12. Ray

79 22 15
                                    

Gue cuma bisa menghela napas sewaktu Kinan tiba-tiba datang dan menangis sesenggukan. Awalnya gue kaget banget. Sampai gue mengira mitos hantu siswi berseragam Russelia yang berseliweran di sekitar lorong sini bukan sekadar gosip.

Ada yang bilang sebenarnya itu Mbak Kunti yang menyamar jadi murid sini. Bisa jadi sih. Hah, kenapa otak gue jadi sempit gini sih? Ya, walaupun pas-pasan, tapi tetap saja enggak sedangkal comberan.

Sambil melihat Kinan yang masih berbunyi, "ngik, ngik," gue cuma melahap roti yang Emak bekalin tadi pagi. Sampai Kinan tersadar keberadaan gue.

"Ha! Kenapa lo ada di sini?" tunjuknya.

"Harusnya gue yang nanya kali. Gue duluan yang ada di sini," cibir gue.

"Tadinya gue mau ke Music Room, tapi rame di sana. Aduh, kenapa sih lo harus ngelihat gue nangis?" gerutunya.

"Mau main keyboard?"

"Kok lo tahu sih?"

"Gue pernah lihat lo main. Kan ini sarang gue."

Kedua mata Kinan membelalak. "Oh, jadi lo yang pernah ngintip waktu itu? Gue sampe takut, kirain gue hantu."

Ya, sebenarnya yang patut diberi label penunggu atau hantu lorong di sini adalah gue. Bukan Mbak Kunti yang dituduh menyamar atau apa lah.

Sampai si Gamal bilang, "mungkin penyebab lo jomlo, karena lo ketempelan Mbak Kunti di lorong itu, man. Lagian sih lo bertapa mulu. Kayak gue dong, menjelajahi Russelia. Ke lantai tiga gitu, biar dedek-dedek emesh kelas 10 kenal sama Kak Gamal yang eksotis ini." Padahal dia sendiri jomlo akut. Masih mending gue punya harga diri.

"Eh, berarti lo ngedenger gue nyanyi waktu itu? Aduuuhh! Jangan-jangan lo ngerekam gue diem-diem lagi?!" tukas Kinan.

"Dih, Anjelo. Heh, Kampreto, enggak ada untungnya juga gue ngerekam lo. Kalau di-upload di YouTube, paling viewers-nya cuma satu biji. Ya, orang yang nge-upload itu."

Kinan mengerutkan keningnya. "Anjelo? Kampreto? Kenapa sih lo pake bahasa planet? Itu lagi pake jepitan rambut cewek di poni. Lo maho ya?"

"Heh, Begonia! Seenaknya nuduh orang maho. Gue tadi nemu jepitan orang jatoh. Gue pake biar poni gue enggak ngehalangin mata gue."

"Yeee ... emangnya gue taneman! Lagian tuh poni sengaja dipanjangin ya? Biar enggak kelihatan kalau lo tidur."

Gue cuma mengangkat kedua alis.

"Anjelo, kampreto." Lalu Kinan terkekeh sendiri. "Lo aneh," komentarnya.

"Soalnya gue males diceramahin sama Emak. 'Ray, kamu enggak boleh ngomong kasar. Dosa lho. Nye, nye, nye.' Makanya gue plesetin aja."

Kinan tergelak. "Kreatif juga lo."

Lalu gue melempar satu roti yang mendarat di atas pangkuannya. "Makan tuh. Jangan nangis mulu. Drama banget hidup lo."

"Thank's. Bukan gue yang drama." Kinan merobek bungkus roti dan melahapnya dengan cepat. Seakan roti pengganti samsak pelampiasan emosi.

"Davina lagi? Yeuh. Lagian lo kenapa bisa berurusan sama dia?" Kemudian gue menyesal sudah bertanya tentang itu.

Dari cerita Kinan saja, gue sudah merasa drama banget. Memang ya cewek itu rumit. Perkara iri dan dengki saja sampai bertahun-tahun. Kalau gue jadi Kinan, gue enggak bakal repot-repot membujuk Mrs. Shelly cuma buat mengejar olimpiade biar ikut GTC gratis. Kuliah di luar negeri kan bisa usaha sendiri. Terus apalagi sampai meladeni dan adu mulut sama yang namanya Davina.

Lo itu ada di sarangnya dia, ngerti enggak sih? Lo enggak bakal menang.

Akan tetapi gue cuma diam dan sok manggut-manggut seakan terhanyut dengan cerita Kinan. Gue tahu kalau gue memberi masukan, pasti ditolak mentah-mentah. Cewek kan gitu, sok curhat. Terus nanya, "gimana dong?" Eh, pas dikasih masukan yang logis, malah ngamuk.

Lazy BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang