Chapter 14

17.3K 2.4K 458
                                    

Vote and comment please.
***

Lima belas tahun kemudian.

Welfare Hospital, Jakarta.

        "Operasinya berjalan lancar, tidak ada yang perlu di cemaskan. Pasien mungkin akan sadar 3-4 jam lagi. Tapi untuk memantau perkembangan luka dan kondisi keseluruhannya, pasien akan kami tempatkan di ruang ICU (*intensive care unit) dulu sebelum dipindahkan ke ruang rawat inap."

Dokter bedah yang mengepalai prosedur operasi pada pasien dengan kanker lambung beberapa saat lalu itu, tersenyum setelah selesai menjelaskan kondisi pasien pasca operasi pada wanita senja yang didampingi dua orang anaknya yang langsung menghampiri begitu dia keluar dari ruangan operasi.

"Terima kasih banyak dokter. Terima kasih sudah menyelamatkan nyawa suami saya." Wanita senja itu menggenggam tangan sang dokter untuk bersalaman. Wajahnya terlihat lebih lega dibandingkan saat operasi akan di mulai.

Sera Aldarict mengangguk, sama senangnya, meski sudah lumayan terbiasa dengan reaksi terharu dari pasien seperti itu sejak mendapatkan kesempatan untuk mengepalai prosedur operasinya sendiri, beberapa tahun lalu, saat dia masih menjadi dokter residen tahun terakhir di Oxford University Hospitals, Oxford, Inggris, sebelum dia lulus dan bekerja di rumah sakit milik keluarganya di Jakarta, Indonesia.

"Sama-sama, Nyonya. Saya permisi dulu kalau begitu."

"Suit on you."

Sera menoleh ketika hendak berbalik ke arah ruangannya dan menemukan pria dengan setelan abu-abu serta kemeja hitam bersender di dinding dekat lorong ruang tunggu operasi, tidak jauh dari Sera, tengah melipat kedua tangannya di depan dada, dan tersenyum dengan wajah yang meski tertutupi jelas kelihatan lelah.

"Good doctor, good attitude, good smile... aku selalu kagum setiap kali melihatmu menenangkan pasien seperti tadi."

Sera berjalan mendekatinya. "Apa yang kau lakukan di sini?"

"Mengunjungi calon istriku, tentu saja." Pria itu tertawa. "Apa kau sudah makan malam? Jadwal rapat ku semakin padat hari ini dan aku hanya bisa minum kopi."

Sera menghela, melihat kantung mata pria itu yang semakin menghitam sejak terakhir kali dia lihat lima hari lalu. "Gaya hidup seperti itu tidak sehat, Nathaniel. Lambungmu akan bermasalah."

"Makan malam bersamaku, kalau begitu. Aku tidak suka makanan di kafetaria kantorku dan makan sendirian, itu membuatku terlihat seperti pria kesepian yang ditinggalkan kekasihnya."

Sera mengangkat sebelah alisnya tidak percaya. "Bukankah kau punya banyak wanita dan koleksi kekasih, seperti kata majalah selama ini? Kenapa tidak minta mereka untuk menemani? Jadwal operasiku penuh sampai besok."

Nathaniel tidak mengindahkan perkataannya, mengambil langkah mendekat, kemudian menunduk pada tinggi wanita itu yang hanya sebahunya.

Lima belas tahun sudah berlalu, tapi Sera Aldarict masih seperti yang dia ingat.

Terlihat rapuh dan butuh perlindungan, meski dia sama sekali tidak bisa disandingkan dengan definisi seperti itu lagi jika sudah memakai seragam medisnya yang penuh wibawa.

Sosoknya yang tenang itu bahkan semakin bersinar sejak dia kembali dari studinya dengan membawa banyak prestasi juga gelar akademis dibidang medis pada namanya.

Let's test all the BorderlinesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang