Semenjak kejadian Xian menyindirku, aku jadi banyak termenung. Untung saja di hari Minggu, aku nggak ketemu Ray. Aku mencoba pergi kerja kali ini memakai jilbab. Iseng aja sebenarnya. Bukan karena Xian berhasil menyindirku ya! Aku masih tersinggung nih sama dia.
Mama dan Papa terkejut ketika aku berjalan melewati mereka yang sedang asyik menonton televisi.
"Lho, hari ini jadwalnya ngaji?" tanya Mama.
"Enggak, Ma. Adek mau belajar bareng temen-temen."
"Kok pake—"
"Udah biarin aja. Malah bagus," sela Papa.
Setelah menyalami keduanya, aku pergi keluar rumah. Dayana yang sedang bermain dengan keponakannya kembali memerlihatkan ekspresi yang sama dengan Mama. Untung saja Om Brian santai, karena kemarin aku juga memakai jilbab saat ke sini.
"Enggak masalah kan, Om?" Aku mengacungkan ujung jilbab berwarna ungu yang kukenakan.
"Ya, enggak masalah dong. Marlina juga berjilbab. Kamu tetap kece kok." Om Brian mengacungkan jempol.
Namun aku merasa nggak enak. Hari ini jadwalnya pemberian gaji. Lagi-lagi Om Brian memberikanku gaji yang sama seperti sebelum aku pulang lebih cepat.
"Om, ini kebanyakan. Aku kan cuma sampe jam lima sore. Malah aku sebenernya nggak enak dibayar. Udah les enggak bayar, kerja digaji pula." Aku menyodorkan amplop kepada Om Brian. Kami berdua sedang berada di dapur cafe.
"Kalau masalah les, saya emang nggak mau dibayar kok. Nggak apa-apa. Udah disimpan aja. Digajinya kan emang segitu perjanjiannya," terang Om Brian.
Akhirnya aku menyerah setelah beradu argumen. Ketika aku sedang membuka aplikasi ojek online, Ibra meneleponku.
"Halo, kenapa, Im?"
"Gue ada di depan cafe." Lalu terdengar suara klakson berasal dari mobil berwarna merah cabai yang terparkir di luar area parkir.
Dari kaca depan, aku melihat Ibra yang di belakang kemudi.
"Seriously?" Ibra menunjukku saat aku membuka pintu mobil. Ah, pasti ini karena jilbab.
"Lo tahu gue di sini dari siapa?" tanyaku ketika aku telah duduk di dalam mobil.
"Dari Dayana. Lo jangan marah sama dia. Gue juga udah tahu sih kalau lo bohong belajar bareng sama temen sekelas. Gue tanya Davina, katanya lo nggak ikut. Terus Dayana bilang kalau lo sering les sama omnya Ray di cafe ini," jelas Ibra.
Syukurlah Dayana enggak bilang soal aku bekerja di Senja Cafe.
"Tumben lo dibolehin bawa mobil," kataku ketika mobil sudah melaju.
"Mami sama Papi lagi nggak di rumah. Gue minta kunci mobil sama sopir."
"Lho, kita mau ke mana?" Aku melihat Ibra malah mengambil jalur yang berbeda.
"Mau makan. Lo tadi habis ngaji? Kok pake jilbab." Ibra melirikku dengan tatapan aneh.
"Nggak. Lagi kepingin pake aja," sahutku.
Ibra membelokkan mobil ke parkiran mal.
"Jangan kemaleman ya," ujarku.
"Gue udah izin kok ke Tante Esti. Dibolehin." Ibra membuka seatbelt.
"Tapi kan besok sekolah, Baim."
"Iya, iya, bawel." Ibra terkekeh. "Lo beneran mau masuk pake jilbab?"
Aku mengernyitkan dahi. "Emangnya ada aturan enggak boleh masuk pake jilbab? Kalau lo enggak nyaman, kita pulang aja."
"Oke, oke. Ayo, keluar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lazy Boy
Teen FictionKinan merutuki nasibnya gara-gara didepak oleh sekolah dari perwakilan olimpiade sains. Ini semua akibat kesalahan yang dilakukannya di tahun lalu. Ah, Kinan jadi gagal mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri! Padahal kalau dia berhasil membawa p...