"Jangankan memilikimu, mendengar nama mu disebut saja, Masyaallah.... Senyum saya sudah merekah."-Altezza Rafeyfa F.M
Pagi ini Elya sedang berada didepan rumahnya. Ia berniat untuk taman mini yang berada didepan kompleks rumahnya.
H-2 ujian nasional akan diadakan, ia ingin mencari suasana baru untuk belajar. Saat ini ia hanya bersama Bi Siti dan Pak Dadang dirumahnya. Seperti biasa orang tuanya pergi keluar kota untuk urusan bisnis, dan berangkat subuh tadi.
"Bi, Elya boleh pergi ke depan bentar gak?" tanya Elya kepada Bi Siti yang baru saja memasuki rumah.
"Boleh atuh, tapi ingat jangan lama-lama ya, Non. Ntar waktu ibu telfon gak ada Non Elya bisa marah," jawab Bi Siti.
"Iya Bi. Makasih ya, Elya jalan dulu," Pamit Elya.
Setelah beberapa menit Elya berjalan, akhirnya ia sampai ke taman mini yang ia maksud. Kemudian dia duduk disalah satu bangku kosong yang ada disekitar situ.
Mungkin karna faktor hari ini tanggal merah, jadi taman lumayan ramai pengunjung, kebanyakan tetangga kompleks Elya.
Elya mengedarkan pandangannya ke kanan-kiri. Banyak dari mereka yang bersama keluarga hingga pasangan mereka.
Tapi ada satu pemandangan yang sangat menyita perhatian Elya. Dimana disana ada seorang anak perempuan dan kedua orang tuanya. Terlihat anak itu sedang belajar menggambar dengan didampingi kedua orang tuanya, sesekali mereka tertawa bersama, terlihat begitu amat bahagia.
Rasanya bahagia juga iri menjadi satu. Bahagia melihat anak itu bisa akrab dengan orang tuanya. Dan iri karena ia tak tau bagaimana rasanya. Dulu waktu kecil ayahnya jarang sekali pulang.
"Ihh Elya, kemarinkan juga udah dielus kepalanya sama ayah. Ayah tuh sayang sama Elya, buktinya kemarin tuh... Emm meski sekali," ujarnya dalam hati.
Tak mau larut dalam kesedihan dan mungkin ia juga sudah mulai terbiasa dengan hal itu. Ia memilih membuka buku dan lanjut membaca materi yang ia pelajari.
•••••
Altezza berjalan menuju ruangan Kyai setelah ia selesai mengajar disalah satu kelas. Sesekali ia tersenyum membalas sapaan para santri-santri disana.
"Assalamualaikum Ustadz, mari." sapa salah satu santri.
Altezza mengangguk dan tersenyum. "Waalaikumussalam," jawabnya.
Tak lama ia sudah sampai didepan pintu ruangan Kyai yang tadi memanggilnya.
"Assalamualaikum, Kyai," salamnya.
"Waalaikumussalam, duduk Al," perintahnya.
"Gimana Al?" tanya Kyai.
"Alhamdulillah diterima, Kyai," jawabnya dengan senyum merekah.
"Alhamdulillah, apa saya bilang. Coba dulu aja masalah hasil kamu serahkan sama yang diatas," ujar Kyai.
Altezza mengangguk membenarkan ucapan Kyai yang sudah ia anggap kakek tersebut.
"Bukan seperti kamu kemarin, membohongi diri sendiri. Mungkin dimulut kamu hanya meminta yang terbaik untuknya. Tapi hatimu berteriak memintanya untukmu. Sungguh dusta Al," sindir kyai.
Altezza menunduk dan tersenyum malu, kini pipi dan telinganya sudah memerah seperti kepiting rebus.Kyai tersenyum melihat cucu sahabatnya itu yang malu-malu. "Acaranya kapan Al?" tanyanya
"Kemungkinan dua sampai tiga bulan lagi. Sekarang dia masih fokus ujian Kyai, dua hari lagi ujian diadakan," jawab Altezza.
"Jaga dia baik-baik, Al. Meski kamu sudah menjadi suaminya kelak, kamu tetap tidak memiliki hak menyakiti dia apalagi sampai berbuat kasar sama dia." pesan Kyai.
Altezza mengangguk, dan itu pasti. Ia pastikan tidak akan terjadi. Dia tidak mungkin melakukan itu kepada seseorang yang sudah ia cintai. "Baik Kyai. pasti, pasti Al bakal jaga dia sebisa Al," jawabnya penuh keyakinan.
"Bagus. Saya yakin kamu bisa. Dan ingat Al, setiap perjalanan pasti akan ada rintangan. Tetapi setelah rintangan itu akan ada kebahagiaan dan itu pasti. Jika kelak rumah tangga kalian berada diposisi itu. Ingat jangan gegabah mengabil keputusan, selesaikan dengan baik, pertahanan kan, jangan mudah mengucapkan kata pisah," ujar Kyai.
"Ya sudah, silahkan kamu kembali masih ada satu kelas bukan?" Kata Kyai.
"Iya Kyai, ya sudah Al pamit. Assalamualaikum," pamitnya.
Dan kemudian ia berjalan ke masjid guna untuk mengajar kitab. Terlihat sudah banyak sekali santri-santri yang sudah berada disana. Ia tak sendiri ada ustadz Bayu yang membantunya. Lebih tepatnya ia yang membantu ustadz Bayu. Karena biasanya ustadz Bayu dan ustadz Riski lah yang bertugas. Terkadang juga dibantu yang lain.
"Uctat Al!!! Cini-cini" teriak balita baru berusia dua tahun itu. Sebut saja dia Wildan. Wildan adalah anak dari ustadz Bayu. Dia memang sering ikut ayahnya mengajar dan dekat dengan Altezza.
"Hai Wildan," sapa Altezza dan menghampiri balita itu.
"Uctat Al dali ana?" tanya Wildan yang sudah duduk dipangkuan Altezza.
"Panggil kakak aja Wildan,"
Wildan menggeleng lucu. "Ndak au, ata abi culuh anggil Uctat gitu," jawabnya.
Altezza menghela nafas pasrah. Ia sudah pernah berucap demikian juga kepada semua santri-santri, tetapi apa jawaban mereka, 'Gak mau, kak Al kan ngajar juga jadi harus panggil ustadz dong.' Itulah jawaban yang Altezza dapatkan. Oke jadi dirinya pasrah saja.
"Ustadz, mau setor boleh?" tanya salah satu santri.
"Boleh-boleh sini," ujar Altezza.
"Sini-sini yang belum setor, boleh setor di Ustadz Al," panggil santri itu kepada santri-santri lainnya.
"Uctat napa kakak itu anggil emennya cih?" tanya Wildan kesal.
"Bentar ya, kakaknya mau setor hafalan dulu. Wildan yang anteng, oke?" ujar Altezza.
"Wildan, sini sama Abi," panggil Bayu kepada anak nya, saat melihat Wildan duduk dipangkuan Altezza dengan banyaknya santri yang mengantri untuk setor hafalan.
Yang dipanggil bukannya beranjak malah memeluk Altezza erat. "Ndak au Abi, Ildan au dicini." tolaknya.
"Ustadz Al lagi repot nak. Yuk sama Abi, nanti lagi sama ustadz Al nya," bujuk Bayu.
Wildan menggeleng kuat. "Maap Abi, api Ildan ndak au."
Altezza yang melihat perdebatan anak dan ayah itu pun akhirnya angkat suara. "Udah gapapa kok ustadz Bayu. Gak ngerepotin, Al malah suka ada Wildan," ujarnya.
"Beneran Al?"
Altezza mengangguk. "Iya ustadz lagian Wildannya mau disini. Ya kan Wildan?" kata Altezza yang dibalas anggukan oleh Wildan.
"Ya sudah, Wildan jangan ngerepotin ustadz Al, ya," pesan ustadz Bayu.
"Iya Abi... Ildan Ndak epotin Uctat Al, anji," jawab Wildan.
Altezza tipe-tipe cowo yang suka sama anak kecil. Ia juga sebenarnya ingin sekali memiliki adik, tapi Allah tak mengijinkan. Dulu setiap main kerumah Elvan, Elsa adik Elvan lah yang manja kepadanya. Mengingat itu ia jadi rindu pada Elsa mungkin sekarang anak itu sudah sekolah. Dan tiba-tiba juga ia teringat Ara anak kecil yang dulu ia tolong. Ya, dia juga sudah tau bahwa Ara adalah adik dari Elya.
Gimana part ini? Seru?
Yuk jangan lupa komen yah!!!!
Follow tiktok sama Ig yuk @ndx_XX
👇Voteeeeee
KAMU SEDANG MEMBACA
CERITA ALTEZZA
Teen FictionAltezza mencintai seorang gadis tapi ia tidak ingin berpacaran, tapi juga takut kehilangan. Terlebih ia harus menuruti keinginan keluarganya untuk meneruskan pendidikannya di pesantren. Hingga bertahun-tahun telah usai. Ia kembali dengan perasaan y...