Happy reading, jangan lupa vote dan comment nya. Terima kasih.
***
Milan membawa sebaskom air yang penuh dengan es batu, beserta lap kecil didalamnya, kemudian meletakkan baskom tersebut di meja kecil yang ada di depan sofa. Dia sedikit meringis ketika melihat pipi Terra yang merah dan bengkak di lobby tadi. Untuk memakai dan melepaskan helm saja wanita itu butuh tenaga dan usaha ekstra. Milan memeras kain yang ada di baskom hingga setengah kering, kemudian dengan telaten mengompres pipi Terra.
"Sakit nggak?" Tanya Milan.
"Sakit lah." Milan meringis, padahal yang terluka Terra. Bisa-bisanya wanita itu tidak mengeluarkan ekspresi apapun.
"Sial banget hidup lo Ter."
"Semenjak tuh laki ada, hidup gue mendadak jadi sial. Berasa dikutuk sama Tuhan gue." Terra membiarkan Milan yang masih mengompres pipinya. Sakit, tapi tidak sesakit tadi siang. Rasanya masih nyut-nyutan tapi Terra sudah mulai terbiasa dengan sensasi itu.
"Tante kemana Ter? Tumben nggak kelihatan?" Milan celingukkan mencari keberadaan Lydia yang tidak kelihatan sejak mereka datang tadi.
"Arisan keluarga ke Bogor dua hari yang lalu. Besok juga pulang," Terra mengambil kain dari tangan Milan dan mengompres lukanya sendiri. "Untung aja lagi pergi, coba kalau dia lihat gue pulang begini. Ceramah lagi pasti." Milan tertawa puas membayangkan wajah Lydia yang sudah pasti kesal setengah mati anak semata wayangnya pulang babak belur.
"Bisa abis bos lo besok. Tante pasti nekat ngobrak-abrik kantor, bikin rusuh lagi disana."
Terra tersenyum tipis. Ibunya memang juara, tidak ada tandingannya kalau menyangkut anak semata wayang yang sudah dengan susah payah dia besarkan. Jangankan Dion, Pak Adi sekalipun bisa dia marahi pasti.
"Malu banget gue, langsung resign besoknya kalau sampai mama ngomel di kantor mah."
Milan menggelengkan kepalanya. Sejak dulu Terra memang selalu saja ribut dan tidak pernah bisa akur dengan ibunya. Ada saja yang jadi bahan pertengkaran mereka, mulai dari hal yang paling sepele, sampai hal yang bikin satu komplek pusing tujuh keliling.
"Tante Lydia masih nggak berubah aja ya. Dia sayang banget sama lo sampai segitu cerewetnya sama lo."
"Ya sayang lah, namanya juga emak gue! Yang bingung kalau emak lo lebih sayang ke gue dari pada lo." Jawab Terra ketus.
"Kata siapa? Nyokap gue juga lebih sayang sama lo kok."
Terra terdiam. Perkataan Milan barusan sukses membuat hati Terra tersentil. Tante Maya, ibunya Milan, wanita lembut itu begitu perhatian dan pengertian pada Terra. Bahkan kadang Terra merasa Tante Maya jauh lebih bisa memahaminya dari pada ibunya sendiri.
Tante Maya selalu ingat kalau dia tidak bisa makan pedas, setiap kali Terra numpang makan disana, pasti semua makanan yang ada diatas meja tidak ada yang pedas. Milan bahkan sampai protes dulu dan bilang kalau makanannya tidak ada rasa, tapi Tante Maya malah mengomeli Milan.
"Minggu depan nyokap gue ulang tahun Ter. Dia nanyain lo bisa datang nggak. Katanya kangen udah lama nggak ketemu. Sekalian mau ngobrol sama nyokap lo katanya."
Dua tahun lalu saat anniversary pernikahan orangtua Milan adalah terakhir kalinya Terra bertemu mereka. Sanking kesal dan malunya, Terra enggan berkunjung kesana. Padahal Milan sudah beberapa kali bilang kalau orangtuanya mencari Terra, mereka merindukan Terra.
Terra sudah dianggap seperti anak sendiri. Anak permpuan yang tidak pernah Om Irwan dan Tante Maya miliki. Milan yang dulu dokter bilang adalah bayi perempuan nyatanya malah terlahir dengan jenis kelamin lelaki. Kerinduan mereka terobati dengan kehadiran Terra. Lalu sekarang Terra memutuskan menjauh, tentu saja perasaan sedih itu pasti ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
TerraCotta (Completed)
ChickLitDi usia yang nyaris kepala tiga, Terra masih tidak mengerti tujuan hidupnya apa. Selama lima tahun terakhir, dia merasa tidak ada yang berubah, waktu berhenti berputar dan tahu-tahu dia sudah dua puluh delapan tahun. Rasanya baru kemarin dia masuk k...