Pak Gunawan mengisi presensi kehadiran saat ini, postur tubuhnya yang tegap dan proporsional itu menghitung-hitung kami dan menulis di buku besar yang selalu ia bawa. Aku sangat ingat dengan perawakan Pak Gunawan yang katanya ia kebetulan menjadi wali kelas kami.
Kata Ayu, Pak Gunawan adalah wali kelas kami yang tertampan dari segala guru di sekolah ini—bahkan, dia salah satu guru yang terpopuler di sekolah ini. Yah, memang gayanya yang mirip dengan selebriti mampu menggaet banyak remaja putri di sekolah ini.
Meski begitu, mengapa firasatku berkata lain? Seperti ada yang mengganjal di balik rupanya yang digandrungi oleh banyak siswi di sekitarku. Kuharap, bukanlah hal yang membahayakan untuk fisik dan juga kejiwaanku.
Kulihat, Pak Gunawan kini menerangkan mengenai majas. Walau aku tak bisa mendengarkan, dengan jelas aku mencatat semua apa yang ditulis di papan tulis oleh murid-murid yang disuruh maju ke depan kelas.
Kupandangi semua tulisan teman-teman yang tersusun rapi, mulai dari pembahasan majas alegori, metafora, hingga hiperbola. Dewi memberikan isyarat untuk memberitahukan untuk maju kedepan.
Risa, Kata Pak Gunawan kamu maju kedepan untuk memberikan contoh salah satu majas ironi. Tutur Dewi dengan menggunakan isyarat, lalu aku melangkah maju untuk mengambil spidol yang bertengger di papan tulis yang berwarna putih nan bersih tersebut.
Pak Gunawan yang melipatkan tangannya, pun menunjukkan tulisan "ironi" dan menyiratkan untuk menulis contoh majas yang telah disampaikan oleh melalui Dewi, ketika aku hendak membuka tutup spidol yang kugenggam, aku memikirkan paduan kata yang cocok untuk membuatkan majas ironi—hingga aku menuliskan beberapa hal yang terlintas dalam benakku.
Dengan berani, aku menuliskan apa yang kutulis di depan papan tulis seperti ini;
Wah, memang negara ini sangat ramah sekali!
Hingga kaum miskin, disabilitas, anak dan wanita sering diabaikan haknya!
Ketika aku menutup spidol dan mengembalikan alat tulis yang ku genggam tersebut, seluruh mata tertuju padaku. Bahkan sesekali kulirik Pak Gunawan pun menutupi wajahnya hingga beberapa temanku seakan-akan terkejut dengan apa yang kutulis di depan kelas.
Kumenoleh Pak Gunawan yang membelalakkan pandangannya ke arahku. Aku tak tahu apa yang ia perbincangkan, namun aku hanya memberikan sedikit tulisan dengan apa yang ku resahkan beberapa waktu belakangan ini selain tentang sekolah ini.
Ketika aku ingin menduduki bangkuku, para murid itu melihatku dan memotretkan apa yang kutulis di papan tulis. Aku tak merasa yakin dan keraguanku tertampak jelas pada mereka karena aku tak mengerti apakah ironiku ini akan menyinggung hati mereka atau tidak. Kurahap sih mereka tidak memasukan hati itu kalimat yang kuukir dalam papan tulis yang besar itu.
Tetapi, diluar dari apa yang kukira. Seluruh mata murid itu memperhatikanku dengan beragam ekspresi yang sulit aku sampaikan padamu, kuharap mereka tak merundung padaku setelah ini.
Kulirik Hadi yang kini terlelap dan menundukkan kepala, aku hanya berharap kau tertidur nyenyak.
***
Aku yang terlelap dalam tidur, kini hanya bisa tenggelam dalam fragmen dan melayang-layang dalam bunga tidur. Dalam senandung yang diperdengarkan, tak peduli panas yang dihinggapi, tak peduli seriuh kelas yang kusinggah.
Badanku terasa ringan, dan melihat sosok ibu yang tersenyum padaku. Ia mendekap dalam ribu, tak abai dengan senyum sumringah bagai matahari pagi yang menghangatkan jiwa dan ragaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
SURAT TERBUKA DARI YANG TERBUNGKAM [✅]
RandomKepada Yth: Siapa pun membaca surat ini. Ia tak bersuara bukan berarti bisa kau semena-menakan, Ia tak mendengar bukan berarti dengan mudahnya kau hina. Ia terdiam bisa jadi mengingat semua perbuatan kejimu, Dan membalas semua perbuatanmu dalam d...