Risa kini duduk di depan ibu yang memperhatikan dirinya sedang bercakap-cakap dengan raut wajah yang sangat ketakutan, matanya yang tak bisa menatap pandangan sang ibu karena takut akan kemungkinan bertambah buruk.
Raut wajah Risa yang memucat dengan menyimpan ribuan perasaan kalut akan yang ia harus hadapi, mampu tertebak oleh Astrid yang melihat tangan anaknya bergetar hebat serta ia sangat terlihat tak baik-baik saja. Sang ibu pun memeluk anak itu lagi dan mengelus-eluskan pundak anaknya.
Tangan Risa masih bergetar dan air matanya yang takkan pernah habis menyeruak ke arah pelupuk matanya yang tampak sembab. Dengan dekapan sang ibu yang memeluknya, ada sedikit ketenangan yang menular dalam raga—akan tetapi, rasa ketakutan itu masih ada dalam bayang pikirannya.
Nak, tenanglah... Minumlah ini, dalam isyarat ibu mengambil segelas air putih yang hangat. Risa tahu, kasih sayang ibunya lah yang ia butuhkan namun ia berpikir dalam batin,
Ayah, Ibu, maafkan Aku. Aku menyusahkan kalian dari lahir, dan terutama denganmu, Ibu. Maafkan aku, maafkan diri ini yang selalu mengkhawatirkan Engkau dengan permintaanku.
Risa yang masih menangis tersedu-sedu, tak kuasa meluapkan rasa sedih seraya menumpahkan air mata dengan derasnya membasahi pundak ibu yang masih memeluk Risa. Dengan seunggukkan, Risa menyeka air mata dan mencoba untuk meredakan tangisan yang ia alami.
Selang beberapa menit berlalu, ia mencoba untuk meminum segelas air putih hangat pemberian dari sang ibu untuk meredakan rasa tenggorokan yang setengah kering akibat tangisan yang ia rasakan.
Bu, maafkan Aku, dalam isyarat yang kutampakkan dalam gerak-gerik tanganku. Ibu pun mengernyitkan wajah dan menampakkan ekspresi yang penuh dengan tanda tanya di wajahnya, Ibu tersenyum tipis dan berusaha menenangkan diriku di tengah tangisan yang seunggukan kurasakan.
Maaf untuk apa? membalas dengan bahasa isyarat, tatapan Risa kini menahan semua emosinya kini sudah tertumpahkan dengan tatapan yang nanar, sedih, dan tak bisa di deskripsikan seberapa jauh luka itu menghujam harga dirinya yang sudah dipegang dengan keras.
Aku menyembunyikan rahasia padamu, Ibu. Telunjuk Risa yang kini menurun dan menundukkan kepalanya, menandakan dirinya tampak jelas bahwa dirinya sangat tak baik-baik saja. Risa perlahan-lahan memberitahukan kepada sang ibu mengenai kejadian yang ia alami selama sepekan—mulai dari diperbudak, di ajak melakukan hal yang tak sepantasnya ia lakukan, bahkan memberikan contekkan kepada mereka dengan cuma-cuma di saat ulangan harian pun juga ia lakukan demi "pertemanan". bagi mereka.
Tak hanya itu, Risa harus merekam perbuatan jahat mereka—seperti memeras makanan pada orang yang dianggap "cupu". Setelah jam makan siang telah berakhir, ditambah lagi, ia tak menyadari bahwa kebaikan mereka hanyalah kepalsuan belaka hingga kejadian itu menimpa Risa sendiri tanpa ancang-ancang sedikit pun. Tanpa permisi, dan tanpa sepengetahuan dirinya.
Ketika Risa menceritakan semua yang terjadi pada dirinya, ibu pun memeluk punggung anak semata wayangnya dengan lembut dan menenangkan, detik demi detik berlalu, dan Risa mulai menenangkan diri secara perlahan.
Yang tabah, ya Sayang. Ibu tahu, ini bukanlah hal yang mudah. Tapi, tetaplah dalam prinsipmu, Sayang. Karena yang benar, ia akan bertahan hingga akhir.
Dalam dekapan ibuku, kini aku merasa tenang dan tak lagi merasa takut. Rasa tenang ini menghanyutkanku dalam kantuk, netraku memberat dan yang kuinginkan hanya lari dari realitas hidup serta beristirahat waktu. Tak ingin ada seseorang yang menggangguku dalam mimpi, yah, kuharap dengan tidur semua deraian air mataku sudah mengering dan terlihat baik-baik saja tanpa menyusahkan orang.
***
Anakku menceritakan semua keresahan yang ia alami, dan dugaanku memang benar jika dia dirundung di sekolahnya. Rasa ketidak mampuan itu yang tak mampu membuat dirinya berani melawan sekelompok para penjahat yang masih bau pesing—tak ada apa-apanya dengan diriku di masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SURAT TERBUKA DARI YANG TERBUNGKAM [✅]
De TodoKepada Yth: Siapa pun membaca surat ini. Ia tak bersuara bukan berarti bisa kau semena-menakan, Ia tak mendengar bukan berarti dengan mudahnya kau hina. Ia terdiam bisa jadi mengingat semua perbuatan kejimu, Dan membalas semua perbuatanmu dalam d...