"Yang ditakdirkan untukmu tidak akan melewatkan mu."
---------------------------
Di pagi ini, pasutri muda itu melakukan aktivitas seperti biasa. Altezza yang kini telah berangkat untuk kuliah dan bekerja, sedangkan Elya mengurus rumah.
Tetapi sudah beberapa hari ini Altezza berangkat lebih awal dari biasanya, terkadang juga pulang sangat larut malam, dan itu membuat pikiran Elya resah. Tetapi, sebisa mungkin Elya menutupi semua itu.
Altezza telah tiba disalah satu gedung berlantai tinggi. Bukan, itu bukan kampusnya melainkan kantor miliknya.
Ia turun dari mobil yang ia kendarai dan langsung menuju lantai paling atas. "Gue mau minta tolong buat titip absen lagi," ucapnya pada seseorang yang ada di telfon.
"......"
"Oke, thanks." Setelah itu ia mematikan telfonnya dan tak sengaja ia melihat foto Elya yang dijadikannya wallpaper ponsel, menatap sebentar foto itu dan langsung memasukkan ponselnya kedalam saku.
Hari sudah siang, bahkan sudah hampir sore. Tetapi Altezza tetap dengan aktivitasnya seperti sebelumnya seperti mengetik, rapat, mengecek dokumen dan lainnya. Tapi kali ini aktivitasnya terganggu dengan suara pintu yang dibuka secara paksa dari luar. Jadi, ia mencari remote untuk membuka kunci pintunya dan melihat siapa yang melakukannya. Sebab, ia sudah berpesan tidak ingin diganggu oleh siapapun kepada sekretarisnya.
Setelah terbuka masuklah empat lelaki muda dengan rusuhnya. Altezza hanya diam menatap keempat lelaki muda tersebut.
"Kenapa Lo gak kuliah?" tanya Galen.
Gabino menjitak kepala Galen seraya menariknya untuk duduk di sofa. "Kan tadi udah dikasih tau sama sekretarisnya Al, bego."
"Lo kenapa gak minta bantuan sama Kakek Lo atau Papa Lo aja sih? Bakal kelar ini bentar aja," ujar Galen memberi saran.
Altezza menghembuskan nafas, ia melangkah dan duduk di sofa bersama teman-temannya. "Gue mau nyelesain sendiri masalah ini," ujarnya.
"Tapi kalo Lo ngadepin sendirian, bisa-bisa Lo kehilangan semuanya," sangkal Galen menggebu-gebu.
Febian menatap Galen. "Kok Lo gitu sih? Lo ngeremehin?" tanyanya.
Gelen menggeleng. "Jangan salah paham. Gue gak remehin, tapi setidaknya kalo Al minta bantuan dia bisa ngebalik situasi." Galen menghela nafas, menatap Altezza. "Sorry, Al," ujarnya
Altezza mengangguk. "Gue tau, tadi gue juga udah kepikiran sampe sana. Tapi, Kakek sama Papa belum tau masalah ini," ujarnya.
"Lo belum cerita? Atau gak mau cerita?" tanya Febian.
"Tadinya gue mau cerita, tapi makin kesini gue pikir selagi gue bisa coba selesaikan sendiri kenapa enggak? Meski dengan resiko besar seperti sekarang, mungkin nanti kalo udah clear baru gue cerita sama mereka," jelas Altezza.
Elvan berdehem. "Tapi kalo sekarang gak mungkin Kakek Lo gak tau, Al," ujarnya.
Febian bertepuk tangan. "Nah... palingan dia udah tau tapi dia lagi pantau Lo aja sekarang." Febian memukul sofa dengan keras. "Fiks, betul. Lagian ya, kalo Lo kehilangan perusahaan yang ini, nantinya Lo juga bakal dapat perusahaan Kakek Lo yang jauh lebih besar, Al."
Gabino melirik Febian. "Kok Lo bisa berasumsi kayak gitu? Kakeknya Al masih punya Om Andra, anaknya, kalo Lo lupa."
"Ya sekarang Om Andra udah punya kampus segede itu. Lagian ya, biasanya tuh Kakek atau Nenek itu lebih sayang cucunya ketimbang anaknya," jawab Febian.
KAMU SEDANG MEMBACA
CERITA ALTEZZA
Fiksi RemajaAltezza mencintai seorang gadis tapi ia tidak ingin berpacaran, tapi juga takut kehilangan. Terlebih ia harus menuruti keinginan keluarganya untuk meneruskan pendidikannya di pesantren. Hingga bertahun-tahun telah usai. Ia kembali dengan perasaan y...