27. Kinan

68 20 19
                                    

Ada yang aneh dengan diriku. Dari pagi aku sudah semangat untuk bangun. Sampai aku kebingungan ingin memakai baju apa. Biasanya kalau pergi sama Ibra, aku hanya mengambil baju semauku.

Eh, tapi kan kalau pergi sama Ray aku lebih biasa banget. Bukannya kegiatan kita cuma les bareng? Apa karena sudah lama kita enggak ngobrol bareng? Aku agak merasa ada yang hilang. Oh, no! Jangan bilang aku ...! Enggak mungkin aku suka sama makhluk aneh itu. Aku kan sukanya sama Ibra.

Ngomong-ngomong soal Ibra, kedua orang tuaku enggak tahu kami mempunyai hubungan spesial. Aku juga heran, padahal Ibra cuma nanya tentang perasaanku. Enggak ada tambahan, "do you wanna be my girlfriend?" Ah, alay banget!

Tahu-tahu saja berita kami berpacaran menyebar luas ke seantero sekolah. Setelah aku korek-korek, ternyata usai pertemuan kami di cafe sekolah, Ibra meneraktir gank-nya. Katanya upah jadian. Oh, my God! Sumpah, narsis banget tuh orang.

Selama ini aku belum sempat memikirkan hal tersebut. Apakah iya aku ingin pacaran? Bukannya pacaran itu dosa? Aku enggak tega mematahkan perasaan Ibra lagi. Apalagi dia menolongku atas kasus tuduhan sontekan.

Jadi Om Rashid menelepon Pak David dan beberapa hari setelahnya aku dipanggil ke ruangannya. Eh, aku malah ditawari untuk masuk GTC secara gratis. Mau nyogok ceritanya nih?

"Kenapa enggak lo terima aja tawaran Pak David?" tanya Ibra.

"Lo enggak paham konsep sogokan, Im? Mereka memakai power-nya supaya gue enggak balik menuntut Davina. Gue males nuntut balik. Lelah hidup gue ngeladenin dia, Im. Tapi seenggaknya gue menolak sogokannya. Jadi mereka enggak bebas memperbudak gue. Enggak ada yang gratis di dunia ini, Im."

Begitulah perdebatan kami kala itu. Panjang umur orangnya. Ngapain Ibra nelepon pagi-pagi?

"Halo, kenapa, Im?"

"Lo hari ini mau ke mana?"

"Mau ada janji. Gue mau beli hadiah buat Om Brian. Ya, ucapan terima kasih aja sih, karena udah ngajarin gue. Habisnya dia enggak mau dibayar. Gue kan orangnya tahu diri."

"Mau gue anterin?"

"Enggak usah! Gue berangkat sama ...."

"Sama siapa? Dayana? Oh, jangan bilang sama Ray. Enggak, enggak boleh pokoknya!"

Idih, kenapa dia jadi ngatur-ngatur, sih? "Ya ampun, Baim. Cuma beli hadiah. Gue kan enggak enak ngasih ke Om Brian, terus enggak ada Ray. Bukannya lo katanya mau ke puncak?"

"Iya, tadinya mau ngajakin lo. Anak-anak pada bawa gandengan nih."

"Terus?"

"Ya, lo kan pacar gue, Ki. Gimana, sih? Lo malah jalan sama cowok lain." Terdengar suara decakan darinya.

Sudah kuduga kalau pacaran bakal seribet ini. Dulu aku adalah seekor merpati yang bebas. Mau kecebur kek, mau nyungsep kek, bodo amat!

"Gue enggak bisa ikut, Im. Mana pernah Papa ngizinin gue buat pergi menginap, kecuali sama keluarga sendiri. Apalagi sama cowok-cowok. Lagian besok Kak Mira datang dari UK. Udah, lo have fun aja sama anak-anak ya?"

Akhirnya pembicaraan menyebalkan itu berakhir. Pastinya setelah aku meyakinkan Ibra bahwa aku akan pergi bersama Dayana, bukan Ray. Eh, Dayana ternyata lagi hangout sama anak-anak choir. What the hell! Bodo amat lah. Lagian Ibra bukan malaikat pencatat amal baik yang bisa melihatku.

Tepat jam sembilan, Ray sudah mangkal di depan gang rumah. Kedua matanya menyuruhku untuk segera naik ke atas motor.

"Lo make parfumnya Om Brian ya? Lo baunya kayak om-om." Aku menepuk pundaknya.

Lazy BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang