Semenjak foto skandal itu ketahuan sama Kinan, hati gue enggak tenang. Gue enggak tahu lagi bagaimana perasaan Kinan. Soalnya enggak lama kemudian Om Brian datang dan mengajak kita makan menu baru cafe. Sepanjang perjalanan gue mengantarkan ke rumahnya, dia cuma diam seribu bahasa.
Gue enggak tenang. Jadi keesokan harinya, Emak sudah pulang dari Cirebon. Gue balik ke rumah. Sorenya gue sok memberanikan diri pergi ke rumah Kinan.
Benar kata Bapak'e, gue cemen. Baru saja sampai depan gangnya, bayangan wajah horor bapaknya membuat gue ciut. Kok bisa sih si cowok Korea berani-beraninya merangkul Kinan di depan bapaknya? Apa enggak disembelih kepalanya?
Akhirnya setelah gue bertapa di dalam kamar selama dua hari, gue berangkat deh ke rumahnya. Sebelum pergi, gue sempat melihat kemeja kotak-kotak berwarna biru tua tergantung di depan lemari. Kenapa pipi gue kerasa panas? Asli, itu cuma kemeja yang dikasih Kinan. Belinya juga dia pakai nawar.
"Arrrgghh, gue bisa gila!"
"Ray! Kenapa sih teriak-teriak?" Terdengar suara teriakan Emak.
Emak merasa aneh kali. Gue jarang teriak-teriak. Lebih tepatnya gue sering tidur. Ah, gue pakai kaus kayak biasanya saja lah.
***
Halaman rumah Kinan enggak ada mobil. Ada motor sih, tapi tetap saja sepi. Di rumahnya Cutbray malah banyak orang di teras. Apa gue tanya ya? Ah, enggak-enggak! Pasti Cutbray nanti ember ke mana-mana. Menyedihkan banget gue, nyamperin rumah gebetan orang.
"Lho, Ray!" Ah, apes banget gue!
"Mau nyari Kinan? Dia mudik ke keluarga papanya di Tuban, Jawa Timur, sekeluarga," katanya lagi.
"Gue tahu kali, Tuban di Jawa Timur," sahut gue.
Kuping gue kayak disodorin speaker masjid waktu Cutbray ngakak. "Ya, kali lo kayak si William yang enggak tahu Madiun itu di mana. Masa kata dia di Jawa Barat."
"Oke lah. Gue pamit dulu."
"Mau gue salamin, enggak?" Cutbray enggak berhenti terkikik.
"Gue bisa didamprat sama cememew-nya. Duluan." Gue pun menancapkan gas.
***
Entah gue kesurupan jin Tomang atau Mbak Kunti, sorenya gue menelepon Kinan.
"Halo. Ke-na-pa, Ra-ay?"
"Lo lagi di pelosok ya? Suara lo kresek-kresek."
"I-iya. Na-anti gue tel-pon ba-lik."
Jam sembilan malam, pas gue lagi asyik streaming game, ada telepon masuk. Ah, siapa sih? Eh, enggak jadi marah. Soalnya yayang gue yang nelepon. Anjelo! Kampreto! Najis tralala! Kenapa gue ngomong kayak gitu?!
"Halo, Ray. Belom tidur, kan? Sorry, tadi gue lagi daki gunung. Jadi susah sinyal. Sekarang udah di rumah pakdeh gue."
"Lo ngedaki gunung? Bisa emangnya?" Suara gue sok ngeremehin. Padahal waktu gue lihat wajah gue dari kaca lemari di seberang, kelihatan banget mesam-mesemnya.
"Yeee ... bisalah! Ya, walaupun pas terakhir gue udah kecapekan. Terus pantat gue didorong sama Kakak gue."
Gue enggak bisa menahan untuk enggak ketawa. Kinan pun akhirnya menceritakan petualangannya. Dia mengaku sudah seperti Kinan si Bolang. Dia mendaki gunung di- eh, apa ya nama gunungnya? Pokoknya di Tuban.
"Asyik banget di sana. Di depan rumah sepupu gue yang ada di gunung, ada kolam kecil. Airnya dari gunung langsung. Gila, seger banget! Rasanya gue enggak pengin balik ke Jakarta," tutur Kinan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lazy Boy
Teen FictionKinan merutuki nasibnya gara-gara didepak oleh sekolah dari perwakilan olimpiade sains. Ini semua akibat kesalahan yang dilakukannya di tahun lalu. Ah, Kinan jadi gagal mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri! Padahal kalau dia berhasil membawa p...