🌬️ 32 : Kekhawatiran Gavin

414 55 2
                                    

☁️ SELAMAT MEMBACA ☁️

ESOK paginya Sheyla dan Gavin terlihat sedang sarapan di meja makan. Menu sarapan kali ini adalah bubur. Hal itu bukan tanpa alasan, sejak semalam pencernaan Sheyla terasa tidak nyaman. Dia juga merasa mual dan berulang kali hendak muntah, terutama saat dia sedang batuk.

Mau tidak mau Gavin juga harus ikut sarapan bubur dan meskipun dia tidak terlalu menyukainya, tapi dia tetap memaksakan diri untuk memakannya sampai habis.

Sebenarnya Sheyla sama sekali tidak nafsu makan, tapi dia sadar jika dirinya harus tetap makan agar bisa sembuh dengan cepat. Namun, setiap kali Sheyla menyuapkan bubur ke mulutnya, bisa dia rasakan ada sesuatu di dalam perutnya yang bergejolak, siap mengeluarkan apa pun yang ada di sana.

"Kau baik-baik saja, Sheyla?" tanya Gavin saat melihat air muka Sheyla seakan sedang menahan sesuatu.

Sheyla hanya mengangguk pelan seraya menutupi mulutnya dengan tangan. Baru saja Gavin hendak mengatakan keraguannya, Sheyla tiba-tiba berdiri dan langsung berlari ke kamar mandi.

"Sheyla," panggil Gavin yang tanpa pikir panjang menyusul gadis itu.

Namun, saat Gavin hendak masuk ke kamar mandi, dia menghentikan langkahnya saat mendengar Sheyla sedang muntah. Seketika itu juga perasaan khawatir kembali menguasainya.

"Sheyla, kau —"

"Diam di situ, jangan masuk!" cegah Sheyla saat mendengar pintu hendak dibuka.

"Baiklah, tapi kau tidak —" Ucapan Gavin terhenti saat lagi-lagi Sheyla mengeluarkan isi perutnya.

Gavin mengacak-acak rambutnya frustasi. Dia khawatir, tapi dia juga tidak tahu harus berbuat apa.

Dddrrtt!

Di tengah kebingungannya tiba-tiba saja ponsel Sheyla yang berada di atas meja makan bergetar. Awalnya Gavin tidak ingin mempedulikannya, tapi karena benda itu terus bergetar akhirnya Gavin mengambilnya dan bisa dia lihat kata ayah tertera di layar ponsel Sheyla.

"Sheyla, ponselmu bergetar," ujar Gavin saat dia sudah berada di depan kamar mandi lagi.

"A-apa?" tanya Sheyla yang tidak terlalu mendengar jelas ucapan Gavin.

"Ponselmu ber—" Ucapan Gavin terhenti saat Sheyla tiba-tiba keluar dengan wajah pucat. "Kau tidak apa-apa, Sheyla?"

"Tidak juga," balas gadis itu. "Tadi kau bilang ponselku kenapa?"

Gavin tidak membalas, dia malah langsung menyodorkan ponsel Sheyla yang masih bergetar di tangannya. Seketika itu juga mata Sheyla terbelalak saat melihat siapa orang yang meneleponnya.

"Oh, tidak," ujar gadis itu seraya mengambil ponsel dari tangan Gavin.

"Ada apa?"

"Sebaiknya kau tutup mulut, jangan bersuara sedikit pun," kata Sheyla memperingatkan.

Gavin mengangguk-anggukkan kepalanya, sedangkan Sheyla mulai mengangkat telepon dari ayahnya dengan perasaan takut.

"Ha-halo," ujar Sheyla setelah menempelkan ponselnya di telinga.

Sheyla meletakkan jari telunjuknya di bibir seraya menatap Gavin, sebuah isyarat agar Gavin tidak bersuara. Lalu dia segera masuk ke kamar mandi lagi sembari mendengarkan ayahnya berbicara dari seberang sana.

Dengan terpaksa Gavin harus menunggu di depan kamar mandi lagi. Meski begitu, dia masih bisa mendengar suara Sheyla yang tengah berbicara pada ayahnya. Namun, sesaat kemudian Gavin mendengar suara Sheyla yang kembali muntah.

THE MAN IN THE SKY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang