Bis terakhir menurunkan Dongju di sebuah halte yang sepi. Pejalan kaki terlihat semakin mempercepat langkah menuju ke rumah sebelum hujan turun karena samar suara petir mulai bergemuruh susul menyusul dari kejauhan. Langkah kakinya yang kurus terasa berat karena rasa letih namun dia juga tidak mengurangi kecepatan. Sambil menaikkan resleting jaket tim olahraganya sampai ke dagu, dia memasuki kawasan jalan yang lebih kecil. Sesekali dia menengok ke belakang, memastikan kalau tidak ada penguntit beberapa meter di sana. Sebenarnya dia tidak perlu khawatir. Saat ini satu-satunya barang berharga yang ia bawa hanya ponsel dan beberapa lembar sisa uang jajan. Tidak akan ada yang mau merampok anak sekolah bokek seperti dia.
Kepalanya menengadah ketika memasuki kawasan apartemen. Ini gila sih. Dia sendiri tidak mengerti kenapa anak sekolahan seperti dirinya masih berada di luar rumah padahal jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih. Untuk satu dan berbagai alasan, pikirannya yang masih terlalu muda terpaksa dipaksa pandai berbohong mencari alasan. Dia bekerja di sebuah kafe sebagai tukang cuci piring makanya dia baru bisa kembali ke rumah selarut itu. Sambil menaiki tangga demi tangga, Dongju memutar otak tentang penjelasan masuk akal selain kerja kelompok di rumah teman. Langkahnya terhenti di anak tangga ke dua puluh.
Tunggu.
Hari ini bahkan eomma tidak mengiriminya rentetan pesan atau telepon. Dia baru menyadari itu saat teringat ponsel di dalam tas yang sama sekali tidak berbunyi bahkan sepanjang perjalanan tadi. dan dia terlalu mengantuk untuk berpikir apa kira-kira penyebabnya.
Mungkin eomma ketiduran. Ibunya sendiri harus bekerja seharian dan pulang malam karena jadwal shift sore di rumah sakit. Anak itu kembali melangkah. Di tengah suasana selasar yang sepi dan kurang penerangan, dia melihat pintu apartemennya terbuka setengah. Apa ada tamu? Jam segini? Jantungnya mencelos. Mana mungkin eomma membawa teman pria lagi. Kalau benar, dia akan kabur sekarang juga.
Dengan langkah ragu dia mendekati ambang pintu. Terdengar suara dentuman, seperti pintu yang ditutup dari dalam.
Bugh. Bugh. Bugh.
Kelihatannya sang ibu belum tidur. Kenapa jam segini malah sibuk membereskan kasur? Sebuah bayangan pria mengenakan baju serba hitam yang dia lihat dari ambang foyer menuju ruang tengah membuatnya tiba-tiba berdiri mematung. Tubuh anak itu seketika beku, diguyur panik dan takut secara bersamaan. Bola matanya bergetar, bergerak turun pada sosok yang terkapar di lantai. Dia menelan ludah susah payah. Tangannya berpegangan erat pada pinggir rak sepatu agar tidak ambruk.
"Lo masih belum mau bilang dimana lo simpen barang itu? "
Sebuah suara berat terdengar. Dongju mencoba menahan diri untuk tidak berteriak. Pria itu berdiri membelakangi. Kakinya menendang perut sang ibu yang tengah merintih kesakitan. Sebelah tangannya memegangi tongkat kasti milik Dongju. Ujung tongkat itu sudah penuh dilumuri darah.
"Kamu lebih baik bunuh saya, semua hal yang saya, uhuk_"
Suara ibunya tercekat. Sesuatu pasti menggumpal di tenggorokan wanita itu dan benar saja, dia memuntahkan percikan darah di lantai.
Bugh.
Tongkat kasti terayun, melayang sekali lagi mengenai tengkuk perempuan itu hingga ia tersentak. Bahkan tidak ada suara jeritan. Semua susah payah ia tahan. Di antara celah kaki sang pria, matanya menangkap sosok Dongju yang berdiri ketakutan di belakang sana. Dengan isyarat mata, dia mengedip dua kali, menyuruh Dongju segera pergi dari situ.
"Bilang!" Pria itu kehilangan kesabaran. Teriakannya bisa membangunkan seluruh penghuni apartemen. Namun tidak pernah ada yang mau peduli. Tetangga kiri kanan adalah makhluk-makhluk individualis yang Dongju sendiri tidak yakin kalau mereka benar-benar ada.
"Per-pergi dari sini," kata wanita itu terbata.
"Apa?"
"Cepat pergi. Aku akan mati."
"Sebaiknya begitu, bangsat."
Dongju tersentak ketika tangannya tanpa sengaja menyenggol sepatu hingga terjatuh. Jantungnya seperti ikut turun sampai ke perut. Sebelum pria tadi berbalik, Dongju secepat kilat berlari keluar. Dia mengerahkan seluruh tenaga menuruni puluhan anak tangga dan mencari tempat bersembunyi di area parkir. Jantungnya berdegup kencang, memompa seluruh darah dengan kecepatan yang hampir kelewat batas. Dia merasa dadanya bisa sewaktu-waktu meledak saat itu juga. Dengan tangan gemetar, Dongju meraih ponsel dan menghubungi polisi. Namun gerakannya terhenti saat dia mendengar suara langkah kaki yang ikut berlari.
Dongju yang tengah bersembunyi di antara deretan mobil seketika tengkurap di lantai. Dia melihat sepatu converse putih yang muncul dari pintu lobi. Sebuah sepatu keluaran terbaru dan ia tahu betul edisinya terbatas. Sebagian sisinya terkena bercak darah. Sedikit demi sedikit, Dongju memasukkan sebagian tubuh ke bawah mobil. Dia membekap mulutnya sendiri agar tidak mengeluarkan suara apapun. Matanya tajam mengawasi kemana kaki itu melangkah. Pria itu mondar mandir tidak jauh dari tempat persembunyiannya. Ditendangnya dengan kasar sebuah botol minuman plastik.
"Brengsek!"
Dongju memejamkan mata, berharap orang itu lekas pergi dan tidak punya inisiatif untuk memeriksa setiap kolong mobil satu per satu. Dari jarak pandang yang cukup dekat, Dongju memerhatikan kemana kaki itu sekarang bergerak. Mobil ketiga dari tempatnya bersembunyi, mengeluarkan suara alarm pintu yang terbuka. Converse putih itu melangkah cepat dan memasuki mobil yang dituju lalu pergi dengan kecepatan penuh keluar dari kawasan apartemen.
Dongju menghembuskan napas keras-keras. Dibaringkan kepalanya pada aspal dingin lalu dia kembali menghubungi polisi. Saat itu dia belum bisa menangis, meski setelah sekelompok polisi datang, dia terpaksa harus menerima kenyataan bahwa ibunya telah tewas mengenaskan dengan wajah hancur karena serangan benda tumpul.
KAMU SEDANG MEMBACA
DELUSIONAL MR.KIM || Leedo 🔞⚠️ (COMPLETED✅)
Fiksi PenggemarSon Dongju berusaha mencari kebenaran atas kematian ibunya, tapi saat bertemu Kim Geonhak, dia justru menemukan hal lain yang lebih menarik dan mampu mendistraksi semua rencana yang telah ia susun untuk menemukan sang pembunuh. Bersama Kim Geonhak...