Happy reading, jangan lupa vote dan comment nya. Terima kasih...
***
Pukul delapan lewat lima menit Dion sudah tiba di Bandara Soekarno Hatta. Dia sengaja mengambil penerbangan paling pagi untuk pulang. Urusan di Surabaya dia serahkan pada Faris. Mima harusnya sudah sembuh.
Pak Imam yang sejak pukul setengah delapan pagi sudah ada disana langsung mengangkut koper Dion ke bagasi. Kemarin Dion memang minta dijemput, dan dia sudah mewanti-wanti Pak Imam untuk tidak terlambat dengan alasan apapun. Banyak yang harus segera dia lakukan setibanya di Jakarta.
"Kita mau kemana Pak?" Tanya Pak Imam dari balik kemudi.
"Raffles Apartemen Pak." Jawab Dion singkat. Pak Imam langsung melajukan mobilnya.
Hampir satu jam kemudian Dion sudah sampai di tempat tujuannya. Dia berjalan dengan cepat masuk ke dalam apartemen. Sampai di depan unit tujuannya, dia menekan bel beberapa kali tidak peduli penghuni di dalam sana mungkin masih terlelap sepagi ini.
Reyya muncul dengan wajahnya yang lumayan segar. Dari pakaiannya bisa Dion tebak kalau wanita itu ingin pergi.
"Dion?" Reyya bergeser sedikit memberikan ruang pada Dion untuk masuk ke dalam. "Tumben kamu pagi-pagi datang ke sini. Sudah sarapan? Aku baru mau buat sarapan. Mau sarapan bersama?" Tawar Reyya yang sudah akan beranjak ke dapur.
"Tidak perlu repot-repot, aku sedang tidak lapar."
"Sarapan itu harus. Dulu kamu tidak pernah lupa sarapan kan. Konsentrasimu bisa ter-"
"Kita akhiri saja semuanya," Potong Dion membuat Reyya menatap tidak percaya pada lelaki di hadapannya sekarang. "Semua ini, aku, kamu, masa lalu kita. Ayo kita akhiri semua. Kita tidak akan bisa hidup bahagia dengan hanya memandang masa lalu. Dan aku sudah muak dengan semuanya." Reyya membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu, namun dia urungkan lagi. Reyya tertawa getir.
"Kamu tahu kan kenapa aku kembali ke sini? Sudah aku katakan berkali-kali, dan kamu masih menyuruhku untuk pergi? Aku tidak bisa, kita tibak bisa berakhir seperti ini saja. Aku tidak bisa kalau tidak ada kamu."
"Dulu kamu bisa, apa bedanya dengan sekarang? Dengan atau tanpaku kamu tetap akan baik-baik saja. Jangan bersandiwara lagi, aku sudah tahu semuanya dari papa," Dion bahkan tidak mau repot-repot duduk. Dia hanya menyandarkan dirinya di tembok dekat pintu masuk. "Apa yang kalian bicarakan di Perancis dulu? Meluruskan kesalahpahaman? Atau malah merencanakan hidup baru kalian berdua? Surat cerai untuk Danira? Kamu memanfaatan ketidaktahuanku untuk menipuku? Aku bahkan tidak mengenal lagi siapa kamu sebenarnya. Reyyana yang kukenal dulu bukan wanita jahat sepertimu."
Tidak ada kemarahan disetiap ucapan Dion. Suaranya begitu tenang. Marah tidak akan menyelesaikan masalahnya dengan Reyya. Semarah apapun dia justru akan membuat Reyya semakin berulah dan makin menjadi.
"Jadi begini akhirnya? Apa karena wanita itu? Kamu benar-benar jatuh cinta padanya ya? Aku kira hatimu masih menjadi milikku. Aku tidak bisa Dion, tidak bisa kalau tanpa kamu. Lebih baik aku menyusul anakku saja."
"Jangan jadikan bayimu sebagai alasan untuk menahanku, karena aku benar-benar tidak peduli bahkan jika kamu mau mati sekarang juga di hadapanku. Dengan senang hati akan aku biarkan, anggap saja sebagai balas dendam yang setimpal untuk Danira. Aku tidak akan mencegahmu untuk menyusulnya."
Reyya diam, tidak mampu menggerakkan kakinya selangkah pun. Matanya beradu dengan mata dingin Dion, tajam dan menusuk, rasanya seperti menguliti Reyya hidup-hidup. Tidak ada air mata. Reyya sudah lelah menangis selama bertahun-tahun. Air matanya sudah kering, terlebih lagi jika untuk melepas Dion.
KAMU SEDANG MEMBACA
TerraCotta (Completed)
ChickLitDi usia yang nyaris kepala tiga, Terra masih tidak mengerti tujuan hidupnya apa. Selama lima tahun terakhir, dia merasa tidak ada yang berubah, waktu berhenti berputar dan tahu-tahu dia sudah dua puluh delapan tahun. Rasanya baru kemarin dia masuk k...