☁️ SELAMAT MEMBACA ☁️
ENTAH sudah berapa kali Sheyla mengelap keringat yang membasahi wajahnya, yang jelas dari raut wajah gadis itu terlihat jika dia sudah sangat kelelahan.
Bagaimana tidak? Sejak selesai sarapan tadi hingga matahari tergelincir, Sheyla masih belum selesai membersihkan kamar Gavin yang sangat menguras tenaga.
Parahnya, di saat Sheyla sedang mondar-mandir mengeluarkan semua barang dan kardus-kardus yang tidak terpakai untuk dibuang, Gavin sama sekali tidak berniat membantu. Dia malah duduk santai di sofa seraya menonton TV.
Bahkan di saat Sheyla sedang membersihkan kamar, Gavin tampak bolak-balik di depan kamar seraya mencuri pandang pada Sheyla yang tengah kelelahan.
Jujur saja Sheyla sangat ingin memaki-maki lelaki itu. Dia juga sudah meminta agar Gavin mau membantunya, tapi dia malah menolak dan bilang kalau dia sudah membayar mahal dan membersihkan kamar seharusnya tugas Sheyla.
Mendengar hal itu Sheyla mati-matian menahan emosinya. Seandainya dia tidak menunggak uang sewa apartemen, tidak diancam harus pergi kalau tidak membayar, dan terancam harus pulang ke rumah orangtuanya, Sheyla mana mau mengizinkan lelaki itu tinggal.
Bahkan, Sheyla rela mengambil risiko besar dengan mengizinkan lelaki itu tinggal. Karena seandainya orangtua Sheyla tahu, mereka pasti akan membunuhnya. Oke, itu terlalu berlebihan, tapi apa lagi yang lebih buruk dari itu?
"Wow, jauh lebih baik dari sebelumnya," ujar Gavin yang tengah bersandar di ambang pintu seraya melipat tangannya di dada.
Sheyla yang sedang mengepel lantai lantas menoleh. "Berterima kasihlah padaku setelah ini."
Kening Gavin berkerut. "Kenapa harus? Ini memang tugasmu, kan?"
Pegangan tangan Sheyla pada gagang pel tampak mengerat, menandakan jika amarah dalam dirinya kembali bergejolak.
"Setelah kau selesai jangan lupa membuat makan siang. Aku sudah lapar," sambung Gavin yang membuat Sheyla semakin meradang.
Dibantingnya alat pel ke lantai dengan keras, lalu dia berdiri tepat di hadapan lelaki itu seraya menatapnya tajam.
"Jangan mentang-mentang kau punya uang, kau bisa memerintahku seenaknya!" ujar Sheyla dengan rahang yang sudah mengeras. "Aku sudah berbaik hati mengizinkanmu tinggal dan member —"
"Aku juga sudah berbaik hati memberimu uang, sehingga kau tidak harus pergi apalagi pulang ke rumah orangtuamu," potong Gavin yang walau nada bicaranya begitu tenang, tapi hal itu membuat Sheyla semakin tersulut emosi.
"Aaaaa! Kenapa aku harus bertemu makhluk menyebalkan sepertimu?!" teriak Sheyla seraya memukul-mukul dada Gavin.
Masih dengan amarah yang membara dan napas yang terengah-engah, Sheyla pergi meninggalkan lelaki itu seraya mengacak-acak rambutnya kesal.
Gavin yang terkejut tampak mematung di tempatnya. Dia tentu tidak menduga jika Sheyla akan semarah itu. Padahal Gavin hanya ingin mengerjainya saja, tapi sepertinya dia sudah kelewatan. Haruskah dia meminta maaf?
°°°°
Sheyla yang saat ini sedang berada di toko tampak menaruh bahan-bahan makanan ke dalam keranjang dengan kesal. Bukan kesal pada bahan-bahan makanan itu, tapi dia hanya sedang melampiaskan kekesalannya saja.
Ya, kekesalannya pada Gavin masih belum mereda. Meski begitu, tak urung dia menuruti perintah lelaki itu untuk membuat makan siang. Hanya saja stok bahan-bahan makanan di rumahnya sudah habis dan di sinilah Sheyla berada.
"Dasar lelaki menyebalkan, tidak tahu diri, suka berbuat seenaknya. Dia pikir siapa dia?" gerutu Sheyla.
Sheyla yang saat ini sedang memilih-milih sayuran, tidak menyadari jika tiga perempuan yang berada di sampingnya diam-diam meliriknya seraya berbisik-bisik tidak jelas, sesekali mereka juga tertawa kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE MAN IN THE SKY [END]
FantasyMulanya kehidupan Sheyla Azzura berjalan selayaknya orang normal. Dia juga berusaha menjalani hari-harinya dengan baik. Namun, kehidupan normalnya seketika berubah saat semesta mempertemukannya dengan seorang lelaki aneh yang mengatakan dirinya adal...