Bab 28

312 21 1
                                    


Mina tersenyum bahagia karena akhirnya bisa memeluk erat Albar. Pelukan mereka menguat dan saling berbagi kehangatan.

"Aku kangen sama mamah." bisik Albar.

"Mamah lebih kangen sama kamu. Kamu engga papa kan sayang?"

Albar mengangguk sebagai jawaban. Mina mendesah bahagia. Rafa yang berada tak jauh mengamati keduanya. Ia selanjutnya pergi bersama dokter yang menangani Albar.

"Mental Albar sedikit demi sedikit membaik. Lo pasti tau siapa yang ada dibaliknya? Dimana lo dapet ibu sambung buat Albar? Gue juga pengen." ucap Brayn Rafa memukul pundak sahabatnya itu.

"Cari sendiri...edisi terbatas soalnya."

Rafa dan Brayn menuju pantry. Lalu memesan kopi. Mereka adalah sahabat sejak SD. Brayn sudah tau semua kisah hidup Rafa. Dan kisah hidup Brayn tak beda jauh dengannya.

"Lo udah tau kan, akan ada saatnya Albar mengingat semua kejadiannya. Dia harus melawan ketakutannya jika ingin terbebas dari kelemahannya ini."

"Gue cuman pengen sedikit waktu lebih banyak. Untuk menikmati hidup bahagia dengan Albar dan Mina. Walaupun nantinya gue harus kehilangan salah satu dari mereka."

"Mungkin aja, Albar bisa sembuh total dan kalian bisa hidup bahagia bertiga?"

"Gue harap juga kaya gitu."

"Berfikir positif aja Raf. Rencana tuhan siapa yang tau kan."

**

Mina mengupas kulit apel untuk Albar. Dan Albar sedang belajar untuk ujiannya yang tinggal satu minggu lagi.

"Makan yang banyak supaya kamu cepet sehat dan pinter." ujar Mina sambil menyuapkan potongan apel untuk Albar.

"Makasih Mah." Albar kembali menulis. Tiba tiba ia terhenti. "Mah, udah lama Albar engga liat Alsa. Alsa kemana ya?"

Alsa?

Aku juga engga tau kabar keluargaku setelah kejadian itu.

"Nanti mamah tanyain kabarnya deh. Jangan dipikirin, si Alsa emang suka gitu. Kadang dia suka engga mau sekolah. Kamu pikirin aja pelajarannya."

Mina berjalan keluar dari kamar Albar. Ia berniat ke dapur. Namun, pikirannya berkelana ke tempat keluarganya. Apakah mereka baik baik saja? Itu yang saat ini dipikirkan Mina.

Sampai tanpa sadar ia menubruk Rafa yang berjalan kearahnya. Untungnya Rafa dengan sigap menahan tubuh Mina agar tidak jatuh ke belakang. Kedua mata Mina mengerjap cepat. Sebelum kesadarannya kembali. Ia menatap Rafa dari dekat dan keduanya saling bertukar nafas.

"Kamu engga papa?"

"Ehh! Mas Rafa." Ucap Mina kembali sadar. Ia langsung menarik diri menjauh.

"Kamu kenapa Min?"

"Engga papa Mas, Mas yang kenapa jalan kan masih lebar. Kok malah ditabrakin ke aku sih?"

"Jalan aku udah bener Min, justru kamu yang mepet mepet kesini. Sengaja ditabrakin ya? Biar saya meluk kamu?"

"Dasar, udah salah masih aja ngebela diri sendiri." gumam Mina saat melewati Rafa begitu saja.

Rafa mengernyit keheranan. Kenapa istrinya tiba tiba marah begitu?

Mina membuka ponselnya lalu mengetik nomor Alsa. Tapi belum jarinya menempel pada layar kontak itu. Mina mengurungkan lagi niatnya. Ia tidak mau jika karena satu panggilan darinya. Keluarganya akan makin tambah benci padanya.

Mina langsung menyiapkan lagi makanan membantu Bi Ratih. Lima belas menit kemudian ia menyiapkan sarapan di meja makan.

"Ayo makan Albar."

Mina menarik tangan Albar saat dia sudah memberitahunya. Mina membuka piring, dan meletakkan nasi diatasnya.

"Kamu mau apa sayang?"

Rafa langsung duduk dan mengacuhkan aktivitas Mina dan Albar. Albar tersenyum bahagia karena hari harinya makin bahagia.

"Aku harap kita bertiga bisa seperti ini selamanya." ujar Albar. Tangan Mina menggantung diudara sambil menatap Rafa.

"Iya sayang, kita akan selalu bersama." jawaban Rafa membuat hati Mina melambung tinggi.

"Ayo makan mah." Albar menarik agar Mina duduk dikursi. Mina melempar senyum lalu mulai makan.

Apakah takdir akan selalu berpihak kepada kita?

**

Mina mendapat panggilan dari Cia untuk datang ke kantor. Maka Mina pun langsung bergegas menuju kantor.

Saat Mina tidak tau apa apa. Cia menyerahkan beberapa dokumen untuk Mina.

"Kamu mau magang disini?"

"Hah?" beo Mina.

"Iya Min, kita kekurangan staf. Iya sih bisa nyari, tapi kan kamu udah lama disini. Kamu mau engga magang jadi editor disini? Gajinya lumayan loh." Seru Tati menjelaskan ketidakpahaman Mina.

"Aku? Aku engga bisa bahasa inggris Mbak." sanggah Mina.

"Kamu tenang aja. Ada guru paling jago disini, apalagi ngajarin enggres cetek banget buat dia." ujar Cia.

"Guru? Bahasa inggris?"

"Rafa!"

Rafa yang akan pergi langsung berhenti dan berbelok kearah Cia memanggil. Rafa menyimpan satu tangannya disaku.

"Kenapa?"

"Ajarin Mina bahasa enggres dong." Ucap Cia dilembut lembutkan.

Tati dan Mina mengerjapkan matanya perlahan. Mereka kaget mendengar intonasi Cia yang langsung berubah 180 derajat.

"Oke bisa."

"Tuh bisa kan!" Seru Cia semangat.

"Engga! Kok sama Pak Rafa sih Mbak?" tolak Mina. Rafa hanya terdiam dibelakang Cia.

"Kenapa? Mas Rafa baik kok Min. Dia engga akan gigit kamu. Dia juga jago banget sama bahasa inggris." tambah lagi Tati.

"Tetep aja-"

"Nanti ke ruangan saya aja ya Min." titah Rafa lalu melenggang pergi dari tempat.

Bukan gitu! Argh! Dirumah gue berhadapan sama Pak Rafa. Disini juga? Masalahnya gimana sama hati dedek yang meleleh ini?

.

Mina duduk dengan tegap dan tanpa ekspresi apapun. Sedangkan Rafa masih menyelesaikan pekerjaannya yang tinggal sedikit.

Mina berusaha mati matian agar tidak menimbulkan kecurigaan dikantornya.
Tapi sang suami malah menyeretnya dengan paksa kedalam lingkaran hijau ini.

"Ini buku yang harus kamu pelajari."

"Astagfirullah-" pekik Mina lantang saat melihat lima buku dengan tebal 5 inci.

"Baca yang bener."

"Saya engga mau jadi editor Pak. Otak saya kadang suka lola."

"Engga salah kalau mencoba. Minggu depan saya tes."

"Apa?!"

"Keberatan? Tapi saya engga bisa dibantah."

"Bapak tega banget sih. Emang membaca semudah membalikan telapak tangan sama kuku jari?"

"Itu mudah jika dikerjakan. Kamu harus belajar supaya pinter."

"Saya kan lagi belajar jadi ibu rumah tangga yang baik." ucap Mina disertai wajahnya yang pura pura lucunya.

"Lakukan apa yang saya perintahkan."

"Kok ngedadak jadi dosen killer amat sih!"

"Apa?" seru Rafa menaikkan nada oktafnya.

"Engga Pak!" cicit Mina lalu pamit undur diri. Ia membawa serta merta buku yang tebalnya melebihi isi uang di dompetnya.

Parah banget sih!

Idih Pak BosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang