17

8 1 0
                                    

"heh ! gimana ?" tanya Kavi yang baru datang dan langsung merangkul pundakku. Tadinya Aku berjalan sendirian menuju ke kelas Pak Burhan. Pak Burhan adalah dosen Bioteknologi. Belum pernah masuk sejak minggu pertama kuliah sampai pertengahan semester ini. Baru tadi pagi Aku dapat informasi jika kelas Pak Burhan kali ini akan diisi kuliah. Melihat beliau yang tidak pernah masuk kelas Aku jadi ragu kalau ini hanya informasi hoax.

"gimana apanya ?" tanyaku bingung.

"kemarin ?"

"apaan ?" Aku semakin tidak tahu arah pembicaraan Kavi.

"sama Beti" Aku baru ingat jika kejadian Aku bertengkar dengan Beti terjadi kemarin. Saking seringnya bertengkar dengan Beti Aku jadi cepat lupa. Mungkin bagi orang lain peristiwa itu adalah peristiwa yang menghebohkan tapi bagiku biasa saja, Aku sudah kebal karena terlalu sering.

"oh..."

"oh aja ?"

"ya gimana ?"

"berantem lagi apa udah selesai ?"

"yaaa yang kemaren sih udah tapi mungkin nanti akan ada masalah lain yang bikin Kita berantem"

Setelah mendengar jawabanku, Kavi malah menertawakanku. Kavi memang belum terlalu jauh mengerti hubunganku dengan Beti. Meskipun kemarin Aku dan Beti bertengkar tapi hari ini Kita bisa berbicara seperti orang yang tidak memiliki masalah. Kita bisa berlagak seperti itu, mengendalikan diri dalam perang dingin. Kita selalu berperang tapi Kita tidak terlihat sedang berperang. Jika Beti bertanya maka akan kujawab dan bila Aku butuh sesuatu juga akan kutanyakan langsung padanya.

Kami berjalan memasuki kelas. Untuk kelas Pak Burhan ini hanya Aku dan Kavi yang berada di kelas yang sama. Kami masuk kelas dengan santainya sampai Kami dikejutkan dengan keberadaan Pak Burhan yang sudah duduk manis di kursi dosen. Reflek Kavi segera melepas tangannya dari pundakku lalu berdiri dengan tegap.

"Maaf Pak kami terlambat" ucapku menghampiri Pak Burhan dengan sopan. Sedangkan Kavi mengekor di belakangku.

"silahkan duduk" jawab Pak Burhan dengan santai.

Aku dan Kavi duduk di kursi paling belakang. Setelah kuperhatikan isi kelas ternyata belum banyak mahasiswa yang datang, hanya ada tiga orang. "kalau sesuai jadwal Kita belum telat, Dia saja yang datang terlalu awal" bisik Kavi.

Aku memeriksa jam di ponsel. Benar yang dikatakan Kavi, kami belum telat. Aku menggelengkan kepala menanggapi Kavi. Mengartikan Aku sendiri juga tidak mengerti kenapa Pak Burhan datang lebih awal.

"ga pernah masuk sekalinya masuk datang awal" gerutu Kavi.

.........................................................

"ini gila" ucap Kavi dengan kesal. Kami baru saja menyelesaikan kelas Pak Burhan.

"super gila" tambahku. Aku juga merasa tak kalah kesalnya dengan Kavi. Bagaimana tidak kesal, Pak Burhan memberi tugas membuat proposal penelitian dalam waktu satu minggu. Kita saja belum mendapat mata kuliah kualitatif dan kuantitatif ini sudah disuruh membuat proposal, bagaimana bisa.

Bisa atau tidaknya saja belum jelas apalagi hanya diberikan waktu satu minggu, ini sangat gila. Pak Burhan sepertinya sengaja membunuh mahasiswa secara perlahan.

"Dia bilang ini untuk latihan ? hah latihan apa ? otodidak ? yang bener aja lah"

"gak usah dikerjain, tugasnya gak masuk akal" ucapku sambil berlalu meninggalkan Kavi. Jika terus berada disini Aku semakin kesal. Aku harus mencari tempat untuk menenangkan diri.

"hah ? yang benar ? jika Kau begitu maka aku juga akan begitu ?" Kavi menyusulku.

"hemm" Aku menghela napas kasar "ya enggak mungkin lah, semua perintah dosen adalah keputusan mutlak" Aku memijat pelipisku. Aku semakin kesal jika memikirkan sikap Pak Burhan yang terkesan seenaknya saja. Tidak pernah masuk kelas, tidak memberi kuliah apapun lalu tiba-tiba memberi tugas yang sangat berat. Alurnya mahasiswa mendapat kuliah metode penelitian dulu baru membuat proposal, bukannya terbalik seperti ini. Apa sih maunya Pak Burhan aku sangat tidak mengerti.

Kami berdua berjalan ke kantin. Aku sudah menenggak satu botol air mineral dingin sekaligus. Ternyata ini sedikit membantu meredakan emosiku. Dinginnya air langsung terasa merambat dari tenggorokan menjalar ke bagian dadaku. Itu membuat pikiranku ikut tenang.

"wah wah wah parah" ucap Kavi dengan mulut menganga di depan layar ponselnya.

Aku memperhatikannya dan penasaran dengan apa yang dia lihat.

"isi RPS (Rencana Program Semester) Pak Burhan sangat berbeda dengan tugas yang diberikan" ucap Kavi tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.

Aku segera mengeluarkan ponselku dari tas dan memeriksa RPS yang baru saja dibagikan. Kubaca satu persatu mulai dari tujuan, sumber bahan ajar, rencana perkuliahan mingguan hingga penugasan. Kepalaku rasanya kembali memanas dan pening. Aku meremas botol mineral yang sudah kosong untuk menyalurkan kekesalanku. Dari tujuan saja sudah berbeda jauh dengan tugas yang saat ini diberikan. Lalu ke tahap rencana perkuliahan mingguan, tidak ada satu agenda pun yang mengatakan mahasiswa mengerjakan proposal. Apalagi di bagian penugasan, sudah pasti jelas tugas membuat proposal ini tidak ada.

Apa sih sebenarnya yang diinginkan Pak Burhan, apa yang akan kita dapatkan jika melakukan suatu kegiatan yang menyimpang jauh dari tujuan pembelajaran. Hanya menyia-nyiakan waktu saja.

"jika melihat RPS ini harusnya kita praktikum di Lab minggu ini" ucap Kavi

"Pak Burhan sangat tidak jelas, membuatku malas mengerjakan tugasnya" jawabku.

"apa perlu kita lapor Prof Juri ?" tanya Kavi. Sepertinya itu ide yang bagus karena ini sudah sangat jelas sekali jika Pak Burhan tidak jelas.

Tapi setelah kupikir ulang, apa masalah seperti ini pantas jika dilaporkan.

"bagaimana kalau Kita malah disuruh belajar sendiri dan menuruti semua tugas itu. Meskipun ini tidak sesuai dengan RPS tapi belajar membuat proposal bukan sebuah kesalahan. Siapa tahu memang Kita harus belajar membuat proposal secara mandiri" jawabku dengan ragu. Sebenarnya Aku ingin sekali melaporkannya dan berharap tugas ini dihapuskan. Tapi disisi lain Aku tidak mau dicap sebagai mahasiswa yang tidak mau belajar dan tidak mau menerima tantangan.

"tapi ini tidak sesuai urutannya kita belum bisa membuat proposal sendiri" ucap Kavi dengan nada membentak.

"iya Aku tahu tapi meminta mahasiswa membuat proposal bukan sebuah tindakan kriminal" jika Kita melaporkan karena tugas ini terlalu berat itu hanya akan terlihat seperti Kita sedang mengeluh. Sudah jelas Prof Juri tidak suka dan tidak akan meladeni mahasiswa yang sedang mengeluh karena tugas kuliah.

Kavi lalu diam dan meremas rambutnya dengan kasar.

"tapi ini satu minggu Elee, waktu Kita hanya satu minggu. Apa yang bisa dihasilkan mahasiswa yang tidak pernah membuat proposal dan belum mendapatkan pelajarannya ?"

Benar kata Kavi, tidak ada yang bisa diharapkan dari hasil tugas Kami nantinya.

"dalam waktu satu minggu mungkin Aku hanya akan tahu susunan proposalnya saja"

Semua yang dikatakan Kavi sangat benar dan memang itu kenyataannya. Aku sangat kesal karena tidak tahu harus berbuat apa lagi.

..........................................................

academic adventures (Season 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang