Happy reading, jangan lupa vote dan comment nya. Terima kasih...
***
"Kenapa harus minta dokumen fisik kalau bisa yang softcopy aja?!" Terra nyaris berteriak sanking jengkelnya.
"Mungkin biar lengkap semua kali Ter, lo udah negative thinking aja sama bos baru lo sih." Milan bergidik ngeri melihat Terra yang sudah melahap pring kedua nasi gorengnya.
"Pak, tambah es teh tawarnya dua gelas lagi ya." Pesan Terra pada Pak Karyo. Gelas pertama es teh tawarnya sudah tandas bahkan sebelum piring pertama nasi gorengnya habis.
"Lo laper apa rakus? Dua piring ini Ter, minumnya tiga gelas. Yakin perut lo muat? Nggak meledeak tuh di tengah jalan nanti?"
"Nggak usah banyak ngomong! Diam aja!" Milan mendengus kesal. Dari tadi juga dirinya hanya diam, bicara kalau seperlunya. Sisanya ya Terra yang bicara tentang bagaimana menjengkelkannya seorang Dion.
Terra kembali memasukkan satu suapan ke dalam mulutnya. Tinggal beberapa suapan lagi, piring kedua nasi gorengnya akan tandas. Salah seorang karyawan Pak Karyo mengantarkan dua gelas es teh tawar pesanan Terra tadi.
"Makasih mas."
"Gue ngerasa kalau Pak Dion itu orangnya rese, dia kayaknya sengaja cari-cari masalah sama gue."
Selama Terra kerja, bukan pertama kalinya dia menghadapi orang-orang yang menjengkelkan. Pak Suryo pun tidak bisa dibilang baik, lelaki tua itu juga kadang suka membuat Terra pusing, tapi kalau dibandingkan dengan Dion, mereka berbeda. Dion lebih menyeramkan dari Pak Suryo, lelaki itu terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya pada Terra. Walaupun tidak diungkapkan secara langsung, tapi cara bicaranya ke karyawan lain dan ke Terra berbeda.
Terra meletakkan piring keduanya yang sudah tandas. Milan hanya bisa geleng-geleng kepala dan kembali tenggelam dengan ponselnya.
"Chat sama Sintia ya lo?" Tanya Terra penasaran. Milan menganggukkan kepalanya tanpa melihat Terra. Perhatiannya benar-benar tertuju pada layar ponselnya.
"Kenapa lagi dia? Masih cemburuan sama gue?"
"Udah nggak, lagian gue juga nggak bilang sama dia kalau lagi bareng lo."
"Hah? Jadi lo selingkuhin Sintia sama gue dong? Kalau tau bisa ngamuk-ngamuk lagi itu nenek lampir." Milan memutar bola matanya malas.
"Please deh Ter, nggak nenek lampir juga. Sintia baik kok orangnya. Kalian cuma nggak saling kenal aja. Nanti kalau udah kenal deket juga cocok." Milan berusaha membela Sintia.
"Ogah, mending gue jauh-jauh juga dari lo dari pada suruh deket-deket nenek lampir. Terakhir kali ketemu sama gue aja bibirnya maju sampai lima belas senti gitu."
Terra memang tidak begitu menyukai kekasih Milan itu. Menurut Terra, kecemburuan Sintia padanya adalah hal yang tidak masuk akal. Dia dan Milan sudah bersama, bahkan ketika mereka masih menggunakan popok. Terra dan Milan bukan sahabat lagi, mereka sudah seperti kakak dan adik. Kalau dulu, dimana ada Milan disitu juga pasti ada Terra.
Kebiasaan itu mulai menghilang ketika mereka sama-sama kuliah dan sibuk dengan urusan masing-masing. Ditambah dengan kepindahan Terra, mereka jadi tidak bertetangga lagi. Kemudian dunia pekerjaan juga makin menyita waktu mereka. Tapi sejarang-jarangnya Terra dan Milan bertemu, mereka masih bisa meluangkan waktu ketika pulang kerja untuk berbincang ringan.
"Jangan diambil hati lah, kita kan udah lebih dewasa. Sintia masih kekanak-kanakan." Terra geleng-geleng kepala mendengar Milan. Sahabatnya itu benar-benar sudah dimabuk asmara dengan Sintia, perempuan yang menurut Terra setengah sinting.
KAMU SEDANG MEMBACA
TerraCotta (Completed)
Chick-LitDi usia yang nyaris kepala tiga, Terra masih tidak mengerti tujuan hidupnya apa. Selama lima tahun terakhir, dia merasa tidak ada yang berubah, waktu berhenti berputar dan tahu-tahu dia sudah dua puluh delapan tahun. Rasanya baru kemarin dia masuk k...