan kesalnya pada Pak Suryo dan fokus mengerjakan pekerjaan yang lain. Kalau sudah tiba waktunya nanti, saat dia sudah menemukan semua buktinya, dia sendiri yang akan turun tangan menghadapi atasannya, atau lebih tepatnya mantan atasannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
TerraCotta (Completed)
ChickLitDi usia yang nyaris kepala tiga, Terra masih tidak mengerti tujuan hidupnya apa. Selama lima tahun terakhir, dia merasa tidak ada yang berubah, waktu berhenti berputar dan tahu-tahu dia sudah dua puluh delapan tahun. Rasanya baru kemarin dia masuk k...