REKAMAN 17: AKHIR DARI SEGALA PERKARA (BAGIAN SATU)

6 5 0
                                    

Hari sudah menjelang malam. Tak kusangka Ayu, Dewi, Ahmad, dan Sansan datang ke tempat kami pijak. Mereka mendatangi kami yang sedang bercakap-cakap tentang masa lalu antara aku dan juga Risa.

"Dor!" seru Ayu yang datang kepada kami dan Ahmad membawakan minuman serta makanan untuk kita duduk bersama.

"Ah! Aku enggak kaget!" ejekku dengan berpura-pura kaget, dan membuat semua tertawa renyah, tak terkecuali dengan Risa yang mengetahui bahwa kini semua dipenuhi gelak canda di antara kami.

"Ih, enggak kaget dong! Sebel!" gerutu Dewi dengan mengerucutkan bibirnya dengan gemas, dan suasana kini mencair dan begitu hangat pada kami. Mereka pun ikut dalam perbincangan kami, dan beberapa saat, Dewi melirikku untuk membawa jalan-jalan. Yah, sedang kami membicarakan perihal pria yang brengsek itu.

Ris, yuk temani aku ke mini market. Ungkap Dewi dalam penuturannya, Risa pun mengangguk dan beranjak pergi dari bangku yang kududuki. Sekarang, tinggalah aku, Ahmad, Sansan dan juga Ayu. Mereka pun mengajukan sebuah tanda tanya besar perihal hari ini—dan mengapa aku mendadak tidak menyukai apa yang diperbuat oleh Hadi pada siang hari.

"Mad, lo tadi ngeliat kan, apa yang gue liat tadi siang?" tanyaku. Ahmad pun mengangguk setuju dengan wajah yang bersengut-sengut, dengan matanya yang melebar ia pun mendekati di antara kami.

"Iya, gue liat Hadi dan Nanda ciuman di balik pohon beringin, gue enggak nyangka dia bohongin janjinya sendiri," terang Ahmad yang sambil meremas celana jeans warna hitam yang ia miliki.

"Serius? Kok dia berani banget ngelakuin hal yang enggak senonoh, sih? Gue enggak habis pikir, ditambah lagi kenapa Risa sesedih itu?" tanya Ahmad yang penuh dengan penasaran.

"Gue pikir... masa sih seorang Hadi yang dikenal konsisten dengan apa yang ia bilang itu ingkar secara tiba-tiba? Mungkin saja Nanda memaksa Hadi dengan alasan suatu alasan yang kita tak ketahui," bela Sansan yang sambil mengunyah gorengan yang ia genggam, begitu juga Ayu yang berfikir sejenak.

"Apa yang dibilang Sansan ada benarnya juga, sih, tapi... Risa sesedih itu... aku bukan ingin berprasangka, tapi Risa menyukai Hadi, ya?" kritis Ayu dengan menerka-nerka dengan menggali lebih dalam perihal kejadian pagi ini.

"Terlebih lagi, Risa juga pernah sempat dekat dengan komplotan Rakha, 'kan?" terka Ahmad dengan berdiskusi lebih lanjut.

"Eh iya juga ya, gue enggak habis pikir, lo, pasti sih, mungkin aja Risa ada perasaan sama Hadi," asumsi Sansan sambil memegangi dagunya.

"Terus ciuman itu maksudnya apa? Ah elah, jadi konspirasi begini, 'kan?" kesalku dengan menyeruput minuman yang dibelikan oleh Ayu, Ahmad yang kini terlihat memanjangkan kesabaran yang ia punya juga hanya bisa memberikan sebuah kesimpulan sederhana.

"Begini saja, ketika kita sudah antar pulang Risa, Kita sergapi si Hadi dan kita tanya perihal gila yang dia lakukan hari ini, bagaimana?" tanya Ahmad yang memberikan ide cemerlang kepada kami, aku tersenyum lebar dan postur tubuhku mendekati mereka. aku tak menyangka bahwa Ahmad yang jarang bersua itu bisa mengungkapkan ide yang sangat bijak di antara kita semua.

"Ide yang bagus, Mad!" kata Ayu yang merangkul bahu Ahmad dan juga Sansan di hadapanku. Aku pun mengangguk setuju tentang ide yang dilontarkan oleh Ahmad.

Tepat waktu bersamaan, Dewi dan Risa kembali ke tempat kami dengan membawa sekantung plastic yang berisi beberapa cemilan dari mini market, aku lega melihat Risa kini sudah kembali tertawa bersama dewi yang sepertinya pintar menghibur gadis yang hari ini sedang bersedih hati. Aku bersumpah jika dalam waktu dekat ini aku akan belajar dengan Dewi yang memang ahli mendengarkan keluh-kesah orang.

Hitung-hitung jika suatu saat aku akan bisa menghibur Risa sewaktu-waktu, dan tentu saja termasuk mencuri hatinya sudah terhitung ke dalam rencanaku. Memang ini terdengar seperti langkah licik, namun sah-sah saja bukan jika Hadi yang bodoh itu melakukan kesalahan fatal itu kan?

***

Di malam yang sama, terdapat sosok dua gadis yang saling berjalan menuju setapak jalan, kedua gadis itu melihat lampu penerang jalan yang menghangatkan suasana yang sepi. Desiran arus laut menemani kedua gadis itu yang sedang melamun satu sama lain, di bawah sinar rembulan yang menyaksikan perjalanan mereka, Dewi melirik Risa yang sedari tadi menundukkan kepala dan tampak tersedu-sedu.

Dewi memahami kepatah hatian seorang gadis remaja yang telah disakiti oleh cinta—yang tak seharusnya berakhir indah dan damai bagi Risa, namun hidup memang semenyebalkan itu.

Dewi pun menghentikan langkahnya, dan memeluk gadis itu dengan erat. Dewi mengerti, yang Risa butuhkan adalah dukungan mental yang harus terpenuhi dikala hatinya yang sedang terluka.

Risa yang awalnya merasa terdiam dan temenung melihat perlakuan temannya yang kini membuat dirinya bingung, namun entah mengapa hatinya yang rapuh itu menangis sejadi-jadinya, semua pilu tertumpahkan di dalam pelukan Dewi yang begitu hangat malam ini.

Suasana kini terasa sendu, dan udara malam yang dingin menerpa jiwa Risa yang tak lagi kuat untuk menerima kenyataan hidup yang tak adil bagi gadis itu. kebebasan berkehidupan, pendidikan, bahkan perasaan pun kini dirampas oleh orang yang tak bertanggung jawab—yang mungkin saja dianggap sebagai "oknum".

Dengan perlahan, Dewi merenggangkan pelukannya dan memberikan isyarat bahwa ia mengizinkan Risa untuk menumpahkan segala emosinya yang ia punya—baik melalui tangis, amarah, atau ungkapan sejenis itu yang mampu membuat dirinya jauh lebih tenang hingga dirasa Tuhan tahu seberapa ia telah membaik dalam hatinya.

Risa pun memeluk gadis itu dengan erat, ia menangis sejadi-jadinya karena tangisan tadi siang tertahan karena ia masih ada rasa canggung terhadap lawan jenis, takut di salah pahami lagi, antara dia dan Brian.

Ia masih menangis di bawah sinar rembulan. Dewi tahu, ia bisa merasakan sedihnya Risa karena konon, baginya perasaan wanita itu saling terhubung satu sama lain—seperti ada ikatan batin yang terikat sempurna dari wanita satu dengan yang lainnya.

Tangisnya yang masih seunggukkan, sudah terlihat ia tak mampu menahan kesedihan yang ia rasa—ah sudah cukup, sudah terlalu banyak bilur yang ia dapatkan dari kehidupan.

Dewi masih mengusap-usap punggung Risa, dan seolah-olah ia merasa ada di dalam sudut pandang gadis yang tengah menangis dalam dekapan—Dewi sangat paham, karena seperti halnya membawa memorinya yang kelam, yang bahkan ia tidak ingin siapa pun tahu tentang masa lalunya yang sangat teramat gelap. Antara Dewi, dan sosok di masa lalunya.

Dewi pun berdehem dan seolah-olah bernyanyi untuk menenangkan hati Risa, walau ia tahu, Risa hanya sebatas teman tuli. Dewi mengerti, dengan seperti itu, pesan hangat itu tetap tersampaikan walau ia tak mendengar.

*** 

SURAT TERBUKA DARI YANG TERBUNGKAM [✅]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang