27

6 1 0
                                    

Ponselku berdering ketika aku tengah menikmati santapan siang ku bersama Kiran di kantin. Kulihat nama yang tertera disana "Nindi". Aku tersenyum dan menerima telfon itu dengan perasaan senang. Bisa kutebak pasti Nindi akan memberikan ucapan terimakasih padaku.

"yaa Halo" sapaku ramah.

"apa yang sebenarnya kau lakukan ?" ucap Nindi tiba-tiba dengan nada marah.

Aku terkejut, dengan susah payah aku segera menelan sisa makanan yang ada dimulutuku "aku melakukan yang terbaik untuk kakakmu, memangnya apa ?"

"dia pulang dengan luka semakin banyak. Hidungnya luka dan di lengannya banyak lebam. Dia melarangku untuk ikut campur segala urusannya. Dia pulang dengan keadaan yang hancur, aku khawatir dia dalam bahaya" aku mendengar suara Nindi menahan tangis.

Tiba-tiba kepalaku jadi pusing, kenapa keadaannya malah jadi semakin buruk. Aku memijit perlahan keningku.

"kenapa jadi begini, aku meminta bantuanmu untuk menyelesaikan masalah bukan malah memperparah keadaan" suara putus asa Nindi yang akhirnya kini dia menangis. Hatiku terasa sakit, kenapa hal seperti ini harus terjadi. Apa yang sudah dilakukan presma itu.

"tenang-tenang kau tenang dulu Nindi" dengan sisa sisa kewarasan aku menenangkan Nindi, aku tidak boleh terbawa emosi dalam menghadapi masalah ini.

"kakakku dalam bahaya dan Dia tidak menyadari itu. Aku tidak ingin Dia mati tersiksa" suara isakan Nindi membuat hatiku serasa teriris perlahan-lahan. Aku bisa merasakan kekhawatiran yang dirasakan Nindi. Aku juga tidak mau hal buruk itu terjadi.

"tenang, Aku akan segera mengurusnya" Aku menutup sambungan telfon seketika.

Aku segera berdiri dan berjalan cepat mencari Bhale. Kiran menyusulku, dari tadi Ia terus bertanya tentang apa yang terjadi, tapi Aku belum sempat memberinya penjelasan karena di kepalaku dipenuhi bayangan Nina yang lemah dengan banyak luka dan tampang sok kuatnya itu. Aku benci tampang sok kuat itu.

"Nina mendapat luka semakin parah" jelasku pada Kiran di tengah perjalanan Kita

Aku dan Kiran akhirnya sampai di depan ruang kuliah Bhale, Dia baru saja selesai. Bhale menghampiriku lalu Aku menceritakan apa yang kudengarkan dari Nindi semuanya. Disitu Kiran juga ikut mendengarkan.

"apa Kau yakin presiden mahasiswa kampus kita itu sungguh-sungguh melaporkan hal ini ke rektor ?" tanyaku menyelidik. Aku mulai mencurigai manusia satu itu. Manusia muda yang memutuskan untuk terjun ke dunia politik kampus.

"aku yakin Dia melakukannya, Dia bukan orang seperti yang Kau bayangkan"

"lalu kenapa jadi begini ?"

"kemungkinannya rektor menegur penanggung jawab menwa lalu mereka hanya memberi teguran bawahannya lagi. Alhasil para senior itu justru kesal dan membuat penyiksaan terjadi semakin parah"

Itu kemungkinan yang masuk akal.

"kita menghadap rektor langsung" ucap Bhale. Tanpa mendengar persetujuanku dia langsung berjalan mendahului kami. Jalannya cepat karena setiap langkahnya lebar, berkat kakinya yang panjang. Aku dan Kiran kewalahan menyusulnya.

Sepanjang perjalanan Aku menyempatkan untuk menghubungi Kavi, aku memintanya untuk menyusul kami di ruang rektor. Aku melirik Kiran yang tampak kewalahan dan kelelahan mengimbangi Bhale.

"apa sebaiknya kita jalan pelan ?" tanyaku pelan.

Kiran menggelengkan kepala "kita harus membantu Nina"

Aku mengangguk, aku bangga dengan semangatnya. Kami melakukan ini bukan atas imbalan apapun, kami melakukan atas dasar simpati dan kemanusiaan. Jika takdir mempertemukan kita dengan peristiwa ini tentu ada tujuannya. Lagipula lebih baik membantu daripada dibantu, bagaimana jika aku yang diposisi Nina. Aku tidak akan jamin akan kuat, Aku pasti akan sama takutnya seperti Nina. Mengingat Aku terejerumus ke lingkungan itu tanpa sengaja, jika keluar aku pecundang dan semua orang pasti tidak henti mengolok-olokku tapi jika bertahan Aku tersiksa. Di sisi lain mereka semua sudah bermain kata-kata sehingga membuat apa yang mereka lakukan terkesan tidak salah. Mereka pandai memanipulasi kalimat. Itu juga faktor yang membuat Nina sering bingung dan sulit untuk di tolong.

Akhirnya kami sampai di ruang rektor. Ada seorang petugas yang duduk tak jauh dari ruang rektor. Kami mengabaikannya dan berjalan mendekati pintu masuk. Kami mengetuk pintu ruangan Bapak Rektor.

"apa kalian sudah membuat janji ?" petugas perempuan itu menghampiri kami

"belum, tapi ini masalah yang genting" jawab Bhale.

"maaf, beliau tidak ada di ruangannya" kemudian perempuan itu kembali ke mejanya.

Tidak berhenti disitu, Bhale menyusul perempuan itu. "apa kami bisa menghubunginya ?"

"tidak. kalian bisa membuat agenda temu dulu"

Aku tidak sabar lagi, Aku menyambar untuk bicara "ini masalah yang penting, menyangkut nyawa seseorang, Kami harus mendapat persetujuan dari Pak Rektor" rengekku.

"tapi peraturannya begitu"

"hubungi Pak Rektor sekarang atau kami akan menghubungi pihak berwajib untuk menyelesaikan masalah ini" ucap Bhale dengan nada serius.

Aku menarik lengannya, Aku tidak berharap masalah ini akan sejauh itu. Aku mencoba menghentikannya.

"Itu tindakan yang tepat, menwa adalah tim cadangan negara bukankah jika ada yang tidak beres juga menjadi tanggung jawab negara" ucap Bhale, aku tahu hal itu tapi sepertinya Bhale sengaja melakukan itu untuk mengancam petugas agar segera menghubungi Pak Rektor.

Benar saja, petugas itu terlihat segera mengangkat gagang telfon dan menekan beberapa nomor. Dia berbicara dengan menutup bagian mulutnya. Entah apa yang dia bicarakan tapi dari raut wajahnya Aku tahu Dia sedang khawatir. Kurasa Dia tengah menceritakan mengenai ancaman kami padanya. Kami menunggu sekitar tiga menit lalu perempuan itu memberi kesempatan kami bicara melalui sambungan telfon.

Bhale menerima telfon itu, aku ikut menempelkan telingaku dibalik gagang telfon. Kiran juga ikut mendekatkan telinganya ke tengah kami.

"saya sudah mendengar keluhan dan laporan mengenai menwa, saya juga sudah menegur penanggung jawab menwa, lalu apalagi sekarang masalahnya ?" ucapan Pak Rektor terdengar menahan amarah.

"saya harap ada perintah pemeriksaan mendalam hingga pelaku dan korban terlacak, sehingga Bapak bisa melihat separah apa kasus ini dan Bapak bisa mengambil sanksi yang tepat untuk para pelaku" ucap Bhale. 

"yaa saya akan perintahkan itu"

"saya harap pemeriksaan dilakukan hari ini Pak"

"untuk itu saya serahkan ke penanggung jawab menwa"

"tapi Bapak bisa memberikan perintah itu"

"iyaaa tapi mungkin mereka ada agenda atau kegiatan penting yang lain sehingga mungkin pemeriksaan harus tertunda, saya hanya mengantisipasi hal itu dan tidak bisa memberikan janji kepada Anda"

"jika Bapak tidak bisa bergerak cepat maka saya yang akan bergerak cepat"

"semuanya butuh perhitungan tidak bisa tergesa-gesa. Kalian anak muda selalu inginnya cepat tidak bisa bersabar. Semua masalah bisa diselesaikan dengan kekeluargaan tidak harus dengan hukuman" Pak Rektor mulai kesal dan marah-"

"baiklah Pak terimakasih" Bhale memotong pembicaraan Pak Rektor. Aku dan Kiran sempat terkejut melihat sikap berani dan kurang ajar yang Bhale lakukan. Kami melongo dan saling tatap.

"yaa oke saya akan berikan perintah segera" akhirnya Pak Rektor menyetujuinya.

Bhale mengembalikan gagang telfon itu dengan perasaan menang. Kami tinggal memantau pergerakan yang dilakukan Pak Rektor.

Si petugas itu menerima gagang telfon dengan kasar dan wajah kesal. Ketika aku mengucapkan terimakasih bahkan dia tidak menjawab, hanya merunduk dengan bibir cemberut menahan amarah.

Kavi baru datang ketika kami sudah menyelesaikan tugas. Dia datang dengan wajah khawatir.

"sudah tenang semua beres" ucapku

"sebaiknya kita berhenti menjadi pahlawan kesiangan atau kita yang akan menjadi korbannya" ucap Kavi serius. Aku memberinya tatapan bingung.

"masalah kali ini diluar batas kemampuan kita. Temanku sudah mengingatkan. Aku tidak mau kita dalam bahaya" jelas Kavi lagi yang tentu saja membuat kita semua saling bertukar pandang karena terkejut.

.................................................

academic adventures (Season 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang