Kiran memberikan sebuah tas lusuh berwarna abu-abu. Aku menerimanya dengan tatapan menyiratkan pertanyaan.
"milik anak itu" jawab Kiran menjawab kebingunganku. Aku tidak memperhatikan jika Kiran sempat mengambil tas sebelum kami berlari ke mini hospital.
Aku memeriksa satu persatu isi kantong tas tersebut. Aku menemukan satu buku, satu pena, dan sebuah dompet hitam. Aku membuka dompet itu untuk mencari tahu identitasnya. Aku menemukan kartu mahasiswa miliknya. Tertulis Nina *******. Aku mencari lagi ke sisi kantong yang lain. Sialnya yang kutemukan malah sampah. Sisa bungkus permen dan makanan ringan.
"kau tidak melihat ponsel?" tanya Kiran. Saat itu juga tanganku menyentuh sebuah benda pipih. Aku segera mengangkatnya dari dalam tas.
Ponsel ini menggunakan model pengamanan sidik jari. Setelah aku menyentuhkan sidik jari Nina akhirnya terbukalah ponsel tersebut. Aku mencari kontak keluarganya. Ayah atau ibunya.
"ibunya !" pekik Kiran ketika tanganku menggulir tepat di nama kontak Ibu dengan ditambah emot love di belakangnya. Aku segera melakukan panggilan.
"Halo, apa benar ini dengan keluarga Nina"
"..............."
"saya teman satu kelas Nina, saat ini dia sedang berada di mini hospital campus. Sempat terjadi sesuatu hal tapi sekarang dia sudah mendapat penanganan dengan baik"
"............"
"iya untuk lebih jelasnya saya akan menceritakan setelah anda datang. Tapi anda tidak perlu khawatir, suster sudah memberinya obat" aku mendengar suara ibu Nina berteriak ke saudara perempuannya, dia terdengar begitu panik.
"............"
"baiklah, tolong anda berhati-hati di dalam perjalanan"
......................................................
Seorang perempuan berambut pendek diatas bahu berjalan bergegas di depan kami. Dia mendatangi meja suster. Aku sempat dengar mereka menyebut nama Nina. Mungkin ini saudara Nina. Aku berjalan masuk menyusul perempuan itu.
Suster mengantarnya ke ruangan Nina. Suster memberikan penjelasan bahwa kondisinya baik-baik saja dan sebentar lagi akan sadar. Perempuan itu mengusap lengan Nina dengan lembut. Aku bisa lihat dia tengah menahan tangis. Suster pergi meninggalkan ruangan.
Perempuan ini terlihat berbeda jauh dari Nina. Dia lebih memperhatikan penampilan, bertolak belakang dengan Nina yang bahkan merawat tubuhnya sendiri saja jarang.
"permisi" ucapku menganggu kegiatannya. "aku yang menelfon keluarga Nina" perempuan itu memperhatikanku dari atas hingga ke bawah. Perhatiannya lebih terarah ke bajuku yang masih tersisa beberapa bercak darah disana.
"terimakasih banyak kalian sudah menolong kakak saya" ia meraih tangan kananku kemudian meremasnya dengan lembut. Matanya masih berkaca-kaca.
"tenangnlah dia baik-baik saja" ucap Kiran.
"Dia tidak baik-baik saja" ucap orang itu yang ternyata adalah adik Nina sambil melepaskan genggamanku dengan perlahan. Ia kembali menatap wajah tertidur Nina denga tatapan sendu. Kali ini air matanya tidak bisa terbendung lagi, anak itu menangis.
Meskipun aku tidak mengerti apa arti dari kalimat yang baru saja dia katakan tapi aku enggan untuk bertanya. Aku menunggu sampai dia mau menceritakan sendiri.
"kepalanya berdarah lalu beberapa saat kemudian darah juga keluar dari hidungnya. Beruntung kami dan beberapa teman yang lain dengan cepat bisa membawa Nina ke sini" Kiran menjelaskan secara singkat.
"terimakasih, aku tahu kalian bukan teman dekat Kak Nina tapi kalian masih mau menolongnya. Kupikir semua orang di kampus ini jahat"
Aku dan Kiran saling pandang.
"tenangkan diri dulu" ucap Kiran
"aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan" ucapku. Aku sudah tidak tahan dengan segala ucapannya yang ambigu itu.
Adik Nina itu membuka selimut yang dipakai Nina, kemudian ia membuka perlahan baju yang Nina kenakan di bagian perut. Aku dan Kiran masih saling tatap lalu beralih menatap adik Nina dan kelakuan anehnya.
"lihat !" perintah adik Nina. Banyak luka lebam disana. Tidak hanya di satu bagian tapi luka ini merata. Seketika aku merasa ngilu melihat luka luka itu. Bagaimana kondisi organ dalamnya.
"suster pasti tidak memeriksa sampai kesini" Ia menurunkan kembali baju Nina dan menarik selimutnya kembali.
"di bagian paha dan kaki juga ada. Itu semua dia dapatkan dari menwa" ucapnya dengan nada rendah dan mata menerawang jauh.
"banyak orang yang tahu tapi mereka memilih diam dan tidak peduli. Nina selalu bilang ini normal, ini bagian dari latihan. Meskipun aku belum sedewasa Nina tapi aku tidak bodoh, ini namanya membunuh secara perlahan"
"ini dilakukan oleh seniornya, diluar jadwal latihan, tapi Nina selalu bilang ini juga bagian dari latihan. Latihan apa yang agendanya tidak ada di jadwal resmi dan dilakukan sewaktu-waktu. Nina takut terlihat lemah jika mengeluh"
Perempuan itu menghela napas dan memandang kami. "untuk apa aku cerita, kalian pasti sudah tahu dan kalian akan bilang ini wajar. Semua orang di kampus ini memang gila" ucapnya dengan nada kecewa.
"kami juga baru dengar hal seperti itu" ucapku membela diri
"percuma saja aku cerita, tidak ada yang berubah" sepertinya kekecewaannya dengan kampus ini sudah mendarah daging. Dia tidak mau lagi memandangku dan Kiran.
"kita bisa cari jalan keluarnya" ucapku. Dia terlihat menatapku dan Kiran bergantian, sepertinya dia tengah mempertimbangkan untuk mempercayai kami.
"kalian serius ?"
"kita cari jalan keluarnya sama-sama. Tidak semua orang dikampus ini seburuk yang kau pikirkan"
Kami membawa anak itu keluar dari kamar Nina. Duduk di kursi yang tadi kami tempati untuk mulai membicarakan kelanjutan cerita itu.
Dia mulai memperkenalkan namanya, Nindi. Dia menceritakan awal kakaknya mengikuti organisasi itu. dia dibujuk temannya, karena Nina dulu seorang atlet bulutangkis jadi dia memiliki tubuh yang kuat sehingga menurutnya cocok jika masuk organisasi menwa. Setelah mengikuti menwa, Nina mulai berubah dia lebih banyak diam dan jika bicara selalu berujung pertengkaran. Nina sekarang juga tidak memperhatikan penampilan, katanya itu tidak penting.
Setiap kalimat yang diucapkan Nindi membuat hatiku serasa teriris. Dia melakukan penekanan di setiap kalimat buruk, menggambarkan betapa buruknya kenyataan yang terjadi.
Nindi menemukan banyak luka di perut Nina lalu dia memberanikan diri untuk bertanya. Nina memang tidak mau terbuka tapi Nindi selalu memaksa, dia akan terus bertanya sampai Nina risih. Siapa yang melakukan, kapan dilakukan, bagaimana dilakukannya. Nindi tahu jika ini sebuah kejanggalan tapi Nina tetap mengatakan bahwa ini wajar. Justru Nina akan terlihat lemah jika melaporkan hal seperti ini, dia malu.
"konsep yang bodoh" ucap Nindi mengomentari pemikiran Nina.
Hal itu terus terjadi selama satu bulan ia bergabung di menwa. Tidak ada perubahan justru semakin parah. Hari ini pelipisnya berdarah, besoknya lehernya memar, lalu setelah itu kaki dan tangannya muncul lebam.
Nindi mulai kesal dengan semua orang di kampus ini ketika tidak ada satu orang pun yang mau menghentikan perbuatan buruk ini. Nindi sendiri tidak tahu harus berbuat apa. ia khawatir jika semua orang justru akan menertawakannya, ia takut jika ternyata yang berpikir ini tindak kejahatan hanya dirinya.
"aku pernah berpikir bahwa akulah yang berlebihan dan kakakku benar ini normal. Tapi pikiran itu hanya sementara"
"aku takut jika hal ini terus terjadi kakakku bisa mati mengenaskan. Aku tidak tahu mana yang wajar mana yang tidak tapi hatiku mengatakan ini tidak benar"
"konyol sekali Nina selalu bilang tugasnya memang berbahaya maka latihannya juga harus berbahaya agar terbiasa. Lalu bagaimana jika Nina mati selama latihan apa mereka mau tanggung jawab"
.......................................................................
KAMU SEDANG MEMBACA
academic adventures (Season 2)
RomanceBhale : bagaimana maksutnya, bisa Aku melakukan panggilan video, Aku ingin melihat marmutnya secara langsung ? What the, Bhale akan menelfonku, astaga Aku harus merapikan rambut dan riasanku. Aku berlari ke meja rias dan menyisir rambutku yang sudah...