Vote and comment please
***Delapan tahun yang lalu.
"Apa maksudnya ini?"
Nathaniel melemparkan laporan yang dia terima dari sekretaris ayahnya ke hadapan Nayaka, ekspresinya kalang kabut. Sejak kepulangan dari perjalanan bisnis yang dia katakan di London tiga hari lalu, Nathaniel belum sempat mengobrol bersama wanita itu.
Ada banyak pekerjaan mendesak yang harus dia urus, dan rapat yang dia datangi.
Anehnya semua orang di kantor yang berpapasan dengannya terus mengucapkan bela sungkawa entah atas kehilangan siapa, lalu seakan menjelaskan segalanya, tadi siang sekretaris ayahnya tiba-tiba memberikan surat keterangan dari rumah sakit yang menyatakan bahwa tunangannya telah mengalami keguguran, dan akan berada dalam pantauan dokter untuk meninjau perkembangan pemulihannya meski tetap berada di rumah untuk istirahat.
Nathaniel terpukul, buru-buru menyelesaikan pekerjaannya, dan segera pulang ke rumah.
Begitu sampai, dia justru menemukan Nayaka duduk memeluk lutut sambil menonton saluran anak-anak tanpa bergerak, kondisinya tidak baik. Wajahnya pucat, terihat lelah dan pandangannya begitu hampa.
"Kenapa mereka mengatakan kau keguguran? Apa yang terjadi? Kenapa kau tidak mengatakan apa-apa padaku?" Nathaniel duduk di depan Nayaka, meminta jawaban.
"Dia sudah mati." Nayaka menjawab dengan gumaan pelan, nyaris berbisik. "Anak itu sudah mati."
Nathaniel meremas rambutnya dengan raut wajah kecewa. "Tapi kenapa? Aku memastikan semua yang disarankan dokter sudah kau lakukan. Mengonsumsi suplemen vitamin, istirahat yang cukup, makan-makanan yang bergizi, dan memeriksakan kandunganmu secara rutin... kenapa anak itu tidak bisa bertahan. Apa yang sudah sudah terjadi? Apa yang sudah kau lakukan padanya?"
Nayaka terpaku, dunianya yang sudah remuk atas kehilangan anaknya, kembali hancur mendengar pria yang seharusnya menjadi tempatnya berlindung ikut menyalahkannya atas keguguran yang dia alami.
"Apa yang sudah aku lakukan padanya?" Nayaka menoleh pada Nathaniel dengan marah. "Apa kau pikir aku yang mau kehilangan anakku?!"
"Kalau begitu kenapa kau langsung setuju untuk menggugurkannya?" Nathaniel tidak sadar menuntut, tidak terima anak yang dia nanti-nantikan pergi begitu saja saat dia bahkan tidak ada untuk menjaganya. "Kau bisa menanyakan perawatan lain dari dokter-dokter sialan itu untuk menyelamatkannya! Apa gunanya semua uang dan fasilitas yang ku berikan kalau merawat satu janin dalam dirimu saja kau tidak becus!"
Nayaka kehilangan kata-kata. Tersinggung.
"Kau ingin aku melakukan apa, Nathaniel? Mereka mengatakan jantungnya sudah berhenti sebelum dinyatakan meninggal. Anak itu sudah mati sebelum bisa diselamatkan. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan!"
"Lalu katakan padaku apa yang salah, kesalahan apa yang kau perbuat sampai anakku tidak bisa diselamatkan. Kenapa kau membiarkan mereka mengeluarkannya dari rahimmu?!"
Nayaka menatap Nathaniel marah, sorotnya mata terluka. "Kau pikir aku sengaja membunuh anak dalam kandunganku sendiri?"
"Aku selalu memastikan bahwa dia akan lahir dengan selamat, Nayaka." Nathaniel berdiri, bekacak pinggang lalu menghela napas kasar.
"Semua kebutuhannya dan kebutuhanmu sudah ku persiapkan sejak pertama kali dokter menyatakanmu positif hamil, tapi baru dua minggu keluar negri untuk bekerja, aku tiba-tiba mendengar berita sialan seperti ini. Apa begitu sulit bagimu untuk menjaga diri agar anakku baik-baik aja?" Nathaniel menggeram. "Jika tahu seperti ini lebih baik kau berhenti saja dari koas dan fokus merawat anakku. Menjaga satu kandungan saja tidak mampu, apalagi harus berbagi aktifitas dengan study kedokteranmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Let's test all the Borderlines
RomanceArvino #01 [full 18+ chap on my KaryaKarsa] 𝐍𝐚𝐭𝐡𝐚𝐧𝐢𝐞𝐥 𝐀𝐫𝐯𝐢𝐧𝐨. Dia putri sahabat ayahku. Wanita keras kepala yang terus berkata bahwa dia membenciku. Dokter bedah umum yang angkuh, dingin dan sama sekali tidak mempunyai hati. Siapa dia...