Waktu sore di ruangan bimbingan konseling begitu dipenuhi hawa panas dan amarah menyeruak bagi siapa pun yang mendengarkannya. Pertemuan Ibu dan Ibu dari oknum pun saling bertatap muka, saling bermuram durja—bahkan tak ada kata damai selama pertemuan berlangsung. Debat panas kini masih belum membuahkan hasil, baik dari pihak Risa, ataupun lawan bicara.
Dipertengahan perdebatan berlangsung, sang lawan bicara itu pun terus memanasi dengan argumen sampah nan tak berguna bagi siapa pun yang mendengarkannya.
"Anak Anda disabilitas kenapa tak dimasukan dengan Sekolah Luar Biasa saja? Kan mereka sama spesiesnya!" sindir sang lawan bicara memanasi atmosfer ruangan, dan turut disayangkan dari pihak sekolah hanya mengucapkan kata 'sabar' serta sudah terlihat jelas, ia tak mendengarkan pendapat dari Ibu Risa yang dari tadi sudah memaparkan dengan penuh rasa sabar sepanjang babak perdebatan dimulai.
Mendengar mencerocos hingga membuat kuping dari Ibu Risa terasa lelah karena lawan bicaranya terus menerus berdebat hal yang sama, yakni 'kenapa-anak-ibu-tidak-masuk-ke-sekolah-luar-biasa-saja.'
Pertikaian panjang yang tak berujung mampu membuat Risa yang tunarungu tersebut ketakutan, dengungan sinyal dari suara teriakan yang selalu menghujam kedua telinganya, saling bersilat lidah sampai pendengarannya makin memanas, pandangannya yang makin memburam, dan seluruh pikirannya kini dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang membuat dia tak bisa menghentikan realita jahat yang harus Risa hadapi saat ini.
Apa dosaku hingga membuat kalian bertengkar? Apa aku salah untuk menjalani hidup seperti anak normal pada umumnya? Ibu, mengapa mereka menatapku dengan penuh kebencian? Tuhan, mengapa aku dilahirkan untuk menyusahkan orang lain? Apakah aku salah untuk mempertahan hak agar aku bisa belajar dengan tenang?
Pikiran yang tak berujung itu membuat kuping Risa sangat kesakitan dan fisiknya kini sangat sakit bagai terhujam oleh jarum bertubi-tubi, Risa pun menutup kedua telinganya serta meringkuk kesakitan secara mendadak. Siswa yang perundung melihat Risa pun tertawa keras melihat Risa yang menunduk rasa sakit di hadapannya.
"Tuh kan kena karmanya! Kalau sudah cacat ya cacat saja, sekalian mati—" putus anak yang merundungi Risa, ditengah ia berkoar dan bercongkak atas sikapnya, Ibu menampar pipi anak itu dengan kencang dan berdiri di depan mereka semua.
Sang ibu wakil kesiswaan itu tak menyadari Risa telah mengaduh kesakitan yang sangat amat sakit, bahkan mereka tak ada etikad baik untuk membantu anak itu untuk ditindak lanjuti dengan ambulans. Jelas, Ibu kini naik pitam dan amarahnya kini meledak-ledak melihat anaknya di semena-menakan bahkan mereka semua sudah sangat dungu, karena nihilnya rasa empati yang mereka miliki.
Keributan kini sudah telanjur menghebohkan sekolah dan banyak siswa melihat ruang konseling untuk memastikan apa yang terjadi di dalamnya. Melihat kegaduhan yang mereka perbuat, Ibu pun berteriak, "Saya akan menggugat kalian semua ke pengadilan!" ancam Ibu dengan geram.
Dan wali kelas mendatangi ruang konseling untuk mencoba menenangkan ibu di ruangan itu. Namun, tak dapat diharapkan bagi ibu yang sudah telanjur dimakan rasa muak. Dengan tatapan sinis, ibu menunjukkan jari telunjuknya tepat di depan dada sang wali kelas.
"Dan Anda! Saya bersumpah atas nama Tuhan, akan menjebloskan Anda ke Penjara!" geram sang ibu yang mencoba melawan orang-orang di sekitarnya, teman-teman Risa kini mendekati ibu dan membantunya untuk dilarikan ke rumah sakit.
Terlepas dari itu, salah satu sosok siswa itu mendekati ruang konseling yang sudah dipenuhi orang-orang yang mengerubungi untuk memviralkan kasus ini di media sosial.
Sekarang, giliranku.
***
Pada beberapa bulan yang lalu, Risa memasuki gedung koridor sekolah yang tampak ramai. Dalam pandangannya, ia melihat siswa-siswi berlarian sepanjang lapangan, beberapa yang memainkan gitar dan saling berkumpul satu sama lain, hingga kegembiraan yang terpancar oleh mereka yang menikmati suasana menyenangkan di sekolah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
SURAT TERBUKA DARI YANG TERBUNGKAM [✅]
DiversosKepada Yth: Siapa pun membaca surat ini. Ia tak bersuara bukan berarti bisa kau semena-menakan, Ia tak mendengar bukan berarti dengan mudahnya kau hina. Ia terdiam bisa jadi mengingat semua perbuatan kejimu, Dan membalas semua perbuatanmu dalam d...