REKAMAN 2: HARI PERTAMA

49 19 0
                                    


Aku teringat dengan nasihat kedua orang tuaku,

Bahwa kita tak bisa menentukan apa yang kita takdirkan,

Namun kita bisa menentukan arah mana yang kita ingin tuju,

Terlepas dari penderitaan yang mengakar,

Bisakah aku berbahagia walau dengan keterbatasan yang kumiliki?

***

Tak terasa beberapa jam sudah berlalu, aku melihat banyak siswa-siswi yang melihatku seolah hal yang menarik bagi mereka. Ya, aku tentu terlihat senang melihat mereka ikut menyapaku dengan ramah.

Saat guru mempersilakan aku untuk duduk di kelas dan memperkenalkan diriku, tanpa kusadari bahwa diantara deretan kursi yang berjajar rapi, ku singgahi tempat yang kebetulan ada di bangku baris kedua yang dekat dengan meja guru. Jika kalian menanyakan diriku saat itu, tentu aku menganggapnya hari terbaik dalam hidupku.

Bisa berinteraksi melalui tulisan, aku menikmati setiap detik yang kumiliki. Ah omong-omong, aku bertemu dengan teman-teman baruku walau tak sebanyak yang kuharapkan.

Aku berkenalan dengan Mei, wanita yang berambut pendek dengan badan yang cukup gempal namun ia bersemangat ketika menemuiku pertama kali. Disusul dengan Ray, pria yang cukup berbadan tinggi, setelah Mei memberitahuku ialah pemain basket terbaik di Sekolah dan itu membuatku takjub. Lalu ada Nanda, dia sangat baik padaku dan terliat ia memakai sedikit riasan yang cukup membuat dirinya terlihat cantik. Ditambah lagi, aku bertemu dengan Rakha, kuakui ia pria tertampan yang pernah kutemui setelah ayahku.

Aku merasakan hal yang berbeda dalam hidupku setelah aku menemukan mereka dan keceriaannya yang menghangatkan suasana. Aku melihat Mei yang mengetikkan beberapa kata dalam gawainya dan menunjukkan padaku.

"Omong-omong, kami ingin bercerita denganmu tentang sekolah ini," dalam tulisannya, aku pun membalas dengan buku sakuku yang dikantongi di saku seragamku.

"Ya, boleh," jawabku dengan tulisan, Mei pun menghapuskan kata-katanya dan mengetikkan ulang di gawainya.

"Bolehkah aku minta kontak kamu? Sepertinya kau asyik untuk diajak obrol walau dengan tulisan," jawab Mei. Gawainya pun kini ditunjukkan padaku dan aku pun menganggukkan kepala dengan pelan. Ia kini membuka aplikasi kontak dan ditunjukkan beberapa angka nomor telepon.

Aku pun membalikkan halaman dan menyentuhkan layar sentuh gawainya. Dan kami bertukar kontak, melihat Mei mendapatkan kontak, Nanda, Ray, dan Rakha melihatku dengan seksama.

Mereka pun saling tersenyum satu sama lain, dan aku menatap mereka dengan keheranan.

"Ada apa?" tanyaku dalam tulisan, mereka pun tertawa kepadaku dan mencoret buku yang kugenggam.

"Enggak ada apa-apa kok," jawab Nanda dalam tulisan. Dan kami kembali menghadap setelah salah seorang guru menegur kami. Tapi firasatku, ada seseorang yang menatapku dari kejauhan...

Tapi siapa?

***

Hari senin yang sangat menyebalkan untukku, sangat membosankan dengan setiap manusia yang menyapaku, aku tahu sudah beberapa lama semua murid yang mendekatiku hanya menginginkan materi di dunia ini.

Paras, harta, kuasa, ketenaran, bahkan keahlian.

Memang aku sangat beruntung dilahirkan dengan wajah yang rupawan, keluargaku memanglah kaya raya, aku juga kebetulan tenar di sekolah karena aku murid yang yang selalu menyabet peringkat satu di angkatan. Semua orang tertarik denganku namun kalau boleh jujur, aku sangat bosan dikelilingi oleh orang-orang yang hanya menginginkan itu semua. Tak memandangku secara utuh, dan aku merasa muak dengan penilaian seperti itu.

Pasti kalian bertanya padaku, mengapa aku masa bodoh dengan itu semua? Oh tentu, aku mengetahui niat mereka bagai bangkai tikus yang tercium busuknya hingga menyebar ke tangan musuhmu. Itulah niat mereka.

Aku mengetahuinya ketika salah seorang yang kuanggap menjadi sahabatku dulu, ia membeberkan salah satu hal yang seharusnya menjadi rahasia kami berdua—antara aku dan dia, Aku teringat aku mengupingnya dari balik toilet kamar mandi, mereka membicarakan tentangku dan terdengar jelas apa yang mereka perbincangkan.

"Kau tahu? Hadi orangnya enak banget lho buat dipinjam uangnya,"

"Ha! Dia mah sudah terlahir kaya, berbeda kasta dengan kita,"

"Tapi enak tahu, dia dijadikan ATM berjalan kita aja! Biar lancar...."

Aku sangat hafal dengan intonasinya yang familier denganku, mereka menertawakanku secara tak langsung, dan menyebut-nyebutkan namaku dan memakai predikat "bodoh", "tolol", atau kata-kata yang tak pantas untuk didengar—bahkan menyakitkan untuk didengar oleh telinga sendiri.

Aku pun keluar dari toilet dan berdiri di hadapan mereka, tentu saja aku menemukan yang saat itu tak kuanggap menjadi sahabatku lagi—bahkan ia lebih pantas menjadi sosok yang disandingkan sebagai "manusia yang paling tak ada adab".

Dengan menatap tajam ke arah mereka dengan penuh benci, aku melihat sahabatku yang terdiam dan memucat pasi kulit raut wajahnya.

"Rakha. jadi selama ini kau anggap sebagai mesin ATM mu, 'kah? Sungguh menyedihkan sekali hidupmu," sarkasku.

"Bu—bukan itu maksudku! Sungguh!" sergah Rakha dan Ray pun mencoba mendamaikan antara aku dan Rakha, namun usahanya nihil. Justru membuatku naik pitam—karena ia mencoba untuk menutup-nutupi fakta yang telah kudengar.

"Ah itu orang lain kali, Di. Bukan kita!" bela Ray, namun aku menepis tangannya yang menyentuh bahuku.

"Sudah membicarakanku di belakang, memanfaatkan, bahkan kalian berdua membohongiku! Dasar manusia tak tahu malu!" hinaku. Tak siapa yang menyangka? Rakha melayangkan tinjunya ke wajahku, hingga wajahku meninggalkan lebam yang kemerahan. Dan berakhir baku hantam yang tak dapat terelakkan satu sama lain serta menjadi kehebohan yang luar biasa—bahkan aku dan mereka menjadi bahan perbincangan dalam seluruh sekolah.

Sudah bertengkar, menjadi bahan gosip seluruh sekolah, bahkan dipanggil di ruang konseling. Dalam batinku.

Hingga sejak saat itu, aku memutuskan untuk menjadi penyendiri tanpa ada yang mempedulikan opini orang tentangku, aku sudah terlalu kebal untuk dianggap apa yang mereka anggap buruk. Toh, pasti mereka mendekatiku. Entah pria maupun wanita.

Hidup memang sekonyol itu kawan, aku menganggap diri ini sudah terlalu naif untuk orang lain. Sungguh, aku mengerti rasanya bahwa tak ada pertemanan yang abadi di dunia ini.

Bisa saja, teman yang dulu kau sayangi bisa menjadi berkhianat dan menusukmu dengan berdarah-darah untuk merebut semua apa yang kau punya. Entah uangmu, kepintarannya, ketampananmu, bahkan semua yang kau miliki di dunia ini.

Aku tersadar ketika di tengah pelajaran matematika yang sangat menyebalkan, aku melihat Gunawan sialan itu membawa seorang gadis yang bahkan tak pernah kutemui di sekolah terkutuk ini.

Gadis itu tersenyum pada kami dan memperkenalkan diri dengan cara yang tak biasa, ia menuliskan di papan tulis dengan spidol berwarna hitam. Dengan gamblang, ia mengakui dirinya adalah "Seorang tuna rungu dan tuna wicara". Sepanjang ia memperkenalkan diri, ia terus menulis dan menggerakkan tangannya sesekali.

Tak sadar, aku tersenyum tipis melihat perjuangan anak itu untuk memperkenalkan diri. Yah, kuharap dia akan baik-baik saja, perihal ia dekat bangku dengan kedua pria brengsek itu dan jangan lupakan Nanda dan Mei yang terkenal dengan tukang rundung—ah, peduli amat dengan sang anak baru? Nihil.

Tapi ada yang mengganjal dengan siswi baru itu ketika mereka didekati oleh komplotan cecunguk itu, ya?

SURAT TERBUKA DARI YANG TERBUNGKAM [✅]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang