Vote and comment please.
***"Bunda tidak tahu, mengajak kamu makan malam ternyata lebih sulit dibanding bertemu Presiden, Nathaniel Arvino." Kata Qyra Anindia Arvino dengan jengkel kepada putra sulungnya yang sudah selesai mandi serta berganti baju, dan sedang berjalan menuju ruang makan kediaman utama keluarga Arvino malam itu.
Putra sulungnya yang akhirnya datang setelah Qyra terus-terusan menyuruhnya pulang ke rumah selama lima hari belakangan, menghembuskan napas. Dia lalu mengambil tempat untuk duduk di sebrang tempat duduk ibunya saat para pelayan sibuk menyajikan makan malam.
"Perusahaan sedang sibuk, Bun." Nathaniel menjawab dengan malas.
Ibunya mengerutkan dahi, tidak habis pikir. "Dan kamu pikir makan malam menghabiskan waktu sampai satu hari?"
"Aku lelah, Bun."
"Karena itu Bunda bilang, lebih baik kamu menginap di sini sampai kamu tidak sibuk Niel. Asisten kamu melaporkan pada bunda kalau kamu tidak makan malam begitu sampai apartemen dan hanya bekerja saja beberapa hari ini. Apa kamu baik-baik saja?" Qyra menatap Nathaniel sangat kahwatir.
"Aku baik."
Nathaniel mengangguk, tidak terlihat akan memberikan penjelasan apapun pada ibunya mengenai jadwal kerjanya yang—dia paksakan menjadi sangat padat, beberapa hari terakhir.
Pagi pukul 6, dia sudah berada di kantor, mengerjakan tugasnya dengan hanya sarapan secangkir kopi sampai pukul 10. Lalu setelah itu dia akan mulai rapat dengan tim yang dikepalai Helios Zarav untuk membahas kerja sama dengan Gecina Group dari Paris sampai makan siang, kemudian dari pukul 2 siang hingga pukul 6 sore Nathaniel akan rapat dengan dewan direksi Grand Group untuk membicarakan investasi dan perkembangan perusahaan, lantas dari pukul 7 sampai tengah malam Nataniel akan memeriksa perkembangan dari anak-anak perusahaan yang lain, meski Romeo Arvino belum secara keseluruhan menyerahkan kepemimpinan Grand Group kepada Nathaniel.
Dia mengerjakan semuanya dalam satu hari dan seakan tidak ada habisnya, Nathaniel terus melakukan semua pekerjaan itu untuk membuat dirinya sendiri sibuk, karena jika tidak, Nathaniel akan mulai memikirkan semua penolakan yang diberikan Sera Aldarict lagi padanya.
Nathaniel menghela, begitu para pelayan selesai menyajikan makan malam, Qyra segera mengambil piring dan menyendokan nasi untuk Nathaniel.
"Dia hanya mendramatisir keadaan, Bun. Memaksakan dirinya karena patah hati, dia pikir dia itu pemain utama cerita romantis apa?"
Qyra dan Nathaniel menoleh mendengar suara pria awal dua puluhan yang mengenakan kaos hitam polos dan jaket denim biru muda yang senada dengan celananya, berjalan ke arah ruang makan.
"Dryas!" Panggil Qyra senang, dia segera berdiri untuk menyambut putra bungsunya dengan pelukan hangan.
"Selamat malam Bunda." Dryas Arvino mengecup pipi dan dahi ibunya.
"Selamat malam sayang."
Qyra mempersilahkan Dryas untuk duduk di sebelahnya kemudian menyendokan nasi. Putra bungsunya ini juga jarang sekali pulang ke rumah, dia tengah sibuk menyelesaikan ujian terakhirnya untuk lulus kuliah acting di Lasalle College Singapore sambil bolak-balik Indonesia untuk shooting film terbarunya.
"Tadi pagi aku ke kantor pusat sebelum shooting, tapi Helios bilang suasana hati Nathaniel yang kacau membuat semua orang di kantor serasa masuk penjara. Selain bekerja, dia juga marah-marah saja lima hari ini, Bunda." Adu Dryas, dia tersenyum mengejek pada Nathaniel.
Nathaniel yang sudah memakan makan malamnya langsung mendengus. "Shut up you moron!"
"Language Nathaniel." Qyra menegur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let's test all the Borderlines
RomanceArvino #01 [full 18+ chap on my KaryaKarsa] 𝐍𝐚𝐭𝐡𝐚𝐧𝐢𝐞𝐥 𝐀𝐫𝐯𝐢𝐧𝐨. Dia putri sahabat ayahku. Wanita keras kepala yang terus berkata bahwa dia membenciku. Dokter bedah umum yang angkuh, dingin dan sama sekali tidak mempunyai hati. Siapa dia...