Chapter 23

17.3K 2.3K 149
                                    

Vote and comments please.
***

          "Apa balkon sudah berganti nama menjadi toilet?"

Sera sedang menatap para pengendara jalan raya di bawah balkon hotel dengan tidak tertarik, ketika suara berat yang begitu dia kenali terdengar, menginterupsinya dan membuat Sera lantas menoleh dengan tatapan terkejut.

Pria itu berada tidak jauh dari Sera, menggunakan setelan jas hitam serta coat panjang berwarna maroon yang begitu pas dengan tingginya. Rambutnya tertata rapi, sudut bibirnya terangkat, lalu melangkah dengan tangan berada dalam saku celana, mendekati Sera yang sebelumnya tidak sempat memperhatikan semua itu di ujung balkon.

Sera menebak, sepertinya tidak akan ada yang keberatan menganggap jika malam ini, Nathaniel Arvino memang begitu mempesona dan tampan sampai-sampai terasa mengesalkan.

Pria itu pasti juga sadar bahwa saat di dalam ballroom tadi, semua wanita tidak bisa menahan diri untuk tidak menoleh padanya sehingga senyumnya yang saat ini terlihat sangat menyebalkan, belum juga berhenti tersuing sejak tadi.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Sera, dia mengalihkan tatapannya pada jalan raya di bawah balkon lagi.

"Mencari angin, Irene terus-terusan menyuruhku menikah. Aku sakit kepala."

Nathaniel meringis pada omongannya sendiri. Dia tanpa diduga melepaskan coat-nya, menyampirkan di bahu Sera yang reflek terperanjat, kemudian berdiri di sampingnya untuk ikut menatap apapun yang sedang wanita itu tatap saat ini.

"Bagaimana kabarmu?" Nathaniel bertanya setelah terdiam berberapa saat.

Ekspresinya sangat canggung, dia tidak tahu bagaimana harus menghadapi atau bahkan bicara dengan benar pada Sera setelah empat hari tidak bertemu, sejak dia hampir melakukan kesalahan pada malam makan malam mereka.

"Aku baik-baik saja."

"Syukurlah." Nathaniel menghembuskan napas sambil melirik Sera yang tidak banyak mengeluarkan ekspresi. "Apa kau.... masih marah karena malam itu?"

Sera tidak menjawab, tidak juga berniat ingin membicarakannya hingga Nathaniel merasa kesal pada dirinya sendiri atas ketidak konsistenannya. Dia terus berkata ingin Sera jatuh cinta dan membuka hati untuknya secara benar, tapi dia juga yang hampir menyerang Sera hanya karena nafsu bodoh sesaat.

"Maafkan aku, aku bersalah, Sera." Nathaniel memohon. "Aku benar-benar tidak bisa mengontrol diriku sendiri malam itu, aku—"

"Kau akan menikah."

Sera menyela, dia berbalik, tiba-tiba saja menatap pria itu dengan sorot mata tajam.

"Apa?" Nathaniel tidak mengerti.

"Bianca Hutagalung, kau akan menikah dengannya kan? Keluargamu dan keluarganya sudah berdiskusi tentang pernikahan kalian kan? Dia bahkan sudah memanggil orang tuamu dengan panggilan akrab. Kita sedang melakukan perselingkuhan, Nathaniel, apa yang kamu pikirkan sebenarnya?!" Sera tanpa sadar berteriak.

"Dari mana kau tahu itu?" Nathaniel mengerutkan dahi.

"Aku bertanya pada Bianca."

"Dan kau langsung percaya begitu saja?"

"Lalu aku harus percaya pada siapa? Padamu?" Sera histeris. "Kau bahkan meninggalkan rumahku tanpa mengatakan apa-apa, Nathaniel. Kau juga tidak menghubungiku selama empat hari, dan sekarang aku mendengar kau akan menikah, bagaimana aku bisa percaya padamu?"

"Kenapa tidak kau saja yang menghubungiku?"

"...."

Sera terdiam dan Nathaniel terkejut, sampai sama sekali tidak tahu bahwa dia telah tersenyum lebar saat membalikan tubuh untuk menatap Sera.

Akhirnya? Nathaniel bertanya pada dirinya sendiri.

Hari di mana untuk pertama kalinya Sera Aldarict menujukan rasa cemburunya pada wanita di sekitar Nathaniel akhirnya datang?

Sialan—wajah Nathaniel memanas. Dia tidak menyangkan hari semacam ini akan terjadi juga padanya.

"Empat hari ini aku tidak berani mendatangimu. Aku takut kau tertekan jika aku menghubungi atau memaksa bertemu karena aku hampir kelepasan malam itu." Kata Nathaniel, dia melangkah mendekati Sera.

"Lalu, memang benar. Orang tua wanita itu mendatangi keluargaku dan membicarakan pernikahan. Ayahku yang mengundang mereka, dia juga yang menyuruh wanita itu untuk memanggil orang tuaku dengan panggilan akrab, karena mungkin saja kami akan menikah."

Sera berdecih, raut wajah Nathaniel yang masih tersenyum dan tampak begitu santai saat membenarkan apa yang dikatakan Bianca Hutagalung membuat Sera marah.

"Dasar pembohong!" Sera mendorong bahu Nathaniel keras, hendak beranjak pergi dari tempat itu, namun Nathaniel lebih dulu meraih tangannya dan menahannya.

"Jangan pergi."

Sera mendelik. "Lepaskan aku!"

"Tidak, sebelum kau mendengarkanku."

Nathaniel menarik tubuh Sera yang tengah memberontak, menyudutkannya di dinding balkon, menggenggam kedua tangannya, kemudian menatap wajah wanita itu lekat.

Nathaniel ingin sekali memberitahu Sera bahwa dia sudah sangat merindukannya, bahkan lebih dari yang bisa wanita itu pikirkan.

Empat hari penuh kecemasan karena bisa saja Sera meragukannya lagi, membuat Nathaniel frustasi. Padahal sejak awal Nathaniel tidak berniat terburu-buru, dia mau menunggu Sera agar bisa menerimannya, tapi entah kenapa semakin hari dia semakin tidak sabar, wanita itu sudah membuatnya jadi tidak sabaran.

"Aku tidak tahu apa Nana sudah pernah mengatakan ini padamu atau tidak, tapi dalam keluarga kami ada sebuah wasiat bahwa; setiap pewaris yang menginjak usia dua puluh tujuh tahun, harus segera merencanakan pembuatan cabang perusahaan dan pewaris baru." Ujar Nathaniel.

"Pada generasi kami, aku dan Nana melakukan kerja sama. Aku yang membuka cabang perusahaan baru dan Nana yang menikah di usia dua puluh tujuh tahun, namun sampai sekarang Nana belum punya anak. Ayahku cemas, dia mulai menyuruhku memikirkan pernikahan dan memiliki pewaris sejak awal tahun lalu."

Nathaniel menundukan wajahnya, mengabaikan Sera yang menatapnya begitu datar, dia menumpuhkan dahinya pada dahi wanita itu, kemudian menutup mata.

"Tapi aku tidak bisa, aku tidak mau. Aku tidak bisa membayangkan wanita manapun untuk menjadi istriku selain kamu, Sera."

"Nathaniel."

Sera menahan tubuh Nathaniel, menghentikan pria itu yang semakin menghimpitnya, berusaha menguasai diri karena denyut jantungnya mendadak bekerja sangat keras karena pria itu berada begitu dekat dengannya.

"Kau memberikanku waktu tiga minggu untuk membuatmu mencintaiku kan? Aku juga meminta waktu untuk berpikir selama itu pada Ayahku. Jadi kita tidak berselingkuh, wanita itu bukan kekasihku, aku tidak memiliki wanita manapun disisiku saat ini."

Nathaniel memundurkan wajahnya, melepaskan genggaman tangannya, lalu mengelus wajah Sera yang ternyata begitu dingin karena dia sudah terlalu lama berada di luar, hati-hati.

"Apa kau... tidak mau memberiku kesempatan lagi?" Tanya Nathaniel, dia menyingkirkan anak rambut yang terjatuh di wajah Sera, lalu menyelipkannya di belakang telinga wanita itu.

Sera tidak menjawab.

"Maafkan aku. Aku seharusnya tidak membuat kau terluka dengan semua ini." Bisik Nathaniel, mengakui. "Tapi aku benar-benar mencintaimu, Sera. Bisakah sekali saja kau mencoba mencintaiku?"

Sera terpaku pada saat itu, dia sangat terkejut. Wajah Nathaniel yang seharusnya tidak ingin dia temui malam ini, membuat debaran di jantungnya semakin menggila sampai-sampai dia menggigit bibir bawahnya keras untuk menenangkan diri.

Tidak, Sera meremas tangannya sekuat tenaga.

Dia tidak boleh terlalu jatuh pada pesona pria ini.

***

With love.
Nambyull

Let's test all the BorderlinesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang