16. Ray

68 18 14
                                    

Aduh, si kutu kupret mana lagi? Gue sudah setara sama patung Pancoran nih berdiri di depan lobby.

"Eh, sorry! Tadi gue kebelet." Kinan datang dengan napas yang terengah-engah.

"Lo ketularan Gamal ya? Suka boker enggak tahu waktu," sindir gue.

"Gue bukan boker kali. Tadi gue ke ruang guru sebentar. Mrs. Shelly manggil, jadi gue nahan pipis sampe sakit perut."

"Lo udah baikan sama Sour Shelly? Apa lo dihukum sama dia? Gue pernah disuruh nulis 'I promise I will never do it again' 50 kali sama dia di ruang guru gara-gara gue tidur pas pelajarannya. Keriting tangan gue."

Kinan tergelak. "Lagian lo beraninya tidur pas pelajaran Mrs. Shelly. Gue enggak pernah dihukum sama dia. Cuma nanya doang, kenapa gue keluar dari klub Matematika."

"Oh iya, gue lupa kalau lo kesayangannya dia."

Kinan berdecih. "Kalau gue kesayangannya, mana mungkin dia ngedepak gue dari olimpiade."

Gue menyerahkan helm kepadanya saat tiba di motor. Kali ini sengaja gue bawain. Daripada harus pulang dulu ke rumahnya terus dia pakai acara buang air dulu. Kalau dipikir-pikir nih cewek tukang beser ya?

"Dia enggak punya pilihan lain kali. Kan lo yang cerita waktu itu. Tapi emang dari dulu sekolah kita suka nepotisme," sahut gue.

"Iya, Manajemen Sekolahnya nepotisme, bawahannya penjilat. Ya, karena atasannya juga gitu. Gue pernah denger si Dariel bilang ke homeroom kelas gue, kalau semua guru takut sama parents, termasuk Pak David takut sama papinya." Kinan menaiki motor setelah gue siap di depan kemudi.

"Belagu juga tuh anak. Parents yang mana dulu nih? Kalau kantongnya tebel, iya mereka ciut," timpal gue.

"Ya, papinya dia kan kerja di Pertamina. Belom lagi maminya, katanya bisnis berlian atau apa gitu."

Untung saja selama perjalanan, Kinan terdiam. Gue agak susah mendengarnya kalau dia cerita. Suara dia kayak orang kumur-kumur. Jelas saja, kuping gue tertutup helm. Belum lagi ada suara angin, klakson, dan berbagai ingar-bingar jalanan. Sudah gitu kalau gue enggak merespon, dia marah lagi. Lengan gue ditabok. Ngeselin tuh cewek.

Setelah sampai, gue baru tahu penyebab Kinan diam selama perjalanan. Dia membaca rangkuman di ponselnya.

"Besok ada worksheet Biologi."

Gila tuh cewek. Gue selama ini setiap ada worksheet atau formative, jarang belajar. Bukan jarang ding, enggak pernah.

"Mas Brian lagi keluar sebentar. Disuruh nunggu di atas langsung." Marlina memberikan kunci setelah gue sama Kinan masuk cafe.

Sewaktu kita sudah masuk di tempat Om Brian, si kutu kupret belajar lagi. Kali ini pakai buka buku di atas meja dapur. Bikin gue ngantuk, padahal cuma lihat dia belajar.

"Oh iya, lo kalau mau ikut ke Bandung sama si Cutbray, ikut aja lagi. Bisa izin ke Om Brian buat enggak masuk kerja," ujar gue.

Kinan mendongak dari bukunya. "Bukan itu alasan gue nolak. Anak-anak choir lainnya enggak ikhlas kalau gue ikut."

"Kenapa gitu?"

Kinan mengembuskan napas. "Bukannya gue terkenal sombong, enggak suka bergaul, kalau ada maunya aja baru ngomong?"

"Gue setuju sih." Eh, gue malah dilempar sama tempat pensilnya.

"Iya, gue tahu. Tapi gue enggak maksud sombong. Gue ... gue itu ... bingung ngomong kalau enggak ada kepentingan. Mungkin aneh, tapi ya gue emang gitu."

Lazy BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang