Happy reading, jangan lupa vote dan comment nya. Terima kasih...
***
Lydia membuka kencang pintu kamar Terra, mengakibatkan bunyi berdebum yang terlalu keras di pagi hari ini. Pagi-pagi buta dia langsung pulang ke Jakarta karena tidak sabar lagi. Kemarin semua keluarga ramai membicarakan anak perempuannya. Salah satu kerabat sempat melihat foto-foto Terra di media sosial.
"Anak kamu mau menikah? Kok nggak bilang-bilang sama keluarga?"
"Mendadak banget, memangnya kenapa?"
"Jangan suka main rahasia-rahasiaan sama keluarga sendiri."
Dan masih banyak lagi komentar-komentar dari keluarga besarnya. Jelas Lydia kaget setengah mati. Belum lama ini saja dia masih sibuk ceramah masalah pasangan hidup ke anaknya. Bahkan dari kemarin arisan saja dia sudah mengumpulkan beberapa nama kandidat calon menantu yang siapa tahu bisa meluluhkan perempuan berhati batu itu.
Setelah semalaman Lydia tidak bisa memejamkan mata untuk istirahat, si pelaku utama malah masih enak-enakkan tidur tanpa dosa sama sekali. Kehadirannya pun kelihatannya tidak membuat tidur Terra terganggu.
Lydia berjalan ke jendela, membuka gorden lebar-lebar dan membiarkan sinar matahari masuk, membuat kamar gelap itu menjadi terang seketika. Masih belum ada respon juga, Lydia menyambar bantal yang tergeletak disamping Terra, kemudian memukul badan Terra kencang.
"Bangun! Bisa-bisanya kamu tidur enak begini! Bangun nggak!" Sekali lagi pukulan bantal mendarat di tubuh Terra.
Mendengar suara mamanya sepagi ini, Terra tidak berniat bangun sebenarnya. Tapi kalau dia biarkan, mamanya bisa makin menggila. Perlahan dia membuka matanya, cahaya matahari yang terlalu silau membuat penglihatannya malah semakin buram. Dia benci matahari pagi. Ah, dia benci juga matahari siang, intinya dia tidak suka berpanas-panasan dengan matahari.
Terra mergangkan otot-ototnya, kemudian duduk, mendapati Lydia masih menggenggam bantal yang tadi digunakan unutk melakukan kekerasan padanya.
"Pagi-pagi udah bikin ribut aja ma, itu kalau tetangga punya bayi bisa kejang-kejang nanti."
"Jangan suka ngejawab mama deh, mama nggak suka!" Terra menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Lydia mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, mengutak-atiknya beberapa saat, kemudian menunjukkan layarnya pada Terra.
"Ini apa? Coba jelaskan. Mama mau dengar semuanya sejelas-jelasnya."
Terra menghela napasnya. Fotonya bersama Dion yang terpampang manis di media sosial kemarin sore.
"Mama dapat dari mana?" Tanya Terra biasa saja, tidak panik, tidak juga kaget.
"Nggak perlu tau mama dapat dari mana, jawab aja udah deh." Terra bingung harus menjelaskannya bagaimana. Kalau dia bilang Dion pacarnya, tentu mamanya tidak akan percaya. Seminggu yang lalu saja mereka masih berdebat karena Terra masih sendiri juga. Alasan apa yang harus dia berikan sekarang?
Mau bilang kalau dia pacaran diam-diam, sudah pasti mamanya semakin marah. Bilang baru kenal beberapa hari lalu dan langsung mau menikah juga tidak mungkin. Bisa ceramah tujuh hari tujuh malam non-stop.
"Kalian ini kalau bercanda jangan kelewatan. Kemarin saudara-saudara kita kan jadinya heboh, mama dikerbungin sama mereka. Apalagi pas mereka tau kalau mama sendiri juga nggak tau apa-apa."
"Siapa yang bercanda ma, orang beneran juga." Terra menyerah, dia sedang malas mencari alasan untuk berbohong. Biar saja setelah ini mau gempa bumi gonjang-ganjing dunia terbalik juga dia tidak peduli lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
TerraCotta (Completed)
ChickLitDi usia yang nyaris kepala tiga, Terra masih tidak mengerti tujuan hidupnya apa. Selama lima tahun terakhir, dia merasa tidak ada yang berubah, waktu berhenti berputar dan tahu-tahu dia sudah dua puluh delapan tahun. Rasanya baru kemarin dia masuk k...