Chapter 41

9.5K 811 111
                                    

Vote and comment please
***

            Sera menghentikan mobilnya di parkiran gedung utama perusahaan Grand Group. Ini pertama kalinya dia menginjakan kaki ke tempat yang merupakan salah satu gedung tertinggi di Kota Jakarta itu, meski dia sudah mengenal keluarga pemilik perusahaan sejak lahir, dan sedang memiliki hubungan dekat dengan CEO-nya.

Sera tidak punya pilihan selain datang ke sana. Dia ingin memastikan perkataan Nayaka, bukti-bukti yang wanita itu tunjukan padanya begitu terlihat asli sampai Sera merasa merinding.

Dia ingin memastikan sosok pria yang sudah menguntitnya selama bertahun-tahun, mengetahui apapun yang dia lakukan dan dimanapun dia berada selama dua puluh empat jam seminggu, dan mengumpulkan apapun yang dia pakai untuk dijadikan pajangan.... Apakah sosok itu benar adalah Nathaniel Arvino, pria yang selama ini terus menyatakan cinta padanya? Pria yang selalu melakukan apapun hanya untuk dirinya?

Sera menggigit bibir bawahnya, dia buru-buru masuk ke dalam gedung dan berjalan ke arah meja resepsionis.

"Selamat sore Ibu, ada yang—"

"Nathaniel Arvino." Sera menyela. "Saya ada janji dengannya, sekarang."

Wajah resepsionis wanita yang hendak tersenyum sopan itu mengerut kebingungan. "Akan coba saya konfirmasi. Ibu dengan nama siapa?"

"Sera Aldarict."

"Astaga... Bu Sera." Resepsionis itu terkejut, dia segera keluar dari meja resepsionis dan menunduk dengan hormat untuk mempersilahkan Sera mengikutinya ke arah lift. "Ibu punya akses penuh untuk bertemu Pak Nathaniel. Mari, Ibu."

"Ruangan Pak Nathaniel berada di lantai 15, Bu. Beliau sedang rapat dengan tim pemasaran. Saya akan mengabari staff sekretaris bahwa anda di sini." Kata resepsionis setelah menempelkan kartu aksesnya di lift dan tersenyum simpul.

Sera mengangguk. "Terima kasih."

Saat sampai di lantai 15 para staff sekretaris langsung menyambutnya, dia dipersilahkan masuk ke ruangan Nathaniel dan disajikan makanan ringan serta teh.

Mereka mengabari bahwa Nathaniel sudah mengonfirmasi akan menyelesaikan rapatnya, dan akan segera datang ke ruangan.

Tidak sampai sepuluh menit kemudian, Nathaniel dengan sedikit berlari datang. Sangat senang mendengar kabar bahwa Sera datang berkunjung. Dia tidak bisa menurunkan senyum lebarnya, meski wajah dan penampilannya terlihat lelah.

"Hai Sayang, maaf meninggalkanmu tadi pagi. Ada rapat penting yang harus aku hadiri tiba-tiba." Nathaniel menunduk dan mencium rambut Sera sebelum duduk di hadapannya. "Kenapa tidak mengabari datang ke sini?"

"Ada yang mau ku bicarakan."

"Tentu." Nathaniel mengangguk. "Apa kau mau sekalian makan malam? Aku bisa meminta asistenku untuk—"

"Aku bertemu dengan Nayaka tadi siang." Sera memotong.

"Untuk apa?" Ekspresi Nathaniel tampak jelas tidak nyaman. "Apa dia mengganggumu lagi? Mau ku berikan bodyguard? Wanita itu sering bersikap keterlaluan. Kalau kau tidak nyaman aku akan membuatnya tidak bisa bertemu denganmu lagi."

"Membuatnya tidak bisa bertemu denganku lagi?" Sera menjawab, menanti reaksi yang akan diberikan Nathaniel. "Bukankah kau sudah melakukannya tanpa ku minta?"

"Apa maksudmu?" Tanya Nathaniel bingung.

Sera meletakan kunci ruangan yang diberikan Nayaka dan foto-foto dalam ruangan itu ke atas meja. "Dia berkata kau sudah bertahun-tahun mengamatiku tanpa persetujuanku. Dia berkata kau juga yang sudah menaikan berita plagiat penelitian untuk mengancamku agar aku tidak punya pilihan selain berlindung padamu. Apa itu benar?"

Nathaniel menghela, mengusap wajahnya kesal. "Kau datang ke sini untuk pertama kalinya tanpa ku minta hanya untuk menuduhku setelah mendengar omong kosong dari mantan tunanganku? Sera, apa kau sedang bercanda?"

Sera tidak menjawab.

"Dan berita plagiat untuk mengancammu... Kau bahkan menuntutku atas berita yang belum aku dengar. Apa kau memang sebegitu tidak percaya padaku?"

"Aku tidak tahu..." Sera meremas tangan di atas pangkuannya. "Bukti yang wanita itu berikan terlihat sangat asli dan dapat dipercaya. Jika yang dia katakan salah, kau tinggal membantahnya. Berikan aku bukti yang kuat agar aku bisa percaya padamu."

Nathaniel menggertakan rahangnya, senyum lebar yang dia tunjukan tadi lenyap. Dia berdiri, mengambil tumpukan berkas di meja kerjanya yang menumpuk, kemudian meletakannya di atas foto-foto yang diletakan Sera di meja.

"Ayahku sudah memberikan peringatan terakhir. Dia berkata jika sampai akhir tahun ini aku tidak menikah, maka semua kedudukanku di perusahaan akan dialihkan ke orang lain." Nathaniel duduk, membuka berkas yang diberikan ayahnya terus-terusan, berkas yang berisi daftar calon wanita yang paling cocok untuk dia nikah, satu persatu.

"Jika kau memang tidak berniat menikahiku, apa kau bisa membantuku memilih calon istri?"

Sera terkejut. "Apa?"

"Penilaianmu pada orang lain sangat baik. Kau mungkin bisa memilihkan wanita yang baik untuk menjadi istriku sekaligus Nyonya keluarga Arvino yang baru, mengingat sudah sejak dulu kau selalu mengatakan bahwa reputasiku sebagai seorang pewaris perusahaan keluarga sangat penting."

"Apa kau sudah gila?" Sera berteriak, tidak sadar telah berdiri dari tempat duduknya. "Nathaniel, kita sudah berencana menikah!"

"Lalu kenapa kau terus-menerus seperti ini?!" Nathaniel ikut berteriak. "Kau meragukanku, lari ke pelukanku, meragukanku, lari ke pelukanku, meragukanku lagi, lari ke pelukanku lagi... sudah ku bilang jangan mempermainkanku, Sera."

Sera diam, mengepalkan tangannya yang gemetaran keras-keras.

"Ingat kesepakatan kita dua bulan lalu?" Nathaniel bertanya dengan raut wajah frustasi. " Jika aku bertahan selama tiga minggu tanpa memiliki kekasih kau akan menerima lamaranku?"

"Aku menang dan kau memang menerima lamaranku. Aku sampai berpikir bisa menikahimu bulan berikutnya, tapi ternyata sampai detik ini kau masih berpikir aku tidak cukup bisa dipercaya untuk menjadi suamimu... Jadi mari kita hentikan ini."

Nathaniel berdiri, mengeluarkan kotak cincin dari sakunya yang sudah dia siapkan dari Paris sebagai permintaan maaf—sekaligus cincin lamaran yang ingin dia berikan untuk melamar Sera sekali lagi, secara resmi— lalu meletakannya di tangan Sera.

"Let's not test all the borderline again, Sera. Aku lelah."

***
With Love,
Nambyull

Let's test all the BorderlinesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang