Chapter 7

18.3K 2.3K 221
                                    

Vote and comment please.

[ warning! Bab ini mengandung adegan perundungan (bullying) dan kekerasan verbal di lingkungan sekolah. ]

***

          Dua minggu kemudian, Nathaniel bersama teman-temannya dengan malas berjalan dari kantin kembali ke kelas.

Tidak seperti biasa, sudah beberapa hari belakangan mereka tidak duduk-duduk atau menongkrong setelah menghabiskan makan siang.

Hal ini karena periode ujian tengah semester akan segera dimulai dua minggu lagi, mengingat mereka termasuk dalam kelas unggulan sekolah, jadi tugas yang diberikan para guru menjadi dua kali lebih banyak dari kelas regular. Itu pula yang menjadi alasan kenapa sejak tadi pagi mereka tidak berhenti mengeluh.

"Hah! Pak Fabian semakin hari semakin keterlaluan memberi tugas ke kelas kita." Nathaniel yang sedang meminum jus jeruknya mengererutu.

Teman-temannya mengangguk setuju.

"Benar, padahal kita kelas unggulan dua tapi tugas merangkum dan pembahasan soalnya sebelas dua belas dengan kelas unggulan satu. Waktu bermainku jadi berkurang."

Mereka melihat siswa-siswi dari kelas regular yang berlalu-lalang menuju kantin untuk menikmati jam istirahat dengan iri. Keberatan diberi banyak sekali tugas oleh para guru, padahal seharusnya mereka yang kelas unggulan dua ini diberikan sedikit kelonggaran dan dispensasi, bukannya disamaratakan tugasnya dengan kelas unggulan satu.

Nathaniel hendak mengeluh lagi, namun temannya yang berjalan di belakang tiba-tiba menepuk bahunya.

"Eh Niel, bukannya itu Sera?"

Dia segera menoleh ke arah yang ditunjuk temannya, dan melihat tepat di belakangan ruang laboratorium bahasa, seorang perempuan dan laki-laki saling berhadapan, terlihat sedang membicarakan hal serius.

"Yang sedang bersama Kak Septian itu?" teman Nathaniel yang lain bertanya. "Ya memang terlihat seperti Sera sih dari samping. Rambut lurus setengah punggung, sepatu hitam mengkilap, baju rapi dan menggunakan blazer sekolah—sangat siswi teladan, benarkan kan Niel?"

Nathaniel tidak menjawab, dia berjalan mendekat ke tempat dua orang itu untuk memastikan.

Namun sebelum dia berada cukup dekat dengan mereka, si laki-laki tiba-tiba menarik tangan si perempuan, membuatnya hampir tersungkur jatuh dan Nathaniel tanpa sadar berlari.

***

          "Kenapa Sera?"

           Septian Chandra—sesuai yang dibaca Sera dari name tag baju laki-laki itu, berdiri beberapa langkah di hadapannya.

Laki-laki yang merupakan siswa kelas 12 sekaligus kapten tim futsal kebanggan sekolah itu, merubah raut wajahnya dari yang semula tersenyum malu-malu, jadi menatap Sera dengan ekspresi tersinggung.

"Kenapa kau tidak mau menjadi pacarku?! Aku bilang aku bisa memberikan apapun yang kau mau, apapun yang kau butuhkan. Tapi kenapa kau masih menolakku? Apa kau tidak tahu aku siapa?"

Sera menghela napas. Jelas tidak menyukai percakapan sejenis ini; percintaan, atau hubungan masa remaja yang sia-sia—apalagi dari orang yang bahkan baru pertama kali ini dia temui.

Namun Septian Chandra yang terpaksa dia temui karena beberapa teman kelasnya sengaja mengatur pertemuan mereka, tampak yakin Sera akan menyukainya.

Sejak awal dia kukuh menganggap bahwa sebelum pertemuan ini mereka sudah memiliki hubungan yang cukup dekat, seperti bertukar pesan setiap malam atau saling menanyai kabar, sehingga dia akhirnya berani menemui Sera dan mengungkapkan perasaannya.

Let's test all the BorderlinesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang