17. Dua Lelaki Konyol

37.7K 4.6K 18
                                    

Happy reading dan jangan lupa vote dan comment nya. Terima kasih...

***

Terra mengucek matanya sambil berjalan menuju ke dapur. Dibelakangnya Lydia senantiasa mengikuti sambil berkacak pinggang. Terra membuka kulkas, mengambil sekotak susu dan menuangnya di dalam gelas, kemudian menghabiskannya dalam sekali tegukkan.

Merasa belum kenyang, dia kembali menuangkan susu lagi ke dalam gelas dan mengulangi perbuatannya barusaan. Menghabiskan susu dalam sekali tegukkan, kemudian mengembalikan sisanya ke dalam kulkas.

"Mama ngapain ngeliatin begitu?" Tanya Terra kesal karena Lydia tidak berhenti menatapnya. Mendengar protes anaknya, Lydia memilih mundur, tidak ingin ribut-ribut lagi pagi hari. Dia beranjak dari dapur, mengambil koper dan tasnya yang masih ada di depan pintu, kemudian masuk ke kamarnya.

Terra mengikuti gerak-gerik mamanya dari ekor matanya sampai pintu kamar itu tertutup. Dia menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. Satu yang ada di pikirannya sekarang, Dion. Sedang apa lelaki itu sekarang. Setelah sukses membuat hidupnya jungkir balik dalam waktu dua puluh empat jam, Terra penasaran senyenyak apa tidur lelaki itu semalam.

Dia tidak bisa memejamkan mata sampai jam dua pagi, dan ketika dia baru merasa tertidur sejenak, mamanya datang secara tiba-tiba mengganggu tidur yang sudah dia perjuangkan mati-matian. Jelas dia akan membuat hidup Dion menderita kalau sampai lelaki itu masih baik-baik saja.

Terra berjalan kembali ke kamarnya, mengambil ponsel yang sejak kemarin sore dia biarkan pada mode sunyi. Menuju ke ruang tamu, dia menyalakan TV dan mencari acara kartun pagi hari yang lumayan menghibur.

Satu lagi masalah datang padanya. Notifikasi sosial medianya hampir seribu, belum lagi pesan belum terbaca yang menyentuh angka delapan puluh, dan jangan lupakan tiga puluh tujuh panggilan tak terjawab.

Mulai melihat panggilan tak terjawab, hanya dua nama yang tertera disana, mamanya dan juga Milan. Kemudian melihat pesan yang belum terbaca juga masih di dominasi mamanya dan Milan, ada beberapa juga temannya yang ikut-ikutan menanyakan masalah pernikahan.

Kalau sosial media, sudahlah Terra benar-benar tidak mau melihat yang itu. Terlalu banyak, dia juga tidak kurang kerjaan membaca dan membalas satu persatu mereka yang bertanya di sosial medianya. Terra jadi merasa mendadak tenar.

Ada satu nama yang rasanya harus Terra berikan penjelasan, tapi entah mengapa dia malas melakukannya. Siapa lagi kalau bukan Milan. Sahabatnya itu tidak berhenti menghubunginya dari kemarin malam, untung pagi ini Milan belum melancarkan aksi teror. Atau jangan-jangan dia malah sedang berkencan dengan Sintia.

Mengingat nama Sintia menghancurkan mood Terra seketika. Terra sendiri bingung kenapa dirinya begitu membenci Sintia. Oke, Sintia cari gara-gara dengannya, tapi biasanya dia bukan orang yang suka lama-lama marah. Paling lama juga satu bulan, kalau dengan Sintia, sudah dua tahun juga dia masih kesal saja.

Ponsel Terra bergetar, ada nama Milan disana. Panjang umur dia, baru juga dipikirkan tiba-tiba langsung telepon. Dengan malas Terra mengangkat panggilan tersebut.

"Halo?"

"Gue udah mau sampai di apartemen lo, bukain pintu nanti ya." Ucap Milan di seberang sana, kemudian langsung memutuskan panggilan mereka.

"What?" Terra sedikit berteriak. Tahu kalau Milan sudah memutuskan telepon, dia membuang ponselnya di sofa begitu saja. Tidak lama, getaran di ponselnya muncul lagi. Buru-buru Terra mengangkatnya.

"Lo apa-apaan sih pagi-pagi begini nggak ada kerjaan ya?!" Kata Terra kesal.

Mendengar suara bariton dari ponselnya membuat sekujur Terra membeku. Tidak, suara Milan tidak pernah seberat ini. Suara Milan itu renyah. Milan tidak punya suara yang rendah dan dalam seperti lelaki yang baru saja bicara itu.

TerraCotta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang