Aku orangnya jarang menangis kalau nonton film. Teman-teman sering cerita kalau mereka nangis mewek sehabis menonton film melankolis. Namun aku akan menangis jika film atau novel membahas tentang orang tua.
Mungkin karena rasa cinta yang baru kurasakan saat ini hanya kepada mereka. Bukannya aku enggak pernah suka cowok. Aku juga remaja yang sedang melewati fase yang orang sebut sebagai puber. Namun aku hanya merasa cinta yang seperti itu isinya cuma menyakitkan. Cuma numpang lewat saja.
Hanya sebatas film atau novel saja aku menangis, apalagi betulan. Makanya saat aku mendengar Mama masuk rumah sakit, kedua lututku seakan lemas. Aku enggak bisa nangis, tapi pikiranku kosong. Seakan suara yang masuk hanya seperti bayangan berkelabatan.
Seharusnya aku mengucapkan terima kasih kepada Ray. Namun aku berlalu begitu saja. Besok saja lah kalau ketemu di sekolah.
Aku menelepon Papa ketika sampai di depan ruang IGD. Papa keluar masih mengenakan seragam PGRI-nya.
"Kok tiba-tiba Mama nge-drop gini, Pa?" tanyaku.
"Biasa. Mama kalau lagi ada masalah suka terlalu dipikirin. Enggak bisa mendengar kabar buruk," terang Papa.
"Emang Mama ada masalah apa, Pa?"
"Masalah sekolah. Mama udah nge-drop dari kemarin. Cuma dipaksa masuk sekolah. Jadi gini. Ya udah kalau mau masuk, masuk aja."
Aku baru teringat kalau kemarin aku pulang larut malam. Papa bilangnya kalau Mama sudah tidur, tapi enggak bilang kalau lagi sakit. Mama dan Papa sering seperti ini. Jarang bilang kepada anak-anaknya kalau sedang sakit. Pasti Papa dan Mama melarangku untuk memberitahu kakakku tentang kabar kalau Mama masuk rumah sakit.
Di saat aku membuka pintu IGD, aku melihat beberapa penjaga di balik meja panjang dekat pintu. Ada juga dokter yang mondar-mandir memeriksa pasien. Sepertinya baru saja ada pasien yang datang.
Posisi Mama enggak jauh dari pintu masuk. Aku menyibakkan gorden dan melihat selang pernapasan pada hidung minimalis Mama yang persis denganku. Selang infus tertanam pada tangannya yang urat-uratnya terlihat pada pergelangan tangan. Tangan Mama yang pucat membuat urat-uratnya terlihat kontras.
Mama terbangun saat aku datang dan tersenyum. Aku yakin pasti asma Mama kambuh. Penyakit asma ini keturunan dari keluarga Mama dan menurun kepadaku. Cuma ketika aku kecil, Mama dan Papa sigap memberikan terapi untukku di rumah sakit. Jadinya aku berhasil sembuh. Meskipun aku masih sedikit sensitif dengan debu. Sedangkan Mama ketika kecil enggak mendapatkan pengobatan yang baik, karena biayanya mahal. Jadi masih sesekali kambuh.
"Mama udah makan?" Hanya kata-kata itu yang bisa keluar dari mulutku.
"Udah."
Mama enggak bisa banyak bicara. Dadanya terlihat naik turun seperti berusaha menangkap oksigen yang masuk. Aku hanya membenarkan letak selimut. Lalu duduk di sebelah Mama di atas undakan tangga kecil, karena enggak ada tempat duduk. Katanya tadi Papa pergi keluar untuk membeli roti dan buah.
***
Akhirnya Mama dirawat inap, karena masih belum membaik. Aku pulang diantar Papa menggunakan mobil. Papa hanya mengambil pakaian ganti untuk Mama dan selimut yang lebih tebal, karena AC di sana terlalu dingin untuk Mama.
"Adek enggak usah ikut lagi. Besok harus sekolah. Baru besoknya ke rumah sakit habis pulang sekolah. Tapi kalau ada belajar bareng, enggak usah ke rumah sakit enggak apa-apa," pesan Papa.
Aku hanya mengangguk. Lalu melihat Dayana yang datang dari pagar. Dia menyalami Papa saat berpapasan.
"Gue nanti malam nginep di sini ya. Nanti gue bawain makan malam. Kata Mama, lo besok sarapan di rumah gue." Dayana merangkul lenganku seraya masuk ke dalam rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lazy Boy
Teen FictionKinan merutuki nasibnya gara-gara didepak oleh sekolah dari perwakilan olimpiade sains. Ini semua akibat kesalahan yang dilakukannya di tahun lalu. Ah, Kinan jadi gagal mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri! Padahal kalau dia berhasil membawa p...