Keteguhan Hati

445 96 5
                                    

"Jadi bagaimana?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jadi bagaimana?"

  Laki-laki dihadapan makhluk besar itu tampak gelisah. Berulangkali ia mencoba berfikir sebelum memutuskan pilihannya. Namun, ada saja setiap alasan yang membuat hatinya ragu. Sementara sang Naga justru tersenyum miring melihat raut kegundahan dari manusia itu.

"Cepat putuskan! Atau aku yang akan memutuskannya." Naga itu mulai tidak sabaran.

  Jimin masih ragu untuk memutuskan pilihannya.

"Kalau aku memilih pusaka, teman-temanku dalam bahaya, tapi kalau aku memilih menyelamatkan mereka, lalu untuk apa aku berjuang mati-matian sampai ke sini?" Perang batin kini terjadi dalam diri Jimin.

"Jimin..."

  Laki-laki itu menoleh ketika mendengar suara yang sangat familiar di telinganya. Jimin tersentak kaget kala melihat sesosok wanita yang sangat ia kenal. Sosok yang sangat ia sayangi dan cintai. Sosok yang menghadirkan dan merawatnya dengan kasih sayang.

  Wanita itu tersenyum manis. Senyuman itu benar-benar tulus dan cantik selaras dengan hatinya yang baik. Jimin tanpa sadar sudah menitikkan air mata kala mengingat kapan terakhir kali ia melihat senyuman wanita hebat yang ada dihadapannya.

"Ibu..." lirihnya berusaha menggapai sosok itu. Namun, semakin ia coba gapai, sosok itu semakin menjauh.

Mengapa? Mengapa tidak tergapai?

  Sosok itu menggeleng pelan, "Kamu tidak bisa memeluk ibu lagi, nak. Maaf."

  Jimin kembali ditampar oleh kenyataan. Air matanya semakin deras kala baru menyadari bahwa sang ibu sudah tiada. Ya, wanita yang telah melahirkan ia ke dunia ini sudah meninggalkannya untuk selamanya saat laki-laki itu berusia 14 tahun.

"Maafkan aku, Bu."

  Sosok wanita itu tersentak begitu mendengar perkataan maaf dari putranya, "Apa kamu masih mengingat kejadian itu?"

"Mana mungkin aku melupakannya? Itu buah dari keegoisanku. Aku sangat menyesal. Anakmu ini memang durhaka." Jimin menunduk menyembunyikan wajahnya dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir deras.

  Bayangan masa lalu kembali terputar di otaknya layaknya rekaman sebuah film. Ingatan itu membawa ia pada kejadian 2 tahun silam. Saat itu Jimin akan menghadapi tes ujian masuk ke sekolah akademi. Laki-laki itu belajar mati-matian agar bisa lolos dan mendapatkan beasiswa pendidikan.

  Ya, Jimin bukanlah orang yang terpandang. Keluarganya pun bukanlah konglomerat ataupun bangsawan. Setiap hari, terkadang mencari sesuap nasi saja sangatlah susah. Ayahnya hanya seorang buruh tani dengah pendapatan yang tak seberapa. Sementara ibunya adalah seorang ibu rumah tangga.

  Suatu hari ibunya sedang sakit keras dan ayahnya meminta Jimin untuk menemani sang ibu sampai beliau pulang bekerja. Namun, saat itu juga adalah hari dimana Jimin ikut tes.

𝐄𝐥𝐞𝐦𝐞𝐧𝐭𝐚𝐥 𝐌𝐚𝐠𝐢𝐜𝐢𝐚𝐧𝐬Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang