34. Ray

73 22 11
                                    

Gue sempat berhenti melangkah ketika melihat Kinan menunggu di depan ruangan Miss. Deli. Aduh, pikiran gue lagi mumet. Apalagi Bapak'e mau ke sini lagi. Gue enggak mau Kinan dijadikan kambing hitam. Kayak kejadian foto itu. Ya, meskipun itu ulahnya si kutu kupret.

Lagian gue kesal banget sama Bapak'e. Walaupun gue suka sama Kinan, tapi kayak semua kejadian dihubungkan dengan cinta gue yang bertepuk sebelah tangan. Perasaan gue enggak sampai gila deh gara-gara perasaan gue enggak bersambut.

Eh, ayam mati! Kinan malah menghadang jalan gue. Padahal gue sengaja menganggap dia kayak manusia silver di jalanan.

"Lo mau apa?" kata gue.

Kinan malah nangis sambil minta maaf. Sumpah! Gue kepingin narik si kutu kupret ke pelukan gue. Cowok macam apa gue yang seenaknya meluk cewek yang trauma, karena ... gue enggak sanggup buat jelasinnya. Sekarang gue paham kenapa Kinan sering kaget kalau gue narik tangannya atau nepuk pundaknya waktu ketemu.

Tangan gue mengulur untuk mengusap air matanya. Itu aja dia kayak kepingin menangkis tangan gue. Tenang, kutu kupret, gue enggak bakal menyentuh lo seenaknya. Kalau gue menyakiti perempuan, sama aja gue menyakiti hati perempuan yang gue sayangi. Bunda.

Yah, adegan romantis kita terpotong karena iklan lewat. Bapak'e datang. Maunya sih gue bawa kabur Kinan, terus kita jalan-jalan.

Setelah Bapak'e datang, Miss. Deli mempersilakan Bapak'e ke ruangan Pak David.

***

Gue tidur kayak orang mati. Bayangin aja, gue molor dari sepulang sekolah sampai jam delapan. Gue cuma bangun buat salat doang. Obat stres terbaik adalah tidur. Ya, tapi keinginan untuk tidur damai bubar ketika gue mendengar ketukan pintu.

"Kenapa sih, Bun?"

Emak membuka pintu kamar. "Ada Kinan di depan tuh."

Tubuh gue seketika bagaikan mayat yang bangkit dari kuburan, karena panggilan film horor.

"Giliran Kinan dateng aja, langsung melek. Kalau disuruh Bunda, ya ampun susahnyaaa."

"Ya elah, Bun. Kapan emangnya Ray enggak mau disuruh Bunda?"

"Iya, tapi bibirnya maju 10 senti."

Kenapa semua lebay banget deh? Sebenarnya kalau dipikir-pikir wajar sih Bapak'e dan Emak begitu. Baru pertama kali gue dekat sama cewek. Lebih tepatnya baru pertama kali gue berinteraksi intens dengan manusia.

Semalam aja setelah Bapak'e dan Emak mengobrol di ruang tamu buat meng-ghibahi gue soal kasus adu jotos di sekolah, gue lagi-lagi diintrogasi.

"Kamu nyerang Ibra, karena cemburu kalau dia pacaran sama Kinan?" tanya Emak.

"Kenapa sih semuanya mikir kalau Ray sedangkal itu?" Gue berdecak kesal.

"Terus apa alasannya?"

"Dia udah kurang ajar sama Kinan."

"Kurang ajar gimana, Ray?"

Gue mengembuskan napas. "Ray enggak bisa ceritain, Bun. Ini privasinya Kinan."

Begitulah percakapan tadi malam. Gue langsung berdiri di depan kaca untuk mengecek barangkali masih ada belek atau bekas iler di wajah gue. Eh, tapi gue kayaknya enggak pernah ngiler deh.

Kalau rambut sengaja gue biarin berantakan. Setelah dilihat-lihat, gue enggak kalah ganteng deh dari si cowok Korea. Terus gue keluar dengan wajah orang yang benar-benar baru bangun. Gue agak grogi sih.

Cuma Kinan juga agak aneh. Dia enggak kayak biasanya. Dan gue yakin banget kalau melihat semburat merah dari kedua pipi imutnya. Ya, pipi yang bikin tangan gue gatal kepingin menyubitnya. Sayangnya di dapur ada Emak. Bisa digampar gue sembarangan megang-megang cewek.

"Heh, kita ada pengayaan sejam lagi. Buruan mandi!"

Gue yakin banget kalau ada semburat merah di pipi Kinan. Apa dia suka juga sama gue? Bodo amat! Pokoknya gue mau mandi dan dandan rapi. Terus gue kepikiran buat memakai kaus dilapisi kemeja pemberian si kutu kupret. Tadinya gue mau menyemprotkan parfum yang gue ambil dari koleksinya Om Brian.

"Ah, nanti gue dipanggil om-om lagi sama dia." Akhirnya gue mengambil semprotan kispray punya Emak.

***

Baru kali ini gue benar-benar paham banget sama Ekonomi. Apa mungkin pengaruh perasaan bahagia ini ya? Jelas aja, dari pergi sampai pulang gue bareng sama cewek pujaan hati. Terus gue pakai modus mengajak dia ke cafe-nya Om Brian lagi.

"Eh, gue enggak bawa catatan yang biasa gue bawa buat belajar Bahasa Jerman," seru Kinan sewaktu gue menyodorkan helm.

"Gue ngajak lo buat main ke sana kok. Refreshing habis belajar."

"Ya, tapi jangan kebanyakan refreshing, Ray. Kita bentar lagi ujian. Setiap waktu itu berharga."

Buset! Dia enggak takut gila, karena kebanyakan belajar apa?

"Iya, iya, Kinan Teguh. Kita kan enggak mesti belajar Bahasa Jerman. Lo bawa buku latihan soal-soal UN, kan? Ya udah kita ngerjain di sana sambil order makanan."

Kinan pun mengangguk dan menyambut helm dari tangan gue.

Sepanjang perjalanan, bibir gue kayak ditaruh gantungan baju. Walaupun gue baru aja mengerem dadakan gara-gara emak-emak depan gue tiba-tiba belok ke kiri tanpa menyalakan lampu sen. Padahal gue lagi mengejar lampu hijau nih. Herannya, bibir gue sama sekali enggak berubah panjang sentimeternya. Merekah bagaikan bunga di taman. Jiaaah.

Namun bibir gue mengendur ketika Om Brian menyambut kami dengan ucapannya yang meledakkan dunia.

"Wah, wah, udah baikan? Apa jangan-jangan udah jadian?" Semringah banget dia.

Padahal tatapan gue sudah setajam silet, tapi Om Brian terus aja godain kita. Awas aja lo, Om. Gue panggil bencong di pengkolan sana biar ngegodain lo sampai ngibrit.

"Om, kita numpang belajar di sini, enggak apa-apa, kan?" tanya Kinan.

"Boleh banget lah. Udah enggak usah ditutupin pake bilang belajar bareng. Om ngerti kok. Apalagi malam minggu gini."

"Om, daripada ngerecokin kita, mending cari gebetan deh. Lihat tuh, kumis tambah lebat," sindir gue.

Eh, dia malah ketawa ngakak terus meninggalkan kita.

***

Ray: Heh, kutu kupret. Habis pengayaan, lo mau ngapain? Mau belajar di cafe lagi, enggak?

Jiaahh, modus banget gue. Enggak apa-apa lah. Namanya juga usaha. Eh, tapi chat gue enggak dibalas. Ya iyalah, dodol banget gue. Mana ada si kutu kupret buka handphone sewaktu pengayaan. Jangan samain kayak gue.

Betul kan, dia baru balas pas banget selesai pengayaan. Gue buru-buru lihat chat dong.

Kinan: Sorry, Ray. Gue harus pulang. Kemarin gue baru aja cerita ke Mama sama Papa soal Ibra. Habis ini keluarganya Ibra mau ke rumah.

Gue langsung berlari menuju kelas XII Science-1 yang berada di dekat Lab Komputer.

"Ada Kinan, enggak?" tanya gue ke salah satu teman sekelasnya.

"Dia kayaknya tadi udah turun," jawabnya.

Tubuh gue melesat ke arah tangga. Di tengah jalan, gue melihat Cutbray yang sedang menuruni tangga.

"Cutbray! Lo lihat Kinan, enggak?" seru gue.

Dia menengok dan mendongak ke arah gue di belakangnya. "Dia dijemput sama papanya. Lo dikasih tahu dia soal ...."

Gue mengangguk. Kemudian gue pergi meninggalkan Cutbray. Sampai di parkiran, gue melihat Kinan sudah melaju dengan motor bersama bapaknya.

Hola, readers! Jangan lupa vote dan comment ya ♥️

Lazy BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang