19. Lamaran

39.5K 4.5K 32
                                    

Happy reading, jangan lupa vote dan comment nya. Terima kasih...

***

Membahas tentang pernikahan kita. Perkataan yang terdengar menggelikan di telinga Terra, tapi akhirnya disini juga mereka berada. Salah satu restoran cepat saji di dekat apartemen Terra, tidak perlu kendaraan, cukup menggunakan kaki saja.

Terra pikir Dion akan terang-terangan menolak diajak ke tempat seperti ini. Tapi lelaki itu malah sudah duduk nyaman di kursinya dengan segelas kopi hitam panas, lain dengan Terra yang memilih minuman yang dingin dan segar.

"Jadi Bapak mau bahas apa sampai-sampai benar-benar datang ke tempat saya?" Tanya Terra.

"Tentu saja pernikahan kita. Tapi sebelum kesana, masih ada proses panjang yang perlu kita pikirkan dan bahas bersama." Jawab Dion Tenang.

Terra menatap Dion menyelidik, berusaha membuat otaknya berpikir keras untuk bisa mencerna apa maksudnya proses panjang tadi.

"Bapak nggak niat bikin perjanjian nikah sama saya kan? Atau malah kontrak nikah?" Selidik Terra. Dion mendengus kesal. Walaupun tidak ada rasa apa-apa, tapi Terra menentang keras hal-hal seperti itu. Pernikahan bukan untuk dimainkan, meskipun sekarang pun sepertinya dia sedang mempermainkan pernikahan.

"Perjanjian pra-nikah jelas. Saya juga tidak mau aset dan harta yang sudah saya kumpulkan susah payah jadi punya kamu suatu saat nanti kalau kita sampai berpisah, tapi bukan berarti saya mau ada perpisahan dalam pernikahan kita nanti."

"Intinya saja Pak, nggak perlu muter-muter saya bingung."

"Intinya tidak ada perceraian, kita jalani pernikahan ini selayaknya orang menikah. Saya sudah bertemu ibu kamu, gantian kamu yang akan bertemu orangtua saya, kemudian baru kita susun acara pernikahannya secepat mungkin." Ya, Dion sudah tahu dari calon mertuanya tadi kalau papa Terra sudah tidak ada sejak lama.

"Kapan?" Terra menyersap minumannya membasahi tengorokannya yang mulai kering.

"Besok malam."

Terra tidak menjawab. Dion tidak akan mengubah keputusannya sekalipun dibantah. Kalau memang lelaki itu tidak yakin, tentu dia belum memutuskan dan pasti akan bertanya lebih dahulu padanya.

"Oke, saya harus pakai baju apa?" Tanya Terra.

"Biasa saja, bukan acara formal, hanya makan malam biasa seperti kebanyakan orang." Terra mengangguk mengerti. Bukan hal yang sulit. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepala Terra.

"Pak, temani saya ke ulang tahun mamanya Milan ya?" Dion mengernyit heran mendengar permintaan Terra.

"Untuk apa? Dia kan bukan keluarga. Tidak perlu repot-repot memperkenalkan saya." Terra mencibik kesal. Percaya diri sekali calon suaminya ini. Disuruh pun belum tentu Terra akan mau memperkenalkan. Dia juga tidak mau repot-repot sebenarnya, hanya saja sejarah keluarga Milan dan dirinya lebih rumit dari pada hanya sekedar kenalan.

"Harus tahu, soalnya orangtua Milan itu teman baiknya mama. Susah senang mereka selalu sama-sama, lebih dari saudara. Jadi pasti harus kenal. Mumpung acaranya minggu depan, sekalian aja Pak biar nggak ribet-ribet atur waktu lagi."

Dion tampak berpikir sejenak, kemudian mengangguk menyetujui. Mereka tidak punya banyak waktu. Dion ingin segera menikah, supaya orangtuanya tidak berisik lagi menanyakan kapan. Satu lagi yang pasti, dia bisa bebas dari pantauan kedua orangtuanya juga.

"Oke, saya ikut ke acara itu. Lalu untuk pertemuan kedua keluarga, gimana kalau minggu depannya saja sekalian. Setelah acaranya sahabat dari bayi kamu." Entah Dion sengaja mengejek atau bagaimana, tapi Terra jadi benci dengan kata-kata itu. Sahabat dari bayi, kesannya seperti Milan dan dirinya adalah dua orang yang tidak bisa dipisahkan.

TerraCotta (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang