Mendekati bulan Oktober, yaitu bulan pendaftaran Jardine dan Oxford, aku semakin sibuk. Aku juga mengajarkan Ray bagaimana cara mendaftar lewat UCAS. Sebenarnya banyak pendaftaran lewat agen, tapi aku kurang percaya. Kalau lewat UCAS sudah terpercaya. Tetap bayar, tapi kalau daftar ke lima universitas, bayarnya lebih murah ketimbang cuma tiga tujuan.
Sudah pusing dengan persyaratan untuk daftar, belum lagi aku harus mempersiapkan tes tulis. Kebetulan aku mengambil Computer Science, jadi ada yang namanya Mathematics Admissions Test (MAT).
Sebelum Kak Mira balik lagi ke Oxford, dia sempat menyarankanku untuk masuk jurusan yang sama dengannya.
"Kamu juga harus lihat intake-nya, Ki. Computer Science yang lulus sedikit. Cuma diambil 41 orang dari seluruh dunia. Kalau Engineering bisa 171 orang. Apalagi kita sekolah di Indonesia yang Kakak akui masih banyak yang missed. Lebih baik kamu ambil jurusan yang kesempatannya lebih besar." Begitulah saran darinya.
Namun dasarnya diriku yang keras kepala. It's always been a dream of mine, masuk Oxford dengan jurusan Computer Science.
Aku tetap berpendirian kuat untuk pilihanku semula. Lalu fokus untuk mendaftar Jardine juga di websitenya.
Di tengah-tengah kesibukanku, Ibra berulah.
"Ki, please dong. Jangan belajar terus. Sekalian refreshing. Kita ke birthday party si Cello." Ibra mencegatku saat aku sedang ingin menuju perpustakaan.
"Im, written test untuk Oxford tinggal beberapa minggu lagi. Belum lagi ada automated interview untuk Jardine. Gue harus langsung jawab soal yang ada di screen. Kak Mira aja dulu sampe nangis pas habis written test dari Oxford. Susah banget, Im," tuturku.
"Lo itu udah belajar mulu. Lulus kok. Lagian lo mau ngejar apa lagi?" Ibra masih saja menarik-narik lenganku.
Refleks aku melepas cekalan tangannya. "Emangnya lo siapa? Admission kampus yang nyatain gue lolos apa enggak? Dapet beasiswa buat kuliah di Oxford itu segalanya bagi gue, Im. Lo enggak bakal paham, karena lo mau kuliah di mana pun, enggak pernah mikirin soal biaya. Kita beda, Im."
Aku pergi meninggalkannya begitu saja. Lagi pula enggak ada waktu lagi untuk memikirkan hal tersebut. Masa bodoh Ibra minta putus atau apalah.
***
Belum usai Ibra berulah, dia malah datang ketika aku kerja di cafe. Lalu dia mengadukannya ke Mama. Kemudian aku berakhir di sidang oleh Mama dan Papa.
"Adek kerja biar bisa les bahasa Jerman, Ma, Pa." Aku enggak berani menatap wajah mereka berdua.
"Bukannya Adek udah les sama omnya Ray?" tanya Mama.
"Iya, tapi kan kalau mau dapet sertifikat bahasa Jerman yang legal, harus di Goethe, Ma. Om Brian enggak narik biaya sama sekali. Malah Adek digajinya kegedean di sana. Om Brian udah baik banget," jelasku.
"Bukannya Adek mau daftar ke Oxford?" tanya Papa.
"Buat jaga-jaga, Pa, kalau enggak keterima. Om Brian juga banyak kenalan di Jerman yang bisa bantuin. Ray juga bakal kuliah di sana."
"Ya udah, kerjanya enggak usah dulu. Adek kan mau fokus ujian Oxford sama Jardine. Kalau misalkan keduanya enggak rejeki, ya kita pikirin lagi jalan selanjutnya. Daripada diforsir dan sakit lagi," pesan Papa.
Akhirnya aku terpaksa izin kepada Om Brian untuk mengundurkan diri. Aku merasa enggak enak, tapi Om Brian paham. Lagi pula justru bebannya sekarang sudah berkurang, karena enggak perlu menggajiku lagi. Akan tetapi aku marah kepada Ibra yang terlalu mencampuri urusanku. Aku sama sekali enggak mau ketemu dia.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lazy Boy
Teen FictionKinan merutuki nasibnya gara-gara didepak oleh sekolah dari perwakilan olimpiade sains. Ini semua akibat kesalahan yang dilakukannya di tahun lalu. Ah, Kinan jadi gagal mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri! Padahal kalau dia berhasil membawa p...