38

7 1 0
                                    

Berjalan kembali ke ruanganku, mencoba memasang wajah santai seolah tak terjadi apa-apa. Tapi itu sulit, anak-anak ini telah menguras emosiku. Membuat jantungku berdebar kencang. Aku kesal tapi aku juga takut jika yang kulakukan barusan adalah hal yang salah.

Di dalam ruangan, Aku melihat Kiran duduk di sofa dengan tatapan cemberut memperhatikan ponsel. Di sisi lain, Kavi juga duduk di sofa seberang Kiran. Kavi sibuk dengan ponselnya, bedanya Dia terlihat ceria dan sedang menceritakan apa yang baru saja Dia lakukan kepada para pengikutnya di sosial media. Aku berjalan lurus ke ruangan lain yang hanya dibatasi sekat tembok tanpa pintu untuk memisahkan ruangan. Ini seperti satu ruangan dengan satu pintu di depan tapi di dalamnya ada tembok penyekat antara ruangan berisi sofa dan ruangan berisi meja serta kursi, yang mana masing-masing kami mendapat satu bagian meja dan kursi itu.

Aku meletakkan tas diatas meja milikku. Aku mencoba memeriksa tugas yang sudah siswaku kerjakan. Aku memeriksa satu persatu dan menghitung jumlahnya. Kupastikan semua siswa sudah mengumpulkan, jika tidak maka yang kena masalah bukan mereka saja melainkan Aku juga. Aku bisa bernapas lega setelah kuhitung jumlahnya lengkap, Aku aman. Aku tidak mau mengoreksinya sekarang, karena masih pusing. Aku butuh menenangkan diri dulu. Kukembalikan lembaran-lembaran tugas mereka ke dalam tas dan tersimpan rapi. Aku bergabung dengan Kiran dan Kavi duduk di sofa.

Kuperhatikan wajah Kiran semakin suram. Kedua matanya membendung air yang sepertinya akan tumpah. Dia berkaca-kaca.

"kau baik baik saja ?" kuusap pundaknya perlahan. Dengan sigap Kiran segera mematikan ponselnya dan menjauhkan ponselnya dariku. Sepertinya Kiran tidak ingin aku tahu sesuatu yang ada di dalam ponselnya.

Kiran menggelengkan kepala.

"kenapa ?" tanyaku lagi.

"tadi malam aku lihat Dio membonceng perempuan" ucap Kiran dengan suara lirih menahan tangis. Sedikit lagi Dia pasti akan menangis.

"Dio ?" aku baru mendengar nama ini pertama kali, tentu saja aku tidak tahu siapa yang Kiran maksud.

Kiran menggigit bibirnya dengan menundukan kepala. Aku baru ingat, pulang KKN kemarin Kiran sempat cerita bahwa Dia mulai dekat dengan seorang pria tapi Dia tidak menyebutkan nama. Oh apakah mungkin Dio ini adalah calon pacar Kiran. Atau mungkin sudah jadi pacarnya.

"Diooo, PACARMU ?" tanyaku terkejut. Aku tidak sadar suaraku terlalu keras sampai Kavi ikut terkejut. Raut wajah Kavi seketika berubah, ia menutup ponselnya dan berpaling memandang Kiran dengan tatapan garang.

Tapi Kiran justru menggelengkan kepala.

"apa yang sudah kulewatkan, kenapa tidak ada yang memberi tahuku kalau Kiran punya pacar ?" ucap Kavi kesal.

"bukan bukan. Aku sendiri tidak tahu pasti hubungan apa yang sedang kujalani dengannya"

Aku dan Kavi saling pandang dengan bingung "apa dia belum mengatakannya ?" tanyaku

"Dio tidak pernah mengatakan ingin jadi pacarku atau semacamnya" jawab Kiran dengan malu-malu

"lalu sudah sejauh apa hubunganmu ? apa Dio itu pernah menciummu ?" tanya Kavi. Aku memberinya tatapan melotot. Kiran terlalu dini untuk pertanyaan semacam itu, aku yakin Kiran belum pernah melakukannya. Pertanyaan Kavi sangat tidak pada tempatnya.

Bukannya sadar tapi Kavi malah membalas melotot dan lebih menantang.

Kiran menggeleng malu "kami hanya berpegangan tangan, nonton, makan, jalan-jalan"

"sepertinya Dio itu hanya mempermainkanmu" ucap Kavi serius. Dia melipat kedua tangannya di dada.

"Tidak mungkin" tolak Kiran

"lalu kenapa Dia tidak segera meresmikan hubungan kalian padahal sudah sejauh itu. Lalu kau bilang apa tadi, kau melihatnya bersama perempuan lain, itu bukti yang jelas atas argumenku"

"Tidak. Mungkin karena Dio juga belum pernah berpacaran sebelumnya makanya Dia tidak tahu caranya meresmikan hubungan. Dia pernah bilang sayang padaku" mendengar penjelasan Kiran aku jadi penasaran dengan hubungan mereka, aku juga ingin tahu bagaimana sosok Dio ini. aku hanya tidak mau ada hal buruk terjadi pada Kiran.

"tidak mungkin laki-laki belum pernah berpacaran padahal sudah dewasa" Kavi masih teguh dengan pendapatnya. Sebenarnya aku juga memiliki pemikiran yang sama dengan Kavi, masa iya ada laki-laki belum pernah berpacaran sebelumnya.

"Ti-dak" ucap Kiran dengan lesu. Kedua pundaknya menurun dan dibarengi dengan kepalanya yang ikut menunduk, sepertinya perkataan Kavi mulai mempengaruhi pikirannya.

"apa kau sudah menanyakan bersama siapa Dio tadi malam ?" tanyaku.

"sudah tapi Dia belum membalasnya" Kiran menyalakan lagi ponselnya dan menunjukkan tidak ada notifikasi pada ponselnya. Tapi ketika mataku memeriksa ponselnya tiba-tiba pesan itu masuk.

Dio : itu temanku. Aku hanya mengantarkan dia pulang karena tidak ada yang menjemputnya. Dan lagi ponselnya sedang mati. Kau jangan marah.

Aku ikut membaca pesan dari Dio. Dari balik tubuhku ternyata Kavi juga ikut membacanya. Ada yang aneh dari kalimat 'kau jangan marah'.

"Dia pasti berbohong. Di dunia ini sudah ada aplikasi ojek online kenapa Dia merepotkan orang lain" celetuk Kavi.

"tapi ponselnya mati" jawab Kiran mencoba membela Dio.

"itu hanya alasan. Kan bisa pesan melalui ponsel Dio, kenapa harus Dio yang repot-repot mengantarnya"

Lagi-lagi perkataan Kavi membuat Kiran tertunduk lesu lagi. Air matanya benar-benar jatuh kali ini. Aku bisa melihatnya menetes di punggung tangannya yang tengah menggenggam erat ponsel.

"kau jangan jadi kompor" Aku mencubit lengan Kavi.

"apa kita boleh berkenalan dengannya ? mungkin kau bisa menanyainya secara langsung, agar penjelasan yang dia berikan tidak membuat salah paham" ucapku berusaha menenangkan. Aku juga ingin melihat secara langsung bentuk Dio ini seperti apa.

"untuk apa bertemu, lagi pula mereka belum pacaran. Mending Kiran cari laki-laki lain saja, kau mau ku kenalkan seseorang ?" Aku segera memukul kepala Kavi. Dia sangat tidak dewasa. Salah besar jika seorang playboy seperti Kavi memberi masukan kepada Kiran yang masih memiliki hati yang tulus.

Kavi mengaduh kesakitan. "ini perkara hati jangan main-main" gertakku

"apa sosial media Dio itu, Aku harus memeriksanya" Kavi mengambil ponsel miliknya yang tergeletak di meja diantara kami.

"Dio tidak memiliki sosial media"

"hah ? itu sangat tidak masuk akal. Pada jaman ini semua orang pasti punya sosial media, kucing saja punya"

"tenang saja. Bhale juga tidak punya sosial media" Aku berusaha membesarkan hati Kiran.

"itu pengecualian" Kavi mengembalikan ponselnya ke atas meja lagi "Aku hanya ingin menyelamatkanmu dari laki-laki brengsek Kiran, Aku bukan tidak suka melihatmu punya pacar" Kavi mengusap rambut Kiran dan menyembunyikannya di balik telinga Kiran.

"nah maka itu, Kita berkenalan langsung saja dengan Dio. Kita harus menilainya dari sudut pandang manapun dan menentukan apakah Dia layak untuk Kiran atau tidak"

"aku setuju" seketika Kavi berdiri.

"Kita tidak akan pergi sekarang, Kita masih di Sekolah" Aku mencoba mengingatkannya, lalu Dia kembali duduk di sampingku.

"Aku tidak sabar bertemu dengannya" gerutu Kavi.

...........................................................

academic adventures (Season 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang