Happy reading dan jangan lupa untuk vote dan juga comment. Terima kasih...
***
Jam lima lewat dua puluh menit Milan sudah sampai di lobby gedung kantor Terra. Kali ini Milan tidak sedang mengendarai mobilnya, tapi malah menaiki motor matic retro-nya yang norak berwarna biru tosca. Terra menatap Milan dari atas sampai bawah, kemudian kembali lagi ke atas dan mendapati cengiran lebar Milan.
"Apaan sih lo Mil? Ini kan cuma buat keliling komplek, kenapa malah diajak ke kantor? Lo mau nganterin gue pulang pake ini?"
"Lagi kangen Ter, udah lama nggak jalan-jalan sama dia," Milan menepuk-nepuk motornya dengan bahagia. Lelaki itu menyodorkan helm berwarna coklat muda yang tidak kalah retro-nya pada Terra. "Untung gue bawa helm satu lagi nih, kalau nggak pake kantong kresek deh kepala lo biar kelihatan kaya helm, jadi nggak kena tilang."
Terra mendengus tidak habis pikir, namun tetap mengambil helm yang disodorkan oleh Milan kemudian memakainya. Tidak terlalu besar, tidak terlalu kecil, pas untuk ukuran kepala Terra. Tapi ada satu hal yang makin membuat Terra dongkol pada Milan.
"Ini lo mau bunuh gue apa gimana? Nggak ada kacanya tolol! Muka gue bisa kaku kebanyakan ditabok angin nanti." Milan tertawa geli dengan kata-kata Terra.
"Ya mau gimana lagi Ter, adanya cuma yang begitu. Apa lo mau pakai kantong kresek hitam aja? Ada nih gue bekas bungkus sepatu futsal." Milan bersiap turun untuk mengambil kantong plastik hitam yang ada di bagasi motornya, tapi buru-buru dicegah Terra.
"Banyak ngomong udah cepetan jalan aja deh. Pake helm begini aja udah snewen gue, lo suruh pake kantong kresek lagi. Bisa gue tinggalin di rawa-rawa lo nanti."
"Yaelah bad mood nya beneran dong, gue kira bercanda aja," Kata Milan sangat pelan. "Jadi mau pulang doang nih? Nggak mau kemana-mana lagi?" Terra yang sudah ada di belakang Milan langsung memukul pelan helm Milan.
"Suka pura-pura nggak tau. Biasa, nasi goreng Pak Karyo. Baru abis itu anterin gue pulang. Nggak usah mampir tapi ya ada mama soalnya. Nanti ditanya-tanya."
"Siap Boss!!!" Milan melajukan motornya dengan lumayan cepat, bergegas sebelum hari semakin gelap. Karena semakin malam akan semakin macet juga jalanan ibukota.
Dari kaca sepion Milan bisa melihat wajah Terra dengan jelas, apalagi tidak ada kaca di helm-nya. Sekilas Terra memang menikmati pemandangan sore gedung-gedung tinggi dan kendaraan-kendaraan yang mereka lewati, hanya seklias. Tapi Milan tahu Terra tidak sedang melakukan itu. Pikirannya sedang ada di tempat lain.
Mereka belum berbaikan setelah ulang tahun ibunya kemarin. Milan sendiri kaget tiba-tiba siang tadi Terra meneleponnya duluan. Biasanya wanita yang satu ini paling anti kalau Milan tidak minta maaf lebih dahulu, kemudian menjanjikan sesuatu yang sedang dia inginkan.
"Lo kenapa Ter?!" Tanya Milan setengah berteriak karena posisi mereka yang sedang ada di jalanan. Suaranya sedikit teredam dengan bisingnya suara kendaraan.
"Nanti aja ngomongnya!!! Nggak gitu jelas!!!" Terra membalas dengan teriakan. Milan hanya mengangguk, entah Terra memperhatikan atau tidak.
Empat puluh menit perjalanan mereka akhirnya sampai juga. Terra menyerahkan helm-nya pada Milan, kemudian mencubit-cubit pipinya yang terasa kaku.
"Besok-besok kalau naik si tosca ini bilang ya, gue nggak jadi minta jemput. Mana helm-nya begitu lagi. Nggak 1SNI, keras nih pipi gue kaya dikasih boraks."
"Besok-besok naik mobil lah gue, kalau nggak naik motor yang biasa. Kan hari ini mah edisi kangen aja." Milan berjalan mengikuti Terra dibelakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
TerraCotta (Completed)
Chick-LitDi usia yang nyaris kepala tiga, Terra masih tidak mengerti tujuan hidupnya apa. Selama lima tahun terakhir, dia merasa tidak ada yang berubah, waktu berhenti berputar dan tahu-tahu dia sudah dua puluh delapan tahun. Rasanya baru kemarin dia masuk k...