Chapter 6

18.7K 2.4K 292
                                    

Vote and comment please.
***

"Selamat pagi anak-anak." Kata Bu Indira, guru matematika saat memasuki ruang kelas 11 IPA B pagi itu.

"Selamat pagi, Bu."

Para siswa langsung menjawabnya dengan malas-malasan, jelas agak keberatan dengan jadwal pelajaran hari kamis kelas mereka di mana matematika umum berada di jam pertama, pada pagi hari pula.

"Silahkan kembali ke bangku masing-masing dan buka buku catatan kalian, pelajaran akan segera saya mulai—Oh, tapi sebelum itu, saya ingin memberitahukan bahwa kelas kita kedatangan murid pindahan dari Jogja."

Para siswa yang sudah kembali ke bangku masing-masing akhirnya menyadari bahwa guru yang merupakan wali kelas mereka, hari ini datang bersama seorang anak perempuan berambut hitam sepunggung yang mengenakan pakaian seragam SMA biasa; kemeja putih, dasi dan rok abu-abu, bukannya seragam sekolah mereka.

"Nah, Nayaka silahkan." Bu Indira mempersilahkan anak perempuan yang mengikutinya sejak dari kantor guru untuk memperkenalkan diri.

"Terima kasih, Bu." Kata perempuan itu lalu menunduk sopan.

"Selamat pagi. Perkenalkan nama saya Nayaka Cempaka Ayu Gayatri. Teman-teman boleh panggil saya Naya saja. Mohon bantuannya."

Nayaka Gayatri— anak perempuan pindahan itu tersenyum simpul, menunduk lagi, dan menatap sebagian besar siswa-siswi kelas 11 IPA B yang memperhatikannya dengan raut wajah ramah.

"Baik, Naya, sekarang kamu boleh duduk di—"

Bu Indira yang sedang memperhatikan siswa-siswi kelas langsung teralihkan tatapannya pada seorang siswa di bangku ke tiga, pojok kanan dekat jendela yang ternyata sejak tadi belum menyadari kehadirannya dan situasi dalam kelas.

"Nathaniel Arvino, kemana perhatian kamu saat ini?" Bu Indira bertanya dengan suara cukup besar.

Namun siswa yang dia panggil itu masih mengarahkan tatapannya ke luar jendela, dengan dagu yang tertopang tangan, perhatiannya sepenuhnya tertuju pada kelas 11 IPA A yang sedang berolahraga di lapangan basket outdoor sekolah.

Tepatnya pada seorang siswi yang tengah tersenyum pada adiknya.

Napasnya terlihat tidak teratur, wajahnya keringatan, dia baru saja menyelesaikan sepuluh kali lari mengelilingi lapangan untuk pemanasan olahraga, dan Nathaniel nyaris tidak pernah mendapatkan kesempatan secara dekat untuk melihat senyum selebar itu darinya.

Nathaniel jadi tersenyum, dia merasakan sesuatu baru saja meletup dalam dadanya.

Entah perempuan itu sadar atau tidak, tapi Nathaniel sama sekali tidak bisa mengalihkan tatapannya kemanapun selain padanya.

Sudah lebih dari sebelas tahun sejak mereka pertama kali dekat di playgroup, sudah sembilan tahun sejak mereka terakhir kali berada di kelas yang sama karena tiba-tiba anak perempuan itu tidak mau satu kelas dengan Nathaniel lagi, dan sudah seumur hidup mereka bertemu, tapi Nathaniel masih tidak mengerti kenapa dia selalu ingin anak perempuan itu untuk menatapnya—benar-benar menatapnya, seperti setiap kali dia menatap buku atau bersama Sirenna, tatapannya terasa begitu hangat dan menenangkan.

"Nathaniel, saya sudah berdiri di depan kelas dari tadi, tapi kamu masih melihat ke luar jendela. Apa yang sedang kamu lihat di sana?" Bu Indira berkata lagi.

Nathaniel masih bergeming.

Siswa yang duduk di meja sebelah Nathaniel tahu-tahu menyahut. "Niel liatin Sera, Bu!"

Siswa lainnya di belakang ikut-ikutan. "Benar Bu, kerjaan Niel setiap hari kan hanya melihati calon pacar yang susah peka."

Siswa-siswi kelas 11 IPA B tertawa sambil menggelengkan wajah memaklumi karena sudah bukan rahasia lagi bahwa Nathaniel menyukai Sera Aldarict, meski setiap hari anak perempuan itu bersikap tidak peduli padanya.

Let's test all the BorderlinesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang