REKAMAN 3: AWAL DARI PERTANDA BAHAYA

36 15 1
                                    


Langit sore sudah menampakkan dirinya, dan suara bel sekolah sudah menandakan untuk jam pulang sekolah, Risa dan bersama teman-teman baru yang ia kenal pun keluar dari kelas. Sedangkan Hadi melihat Risa dari kejauhan, langkah demi langkah mereka beranjak dari koridor kelas dengan riang gembira.

Tak lama, Hadi pun dirangkul oleh teman satu ekstrakulikulernya, Brian dengan memainkan bola basket dengan iseng, "Di, lagi senggang nggak?" tanya Brian dengan enteng, dan Hadi yang terasa risih ia melepaskan tangan Brian dari bahunya. Netranya yang menatap dengan penuh rasa ejek, ia melihat Brian dengan kesal.

"Apa? Main basket? Skip dulu deh," ujar Hadi yang berjalan begitu cepat untuk meninggalkan Brian. Brian yang melihat Hadi saat ini sudah begitu berubah, semenjak Hadi kehilangan temannya, ia sering kali menarik diri bahkan senyum yang banyak yang diidamkan oleh banyak murid sudah hilang akibat tragedi itu.

Hadi, lo begitu hancurnya, ya kehilangan temen lo sendiri. terus gue dianggap apa sama lo? Dalam hati Brian yang masih terpukul karena sudah jelas, Hadi tak menginginkan siapa pun dalam hidupnya tak terkecuali dengan dirinya. Brian masih terdiam melihat sosok Hadi yang masih berjalan dan menutupi kepalanya dengan kupluk dari jaket hoodie yang ia kenakan.

Brian menghela napas dan melambungkan bolanya di lantai, dan berjalan menuju lapangan yang sudah sepi oleh para murid di sekolah.

***

Terlepas dari kegiatan sekolah yang melelahkan, Risa dijemput oleh ibunya dengan mengendarai sepeda motor sederhana. Saat ia di gerbang sekolah, Risa melihat ibu yang tengah menunggu dirinya—terlepas ia memakai pakaian batik dinas bercorak korpri berwarna biru.

Risa pun berlari kecil mendekati ibu yang menyambutnya dengan hangat. Risa pun memeluk ibu dengan erat, dan ibu mengusap punggung Risa. Entah mengapa ia mendapati secarik kertas kecil berwarna kuning di punggung anaknya.

"Bagaimana sekolahmu hari ini?" tanya ibu dengan menggunakan bahasa isyaratnya. Ia yang menelisik kertas itu dengan perlahan, raut wajah ibu tersenyum pahit setelah melihat isi tulisan di balik secarik kertas post-it tersebut.

Risa bisu budek jangan sok cantik lo, bangsat!

Hati ibu tersobek-sobek melihat tulisan yang merundungi Risa secara tak langsung, apa salah anaknya di hari pertamanya ia masuk? Bedebah siapa yang berani mencari perkara dengan anak yang keterbatasan seperti Risa? Salahkah ia yang terlahir seperti itu? Sungguh, yang melakukan hal ini tak ada hati nurani pada anaknya.

Risa yang tak tahu menau perihal hal itu, ia tetap tersenyum cerah dan membalas pertanyaan sang ibu.

"Hari ini sangat menyenangkan! Aku mendapatkan lima teman baru!" dalam isyaratnya, sang ibu menyalakan mesin motornya dan memberikan Risa sebuah helmet yang berwarna merah muda kepadanya.

"Oh, sungguh? Senangnya," hibur sang ibu yang membalas menggunakan bahasa isyaratnya. Tapi ketika ia melihat saat ia menyalakan motornya tersebut, sekelompok siswa-siswi seperti melihat Risa dengan tatapan yang menjijikan bagai tak diinginkan.

Lalu ibu menggelengkan kepalanya dengan perlahan, mungkin saja itu bukan pekerjaan mereka. Toh, ini masih hari pertama ia masuk sekolah bukan? Sudah cukup gila kalau ada murid sekolah yang iseng merundungi putrinya.

Tapi ia tak kehabisan akal, ia menyimpan kertas itu untuk barang bukti yang bisa sewaktu-waktu bisa menghancurkan perundung itu entah kapan saatnya tiba, ia akan menyimpannya.

Oh, jadi perundungan masih ada? Tanya dalam hati ibu.

Ia mengendarai motor menjemput Risa untuk pulang, memang sangat macet jika sudah sore seperti ini. Memang benar, hidup di perkotaan sangatlah membuat stress terlebih lagi pekerjaan ibu yang bekerja di Dinas Pendidikan yang baru saja di pindah tugaskan di kota Bekasi setelah di Jakarta. Ditambah Risa yang ingin mengeksplorasi kota ini lebih dalam—karena ya, dia anak yang tak ingin diam perihal Pendidikan dan kebudayaan.

SURAT TERBUKA DARI YANG TERBUNGKAM [✅]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang