11. Kinan

80 21 11
                                    

"Day, gue mau nitip dong!" seruku saat melihat dia baru saja keluar dari toilet.

"Lagi jadwal renang ya? Ih, enaknya! Gue jadwalnya masih minggu depan. Mana habis ini Accounting. Tahu sendiri gue paling males sama hitung-hitungan," gerutunya. Dia melihatku yang sudah mengenakan seragam renang.

"Kan pas liburan udah gue ajarin."

"Iya, iya, Miss. Kinan. Lo yang anak Science, tapi lebih jago dari gue. Mau nitip apaan?"

Aku menyodorkan tas kain kepadanya. "Minta tolong kasihin ke Ray ya. Ini jaket punya dia."

"Ciee ...! Gue lihat kalian makin mesra. Eh, gue lihat lho pas lo dibonceng sama dia." Dayana mencubit lenganku.

"Apaan sih? Jangan mikir macem-macem deh. Nanti malah jadi awkward. Gue cuma belajar bahasa Jerman bareng sama dia. Jangan sampe kejadian sama Ibra keulang lagi."

"Maaf banget soal Ibra. Gara-gara gue, lo sama dia—"

"Stop it, Day! Itu bukan salah lo. Penyebabnya Davina yang manfaatin masalah itu buat ngejatohin gue." Aku menepuk bahunya.

"Oh iya, maaf gue enggak bisa ngelindungin lo pas Davina nyiram waktu itu."

"Ah, no problem. Gue cuma berharap di kelas XII enggak sekelas lagi sama dia. Capek gue, dia banyak banget dramanya. Tapi waktu itu Ray nolongin gue—" Aku menghentikan perkataanku saat melihat senyuman penuh arti dari kedua bibir Dayana.

Lalu dia membisikkan ke telinga kiriku, "inget lho, Ki. Enggak ada cewek dan cowok yang murni temenan, kecuali di hatinya ada yang lain. Lo aja yang kasih ke Ray langsung." Setelah itu Dayana melambaikan tangannya meninggalkanku.

***

Sebenarnya aku sangat menyukai pelajaran Physical Education (PE) terutama pelajaran renang. Apalagi biasanya kami diberikan waktu ekstra setelah berenang. Entah untuk pergi ke kantin di lantai lima, atau aku berjalan-jalan di sekitar kolam renang.

Biasanya aku berjalan dari playground milik Pre-school yang berada tepat di samping kolam renang. Lalu berjalan melewati tempat latihan wushu untuk menuju Vihara. Cuma sekadar duduk-duduk di halaman depan Vihara yang sepi.

"Udah mulai, Em?" tanyaku kepada Emma, teman sekelas.

Aku enggak terlalu dekat dengan teman sekelas. Apalagi aku sekelas dengan Davina. Kebanyakan teman-teman lebih dekat dengan wanita ular itu. Ya, mereka semua penjilat. Mentang-mentang Davina keponakan tersayang pemilik sekolah ini.

Paling aku hanya berteman dengan Emma, salah satu cewek yang kalau berbicara butuh tenaga ekstra untuk mendengarkannya. Dia anaknya super baik. Enggak terpengaruh dengan Davina dan anak-anak sok pintar lainnya di kelas.

"Belum. Kamu habis dari mana?" tanya Emma balik.

Tuh, kan! Aku harus menunduk dan mendekatkan telingaku ke dekat wajahnya. Enggak kedengaran!

"Aku habis dari kelasnya Dayana."

Coach Arif memanggil semua murid kelas XI Science-1 dan Commerce-2 untuk pemanasan terlebih dahulu. Khusus untuk sesi renang, dua kelas digabung menjadi satu waktu.

Kedua bola mataku tak sengaja berserobok dengan Ibra. Dia yang berbaris tak jauh dariku melirik ke arahku selama pemanasan. Baru ketika selesai pemanasan dan Cello mengajaknya bicara, dia enggak melihatku lagi.

Selain Ibra, ada yang membuatku enggak nyaman di kelas XI Commerce-2. Siapa lagi kalau bukan Bunga? Sebenarnya dari dulu aku enggak suka dengannya. Dia selalu melirikku sinis, terutama saat aku sedang bersama Ibra. Tentunya dulu sebelum kami perang dingin.

Lazy BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang