Kesatuan polisi mendatangi mereka yang berdiri depan ruang IGD di rumah sakit, polisi meminta kesaksian para ahli untuk dimintai keterangan yang terjadi di SMA Angkasa. Hadi pun berdiri untuk mendekati para polisi dan berkata.
"Saya saja pak, saya siap menjadi saksi," ujar Hadi dengan rasa bertanggung jawab, lalu kepolisian dan Hadi angkat kaki dari rumah sakit meninggalkan para teman dan juga Risa, orang yang dikasihinya yang sedang tak sadarkan diri di ruang instalasi gawat darurat. Hadi tak ingin melibatkan siapa pun selain dirinya, tak apa jika dia yang terseret dalam kasus ini—karena dia diajarkan oleh ibunya, bahwa ia harus bertanggung jawab dan bertindak jujur dalam segala hal.
Lalu, Astrid yang melihat Hadi beserta para polisi telah bergegas pergi, Astrid yang ditenangkan oleh kedua gadis itu yang juga memandang Hadi dengan pasrah. Perempuan yang paruh baya itu hanya berdoa dalam hati untuk mendoakan anaknya—Risa dan Hadi akan baik-baik saja selama proses hukum terjadi.
Tuhan, semoga mereka baik-baik saja, dan diberi keselamatan satu sama lain. Astrid merapal doa dalam hati yang terkabung dalam hayatnya, Astrid telah menilai mereka—bahwa mereka dan beserta teman-teman Risa lainnya itu sangat baik dalam merawat Risa.
Dilema terus menyertai Astrid sejak awal, hatinya terus selalu gamang setiap hari terlebih lagi tentang pilihan memasukan Risa di SMA Angkasa—ia ingat, dengan pertemuannya di Kantor kementerian terdekat yang memang ditugaskan untuk menyelidiki beberapa sekolah yang direncanakan untuk sekolah ramah disabilitas, dan salah satunya Risa yang dipindahkan ke sekolah luar biasa untuk memasuki jalur umum, yakni SMA Angkasa dengan dibiayai penuh.
Namun, pertemuan itu hanya Astrid dan beberapa komite kedisiplinan secara tertutup, dalam rangka sekolah itu juga ingin menguji kelayakan sekolah SMA Angkasa yang menjadi rahasia umum—perihal perundungan dan stigma yang "borjuis". Acap kali sering menyelewengkan apa makna dari pendidikan.
"Astrid, Saya beri mandat padamu, kamu akan saya mutasikan ke Jakarta, untuk menyelidiki ini," ucap kepala divisi yang memberikan beberapa kasus, termasuk dengan kasus yang terjadi pada SMA Angkasa yang terdapat desas-desus yang cukup miring perihal pendidikannya dan juga tentang kasus perundungan selama beberapa tahun silam hingga menjadi rahasia umum yang tak bisa diusut tuntas—terlebih lagi ada salah satu petinggi sekolah SMA Angkasa yang saat itu viral yang sangat tak ramah dengan kaum disabilitas.
"Pak, mohon maaf, saya tak ingin anak saya menjadi korban," ungkapnya dengan tegas, tapi kepala divisi itu berdiri di depan Astrid dan duduk di atas meja.
"Astrid, kau tau makna dari sebuah pendidikan?" tanya Adjie yang selaku menjadi kepala divisi, Astrid melihat Adjie dengan seksama, dan pria yang paruh baya itu berdiri di hadapannya,
"Makna dari sebuah pendidikan adalah memajukan peradaban dari kebodohan, dan SMA Angkasa justru menyelewengkan hal itu," jelas Adjie dengan tenang, Astrid mendebatkan apa yang diutarakan oleh pria yang menjadi lawan bicaranya.
"Pak, tolong, jika bapak ingin melakukan eksperimen gila, jangan sertakan anakku! Gunakan pakai riset seperti survei atau angket, jangan gunakan anakku untuk melakukan investigasi ini!" kesal Astrid. Adjie pun berusaha menenangkan apa yang dialami oleh Risa.
"Saya juga memikirkan seperti ini juga ada alasan kuat, Astrid. Apa kau ingin membiarkan sekolah itu menjadi tempat neraka bagi murid yang tak mampu dan juga disabilitas?" pertanyaan Adjie itu menampar hati Astrid dan membungkam semua tanda tanya yang bersemayam pada wanita tersebut. Lalu, Adjie melanjutkan semua perbincangan yang yang masih menggantung.
"Astrid, jika sesuatu yang terjadi pada anakmu, hubungi aku. Aku akan mengurus semuanya, termasuk dengan keamanan yang kau khawatirkan," janji Adjie kepada Astrid, ketika kata-kata itu terngiang-ngiang, itulah pilihan terakhir bagi Astrid—ia telah mengetahui resiko dan kemungkinan yang akan terjadi di SMA Angkasa.
Kemungkinan besar, sekolah itu akan diselidiki lebih dalam, dan media massa akan berdatangan lalu bisa jadi, sekolah itu akan mendapatkan hukuman kedisiplinan melalui komite pendidikan sekolah. Atau bisa saja bahkan lebih parah lagi.
Astrid menjadi lebih gundah gulana, memang sekolah itu sudah tak layak dikatakan menjadi sekolah "elit". Lagi, karena citranya yang berbanding terbalik dengan apa yang Risa rasakan.
Sudah terlalu busuk, penuh kemunafikan, dan kepalsuan citra sekolah yang harus diperbaiki dengan cara apa pun.
***
Hadi pun kini duduk bersama dengan para polisi di ruang interogasi untuk dimintai beberapa keterangannya selaku saksi.
"Jadi, siapa namamu, Dik?" tanya polisi yang memakai penanda nama, Yohannes Djanuar.
"Hadi Ardiansyah," jelas Hadi, yang menjawab pertanyaan dengan menahan emosi yang terluap. Perasaannya telah mencampur menjadi satu, kesal, tak terima, amarah yang memuncak yang ia tahan agar Hadi tak menyebabkan perkara baru di tempat polisi.
Lalu para polisi meminta Hadi menceritakan reka ulang kejadian—kronologi apa yang ia lihat kemarin sore. Hadi menceritakan apa yang ia lihat tanpa ada kebohongan sedikit pun, di tengah-tengah penjelasan, dia mendengar suara teriakan yang ada di dalam sel tahanan, suaranya yang tampak familier di pendengarannya. Tak sengaja, Hadi mendengarkan perbincangan yang terjadi di antara kalangan polisi yang tengah berlalu-lalang.
"Siapa sih itu? berisik banget," keluh salah satu polisi wanita yang tengah berlalu-lalang, lalu polisi itu menjawab,
"Biasalah, tahanan baru, udah mana sekarang masih bocah, lo, anak SMA zaman sekarang yah, miris," ungkap salah satu mereka yang berkeluh-kesah satu sama lain. Lalu suara Yohannes yang keras itu memecahkan lamunannya.
"Jadi, Hadi, mengapa kau melakukan tindakan kekerasan terhadap tersangka?" tanya Yohannes, dengan lugas Hadi menjawab,
"Saya terpaksa melakukan hal tersebut, karena melindungi korban yaitu teman saya, Risa. Saat itu saya lihat bajunya tengah dirobek dan nyaris di perkosa," ungkap Hadi yang membuka kebenaran satu persatu, mendengar ungkapan Hadi yang menemukan fakta dibalik ucapan yang tengah keluar dari lisannya.
"Oh, jadi mereka berdua sempat ada kontak fisik?" tanya Yohanes yang sedang memberikan konfirmasi atas ucapan yang dilontarkan oleh Hadi. Hadi pun mengangguk, untuk membenarkan apa yang ia ucapkan.
"Lalu, bisa ceritakan hubunganmu dengan tersangka?" tanya Yohanes dengan detail, Hadi pun menjawab dengan ringkas.
"Awalnya saya dan dia hanya berteman, tapi beberapa belakangan karena dia sering melakukan perundungan kepada siswa yang tak mampu dan terakhir ini saya dan beberapa teman saya melihat tindakan perundungan sudah kali keduanya," ungkap Hadi dengan berterus terang.
"Wah, ini sudah kali keduanya?"
"Iya, Pak Yohannes," jelas Hadi
"Perundungan pertama, siapa yang melakukannya? Dia juga?"
"Ya. Pak, tak hanya itu, selain dia juga beberapa teman lainnya." Hadi melanjuti apa yang dikatakan olehnya dan menjelaskan kronologi yang terjadi di sekolah tersebut hingga detail dan jelas.
Hingga Hadi bisa melewati serangkaian pertanyaan panjang dan pria itu bisa bekerjasama dengan baik,
"Baik, Dik Hadi, terima kasih sudah bekerjasama dengan baik, mohon tinggalkan nomor telepon untuk dipanggil untuk proses hukum selanjutnya atau ada panggilan untuk menghadiri sidang, ya," ucap Yohannes sambil memberi secarik surat berupa surat informasi dan surat berita acara penyidikan untuk disimpan.
Hadi pun menyimpan berita acara penyidikan untuk panggilan ke persidangan jika perlu, dan sosok polisi yang terlihat cukup tua itu mendekati Hadi dan menepuk pundaknya.
"Kamu Hadi, keponakannya Pak Alex, ya?" tanya salah satu polisi yang bernama Razak yang berjabat tangan dengan Hadi. dan seluruh polisi itu memberikan salam penghormatan kepada Razak—yang terlihat bahwa Razak adalah seorang polisi yang berjabat tinggi seperti inspektur ataupun jabatan tertinggi di kepolisian daerah Jakarta. Razak pun tersenyum pada Hadi yang tampak pangling bahwa Hadi kini sudah besar dan tampak lebih baik dari pada yang di foto.
"Ya, Pak," ujar Hadi dengan sopan, dan tinggalkah mereka pada sore itu, yang menjadi saksi perbincangan kedua pria yang saling berdialog mengenai hari itu yang sangat berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
SURAT TERBUKA DARI YANG TERBUNGKAM [✅]
De TodoKepada Yth: Siapa pun membaca surat ini. Ia tak bersuara bukan berarti bisa kau semena-menakan, Ia tak mendengar bukan berarti dengan mudahnya kau hina. Ia terdiam bisa jadi mengingat semua perbuatan kejimu, Dan membalas semua perbuatanmu dalam d...