Beberapa jam berlalu, dan kini sudah menandakan jam empat sore. Kini para murid SMA Angkasa sudah berhamburan untuk pulang seusai jam pulang sekolah sudah berkumandang, dan begitu juga oleh beberapa teman Risa yang sedang merapikan beberapa buku yang ada dalam bangku mereka masing-masing.
Sepanjang Risa merapikan buku, Safira—sang ketua kelas kini menghampirinya dan memberikan ia sepucuk lipatan kertas yang telah disobek dari buku. Risa yang terheran-heran pun kini membuka kertas itu dengan penuh kehati-hatian, dengan jeli Risa melihat seisi surat yang ditulis oleh Safira.
Halo Risa,
Maafkan aku baru bisa berbincang padamu melalui perantara surat ini.
Aku dan murid di kelas ini mohon maaf jika beberapa waktu lalu menertawakanmu dan tak menolongmu di saat kamu terkena masalah oleh para komplotan Rakha beserta teman-temannya itu.
Kami bukan bermaksud untuk menertawakan kamu untuk mem-bully mu. Tapi kami terpaksa untuk tertawa, jika kau memaafkan kami, kami berjanji untuk menemanimu dan mencoba melawan mereka dengan cara apa pun.
Sekian dariku,
Safira Almira, perwakilan kelas.
Risa pun terdiam dan melihat manik Safira yang kini tampak nanar dan menahan rasa sedih—serta tampak sentimental karena penyesalan akan yang ia perbuat, walau tak sepenuhnya dia dan teman-teman ini bersalah—toh, ini juga bersifat paksaan dari kelompok penjahat yang sekonyong-konyong sok berkuasa di sekolah ini, bukan?
Risa yang menutup surat itu dan membalikkan kertas yang diberikan oleh Safira. Risa pun membalas dengan coretan di balik kertas sobekan tersebut.
Ya ampun, kau tak perlu menulis surat serapi ini! aku sudah memaafkan kalian, kok. Balas Risa melalui surat yang ia tulis. Lalu ia memberikan surat itu di depan Safira dengan senyum sumringah, Safira pun terdiam dan wajahnya memerah. Siapa yang tak meleleh melihat senyuman Risa yang begitu menawan? Sampai perempuan itu pun ikut terhanyut oleh senyuman yang diberikan oleh Risa yang ada di depannya.
Lalu Ayu, Dewi, Prisma, yang berada di samping Safira pun ikut tersenyum akibat senyumannya yang membawa virus kebahagiaan yang terpancar oleh Risa.
"Memang Risa pembawa happy virus, ya!" celetuk Dewi dengan menggendongkan tas punggung yang berwarna merah muda, Ayu pun terkekeh dan mengangguk setuju untuk menandakan sepakat dengan apa yang diutarakan oleh Dewi.
Tunggu, kalian ngomong apa, tadi? Aku tak mengerti! Tutur Risa melalui isyarat, Ayu pun terkekeh dan semua teman-teman itu tersenyum padanya.
Tak apa, itu bukan hal yang penting, kok, Risa. Ungkap Dewi dengan balasan isyaratnya. Raut wajahnya yang tersenyum untuk menandakan ini bukan hal yang harus dipikirkan secara mendalam, Risa yang ikut tertawa pun tampak sangat cantik bagi dua pria yang menunggu Ayu, Dewi, dan juga Risa.
"Gila ya, ternyata senyuman Risa itu mirip bidadari," ungkap Brian yang memutarkan bola basketnya dengan jari-jemarinya, Sansan yang berdiri di samping Brian itu menyindir dengan menggunakan intonasi yang mendayu-dayu, seperti aktor yang berdialog di atas panggung teater.
"Sudahlah kawan, jika kau kasmaran ya kau ucap saja, jangan kautahan, seperti menahan hajatmu itu kalau engkau sedang berak," canda Sansan yang berusaha merusak suasana Brian sebagai bentuk kejahilan yang ia lakukan kepada pria yang disampingnya.
Sedikit terkejut Brian mendengarnya, Brian pun kini menyepak bokong Sansan yang bereaksi sebal mendengarkan kejahilan yang diucap oleh Sansan yang penuh keisengan dengan disengaja.
KAMU SEDANG MEMBACA
SURAT TERBUKA DARI YANG TERBUNGKAM [✅]
RandomKepada Yth: Siapa pun membaca surat ini. Ia tak bersuara bukan berarti bisa kau semena-menakan, Ia tak mendengar bukan berarti dengan mudahnya kau hina. Ia terdiam bisa jadi mengingat semua perbuatan kejimu, Dan membalas semua perbuatanmu dalam d...