Hadi yang mengambil alat bantu dengar milik Risa dan menaruhnya di atas lembaran tisu yang ia pegang. Lalu, dengan cepat ia menelepon Astrid dengan barang temuan yang ia lihat. Astrid mengangkat telepon dari Hadi. Mau tak mau, Hadi harus melaporkan ini—tentang barang bukti yang menguatkan kasus ini harus diusut, walau banyak beberapa kali berusaha, mungkin ini adalah saatnya telah tiba, sebuah penantian panjang ke persidangan.
"Halo, Hadi?" tanya Astrid dengan membuka perbincangan.
"Maaf Tante Astrid, saya mengganggu malamnya, saya boleh bertanya dengan Tante Boleh?" tanya Hadi dengan masih memandangi bercakan darah yang tampak jelas di alat tersebut.
"Boleh, ada apa?" tanya Astrid dengan berusaha untuk tetap tenang, sedangkan Hadi masih menggarukkan kepala akibat bingung harus seperti apa yang ia katakana—pasalnya, Astrid adalah ibu yang cukup protektif dan sangat tegas, hingga beberapa kali Hadi bertemu dengan Astrid, banyak kecanggungan muncul di dalam benaknya.
"Anu, Tante, mau tanya, Risa selama ini udah pakai alat bantu dengar sudah berapa lama?" tanya Hadi yang tengah mati-matian untuk mencari topik pembuka sebelum masuk ke pembahasan utama.
"Sudah lama, dari ia sejak umur 5 tahun, memangnya ada apa?"
"Begini, maaf jadi diluar topik saya bertanya tadi. Sebenarnya, saya menemukan bercak darah di alat bantu dengarnya Risa, dan saya lihat kuping Risa terlihat lebam keunguan di sekitar kuping kirinya.
"Seriusan kamu?"
"Iya Tante, saya melihat dengan mata dan kepala saya sendiri, saya akan kirimkan foto segera," ujar Hadi yang masih menyambungkan sambungan teleponnya dan sambil memotretkan beberapa foto bukti di hadapannya, lalu mengirimkan beberapa bukti jelas kepada Astrid.
Lalu, Astrid lihat hasil potretan yang tampak detail dan jelas bahwa alat bantu dengar dan kupingnya terdapat lebam dan merah kemerahan di sekitar telinga anak semata wayangnya. Astrid menangis tak kuasa menahan kesedihan melihat anaknya tampak babak belur—meski seorang wanita, diperlakukan seperti tidak manusiawi di sekolah yang katanya sekolah para elitis diluar sana.
Bohong, tipu masyarakat yang sangat kesetanan, bahkan ia tak sudi jika anaknya diperlakukan demikian.
Tangisannya kini ia tahan, Astrid menyeka air mata namun hatinya terasa tersiksa, disaat rasionalitas dan perasaan kini saling berlawanan, saling mengadu—sesampai itu pula ia harus memakai akal nalar yang Astrid miliki untuk menumpaskan dendam yang ia alami, memang, dahulu ia pernah menempuh di SMA Angkasa. Di saat yang bersamaan pula, ia juga orang pertama yang menjadi korban perundungan di tahun 1990an silam.
Astrid menghela napas panjang dan ia pun memutuskan untuk menarik keputusan sementara. Dengan terpaksa, ia harus menemui Hadi dan membahas apa yang harus dilakukan pada anak itu.
"Hadi, mari kita bertemu, bersama dengan suami saya, esok hari," tegas Astrid dengan cepat. Hadi menyetujui apa yang diutarakan oleh Astrid hingga ia harus menyiapkan apa yang akan dibahas oleh Astrid dan Bram—perihal keadilan yang harus ditegakkan dan cukup sudah mengenai pertengkaran yang tidak berfaedah dan tolol yang berkedok "Untuk tanda kekuasaan". Bagi mereka yang sok berkuasa dengan akal yang tak sehat dan selalu mengecap dirinya "bapak gue orang besar di sini". Katanya.
***
Hari sudah menjelang fajar, dan sesampainya Astrid dan Bram sudah berada di rumah sakit, mereka melihat Hadi yang sudah rapi memakai baju seragam lalu bergegas pergi menuju sekolah. Astrid melirik ke arah jam yang menunjukkan pukul 6 pagi.
Hadi dengan menenteng tas besar itu tersenyum pada Astrid dan ia berkata:
"Nak, apa kamu tidak sarapan terlebih dahulu?" ucap Astrid yang menyodorkan hidangan nasi uduk dan berharap Hadi berduduk sebentar untuk menyantap sarapan bersama kedua orang tua Risa.
KAMU SEDANG MEMBACA
SURAT TERBUKA DARI YANG TERBUNGKAM [✅]
RastgeleKepada Yth: Siapa pun membaca surat ini. Ia tak bersuara bukan berarti bisa kau semena-menakan, Ia tak mendengar bukan berarti dengan mudahnya kau hina. Ia terdiam bisa jadi mengingat semua perbuatan kejimu, Dan membalas semua perbuatanmu dalam d...