Happy reading, jangan lupa vote dan comment nya. Terima kasih...
***
Milan merebahkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Hari yang melelahkan. Setelah perjalanan pulang pergi kantor yang jauh, ditambah macet di jalanan, dan tiba-tiba ada pohon tumbang yang makin membuat jalanan semakin tidak bergerak. Tiga jam Milan mengendarai mobilnya. Dia sampai kebelet pipis sanking lamanya perjalanan.
"Mandi sana, terus istirahat." Maya meletakan sepiring bolu gulung coklat yang baru dia buat tadi siang, kemudian mendudukkan dirinya disamping anak bungsunya itu.
"Kemarin gimana Terra? Mau dia datang Sabtu depan nanti?" Tanya Maya penasaran.
"Belum tau ma, dia masih ogah-ogahan gitu. Nanti aku paksa lagi deh, besok-besok tante Lydia yang aku ajak, pasti luluh tuh anak kalau udah diomelin tante Lydia." Maya tertunduk lesu. Dia tahu betul kenapa Terra mati-matian menghindari pertemuan dengan dirinya.
"Masih kesel dia sama Sintia? Atau nggak kamu nggak usah ajak Sintia aja besok." Usul Maya. Milan langsung menatap ibunya horor.
"Mana bisa begitu! Yang ada aku sama Sintia yang berantem nanti. Mama mah ada-ada aja deh." Ucap Milan kesal.
"Ya habisnya, dia jangan begitu juga dong sama Terra. Dia harusnya tahu kalau kalian itu udah sama-sama dari bayi, masa cemburu sama Terra." Maya jelas tidak mau kalah kali ini.
"Kalau nggak mau Sintia cemburu ya mama juga jangan begitu sama Sintia. Mama sadar nggak sih, mama cuek banget sama dia tapi perhatian banget sama Terra. Gimana Sintia nggak cemburu? Jelas dia merasa nggak diterima sama mama. Yang pacar aku tuh Sintia, bukan Terra." Milan mulai emosi.
"Mama aja terus yang salah. Yang aneh pacar kamu, yang manja pacar kamu, yang cemburuan pacar kamu, yang kekanakan juga pacar kamu. Mama sama Terra aja terus yang salah. Belum married aja udah begini kamu, gimana kalau besok married sama Sintia? Tau gitu dulu mama tukeran anak aja sama tante Lydia. Males mama punya anak kaya kamu, mending Terra aja." Maya bangkit meninggalkan Milan yang belum sempat membalas kata-katanya.
Milan mendengus kesal. Kalau sudah menyangkut Terra, pasti ujung-ujungnya begini. Milan memandang langit-langit ruang tamunya. Sifat mamanya dan Terra mirip, sama-sama gampang ngambek, dan jujur saja Milan paling malas dengan tipe perempuan yang begitu. Untung saja ibunya sendiri, jadi dia hanya bisa terima nasib. Kalau Terra yang begitu, mereka sudah sering diam-diaman sampai berminggu-minggu, walaupun ujung-ujungnya dia juga yang akan mengajak Terra baikan duluan.
"Terra begitu karena dia merasa dekat sama kamu. Coba ke orang lain, belum tentu dia bisa ngambek terus manja begitu."
"Tadinya mama sama tante Lydia mau jodohin kalian loh, kalian cocok banget sih dari kecil."
"Terra suka kali sama kamu, kamunya aja yang nggak peka."
Milan mengusap wajahnya kasar. Kata-kata ibunya dulu kembali terngiang-ngiang di kepalanya. Terra Cotta, seumur hidupnya Milan habiskan dengan Terra disekitarnya. Mereka seperti anak kembar yang selalu bersama-sama dari kecil, sampai dengan tua.
Satu-satunya orang yang bisa memisahkannya dengan Terra adalah Sintia. Baru bersama dengan Sintia dia berani mengatakan tidak pada Terra. Biasanya se-ekstrim dan sekonyol apapun kelakuan Terra, dia bisa maklum. Katakanlah Milan bodoh karena dengan tidak sengaja menjauh dari Terra, tapi Sintia satu-satunya perempuan yang bisa membuat Milan merasa sebagai lelaki. Sintia menghormati Milan, lemah lembut, bersama dengannya Milan merasa nyaman.
Beda jauh ketika bersama Terra. Wanita itu terlalu mengerikan. Terra egois, mau menang sendiri, rewel, dan bossy. She definitely gonna pick a fight, and she probably gonna win it, satu kalimat yang amat sangat menggambarkan seorang Terra.
KAMU SEDANG MEMBACA
TerraCotta (Completed)
ChickLitDi usia yang nyaris kepala tiga, Terra masih tidak mengerti tujuan hidupnya apa. Selama lima tahun terakhir, dia merasa tidak ada yang berubah, waktu berhenti berputar dan tahu-tahu dia sudah dua puluh delapan tahun. Rasanya baru kemarin dia masuk k...