Risa kini telah beranjak pergi dari kelas, suasana sekilingnya terasa sunyi dan juga tak bersua. Semua tampak riuh, namun jiwa Risa kian sepi. Tak ada yang tahu luka itu yang masih membekas dan menganga dalam batin gadis yang berwarna hitam—sehitam langit malam.
Walau raga gadis itu masih menapaki lantai demi lantai ia lalui, pikiran Risa masih riuh dengan kemungkinan yang akan terjadi pada dirinya. Risa menyadari, dunianya terasa sangat berbeda—jika beberapa waktu lalu ia merasakan hangatnya pertemanan, tapi ia rasa takdir seolah-olah memaksakan kehendak kepadanya untuk kembali berintropeksi diri, dan sadar dengan apa yang harus ia lakukan di sekolah ini.
Rencana demi rencana ia dapati demi mendapatkan kesetaraan di sekolah SMA Angkasa seperti murid normal pada umumnya. Ia ingin, mendapatkan pembelajaran baik dan keberadaannya bisa diterima di sekolah ini.
Bukanlah seorang yang dilabeli "budek", "bodoh". ataupun "dungu". Seperti kata-kata yang acap kali dituturkan oleh mereka—Risa pun mengetahui itu dari gerakan mulut dari Nanda yang beberapa waktu lalu terucap, sungguh menyakitkan hati dan untung saja berakhir karma, yakni mendapatkan sanksi skors selama tiga bulan lamanya.
Ketika Risa mendekati ruang perpustakaan, tangan kirinya ditarik oleh seseorang untuk mempercepat langkahnya ke ruang lain—dalam netra Risa, ia meronta-ronta untuk melepaskan genggaman tangan pria yang begitu kuat mencengkram tangan gadis yang berambut pendek tersebut.
Risa mengerang dan mencoba untuk menahan posisi untuk tidak tertarik oleh seseorang yang tak dikenal. Risa hanya melihat sosok pria itu yang jauh lebih tinggi daripada tubuhnya, pria itu pun mengganjal pintu itu dengan dua kursi untuk mengunci ruangan tersebut.
Risa pun hanya bisa mengerang dan pria itu membalikan badan, dan ia tak menyangka, bahwa seseorang itu adalah Hadi. orang yang ia benci dan seseorang yang ingin ia sumpahi untuk takkan pernah mengejar pria yang telah membuat dirinya kecewa begitu dalam.
Akan tetapi, ketika Risa mencoba untuk keluar dari ruangan itu, Hadi tetap menahan tangan Risa yang masih memberontak dengan memukul-mukul badan Hadi melalui buku-buku yang ia genggam di tangan kanannya.
Maumu apa, Hadi?! Kau sudah jadian dengan Nanda ya kau berjalan saja dengan gadis itu! menjauhlah dariku! Usir Risa dengan tegas, namun raut wajah Hadi pun menampakkan raut wajah kesedihan dan penyesalan.
Maafkan Aku, Ris, atas kesalah pahaman sabtu kemarin... ungkap Hadi dengan penuh sesal, Risa pun tak menggubris apa yang diungkap oleh Hadi dan ingin segera menyingkirkan kursi yang mengganjal pintu tapi tangannya ditahan Hadi dan membalikkan badan Risa untuk memperhatikannya.
Ris, dengarkan aku dulu! Hadi yang memohon untuk kali keduanya. Dan Risa pun menatap Hadi dengan bermuram durja. Tak ada penjelasan lagi bagi Risa, karena dia sudah jelas bahwa pria yang menjadi lawan bicara Risa itu mencium dengan seorang gadis dan masih menyimpan rasa dengan gadis yang merundunginya beberapa waktu lalu.
Apa yang kamu ingin jelaskan? Bukankah kau masih menyimpan rasa dengan gadis itu sehingga kau mencium Nanda, begitu bukan? Sudahlah! Aku tak bisa seperti ini terus! Tegas Risa yang berterus terang akan sakit hati yang ia rasa.
Tetapi Hadi pun memegang lembut bahu Risa, dan ia menatap gadis berambut pendek itu dengan tatapan mendalam.
Dengar, aku pun juga difitnah oleh Nanda. Risa. Ciuman itu juga paksaan dari Nanda, dan lihat mataku, apakah aku ini berbohong padamu? Tatapan Hadi pun kini tak bisa berbohong—tak ada getaran atau gestur tubuh yang menandakan kepalsuan dari pria itu.
Risa pun terdiam, dan memperhatikan Hadi dengan tatapan penuh tanya. Tetapi, Hadi pun melanjutkan untuk mengungkap apa yang terjadi pada dirinya, meski begitu, Mata Risa tak lagi bisa membendung rasa kecewa—ada rasa sakit yang tak bisa dijelaskan, dan ada segelintir rasa kecewa yang terlalu mengusik dirinya bagai paku-paku yang menusuk dalam hati Risa.
KAMU SEDANG MEMBACA
SURAT TERBUKA DARI YANG TERBUNGKAM [✅]
De TodoKepada Yth: Siapa pun membaca surat ini. Ia tak bersuara bukan berarti bisa kau semena-menakan, Ia tak mendengar bukan berarti dengan mudahnya kau hina. Ia terdiam bisa jadi mengingat semua perbuatan kejimu, Dan membalas semua perbuatanmu dalam d...